KABARBURSA.COM - Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyatakan keprihatinannya terhadap arah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terlalu fokus pada angka, tanpa mempertimbangkan kualitas yang mendasarinya.
Wijayanto menyinggung soal ketimpangan yang terjadi ketika negara terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen, tetapi mengabaikan risiko yang muncul seperti kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial.
“Permasalahannya jika mengejar pertumbuhan 8 persen akan muncul masalah lingkungan, ketimpangan, dan lain sebagainya,” kata Wijayanto dalam diskusi publik ‘Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo’, Minggu, 22 September 2024.
Dia pun mengingatkan, meskipun Indonesia pernah mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen, yaitu pada era Orde Baru yang ditopang oleh keuntungan minyak, hal tersebut tidak bisa dijadikan tolak ukur mutlak untuk masa depan.
Selain itu, Wijayanto mengingatkan juga bahwa sejarah mencatatkan bahwa di Indonesia pernah ada perusahaan besar bernama VOC yang nilai kapitalisasi pasarnya lebih besar daripada gabungan Microsoft, Apple, Facebook, Google, dan Amazon. Dengan dividen yield sebesar 4 persen, keuntungan tahunan VOC mencapai USD280 miliar jika dihitung dengan nilai tukar uang saat ini. Namun, di tengah kekayaan VOC yang melimpah, rakyat Indonesia kala itu hidup dalam kemiskinan.
Oleh karena itu, menurutnya, seharusnya perhatian lebih diarahkan pada kualitas pertumbuhan ekonomi daripada hanya sekadar mengejar angka pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB).
“Seharusnya kita lebih fokus pada kualitas pertumbuhan itu sendiri dibandingkan dengan mengejar angka pertumbuhan GDP,” ujarnya.
Wijayanto mengkritik bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini terlalu bergantung pada eksploitasi sumber daya alam, sementara sektor manufaktur yang seharusnya menjadi tulang punggung industri justru semakin mengecil. Kondisi ini mengakibatkan negara bergantung pada impor barang-barang untuk memenuhi kebutuhan sektor jasa.
Dia menyebutkan, fakta menunjukkan Indonesia miskin dengan sumber daya alam. Saat ini Indonesia menempati ranking ke-15 dalam proven reserved 6 minerba utama senilai USD5,5 triliun, karena populasinya besar. Jika dibagi per kapita maka Indonesia menempati ranking ke-39 di dunia dengan nilai USD19.600.
“Jelas harus dihemat dan berhati-hati karena tidak bisa mensejahterakan 280 juta rakyat Indonesia. Hanya bisa menyejahterakan orang-orang tertentu yang kita sebut oligarki,” tegas Wijayanto.
Da menekankan, sejarah negara-negara besar seperti China, India, Inggris, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa industrialisasi adalah kunci untuk menjadi negara maju. Artinya, untuk menjadi negara maju tidak ada jalan lain, selain industrialisasi. Namun, Indonesia justru mengabaikan pentingnya sektor ini.
“Fakta sejarah seharusnya menunjukkan kepada pemerintah Indonesia bahwa there is no other way, other than industrialization," pungkasnya.
Pertumbuhan Ekonomi RI Rusak Ekologi
Sementara itu, organisasi pecinta lingkungan, Greenpeace Indonesia, mengingatkan masyarakat untuk tidak melihat pertumbuhan ekonomi sebagai wujud kesejahteraan semata. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 5 persen tidak berlaku menyeluruh di Indonesia.
Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menuturkan, ambisi mendorong pertumbuhan ekonomi selama ini hanya mementingkan aktivitas ekonomi material. Faktanya, Produk Domestik Bruto (PDB) dianggap sebagai mitos kesejahteraan yang selama ini langgeng dilembagakan.
Leonard menuturkan, PDB tidak memperhitungkan distribusi pendapatan, kualitas hidup, kebahagiaan, dan faktor-faktor sosial lainnya yang penting untuk kesejahteraan manusia.
Dia mengungkapkan, berdasarkan data Bank Dunia (World Bank), 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77 persen kekayaan nasional.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen yang digaungkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) juga dianggap tidak mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Leonard menyebut, hal itu terwujud dari menurunnya proporsi kelas menengah, maraknya PHK, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hingga eksploitasi alam berlebihan.
“Pembangunan yang hanya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin akan membawa kita kepada kerusakan ekologis permanen, yang pada akhirnya justru tidak akan mensejahterakan masyarakat,” kata Leonard dalam siaran persnya yang dikutip, Minggu, 22 September 2024.
Dia menegaskan, saatnya publik melihat PDB tidak sebagai indikator utama kesejahteraan, melainkan pendekatan pembangunan yang lebih holistik, inklusif, adil, dan berkelanjutan. Dia menuturkan, praktik eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, demi mengejar pertumbuhan ekonomi.
Menurut Leonard, pendekatan yang mengutamakan PDB sebagai indikator kesuksesan ekonomi terbukti tidak cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan lingkungan.
Karena itu, Greenpeace mendesak pemerintah untuk mengimplementasikan prinsip keberlanjutan yang tidak sekadar seruan teoretis, tetapi juga tindakan nyata dalam mengurangi jejak lingkungan.
“Sudah saatnya PDB tidak lagi menjadi indikator utama kesejahteraan, tetapi pendekatan pembangunan yang lebih holistik, inklusif, adil dan berkelanjutan,” pungkasnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.