Logo
>

Arus Modal Asing Jadi Beban, bikin Defisit USD33,72 Miliar

Meski investasi asing kerap dibanggakan, data menunjukkan lebih banyak dana yang keluar untuk membayar bunga dan dividen dibanding investasi yang masuk.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Arus Modal Asing Jadi Beban, bikin Defisit USD33,72 Miliar
Logo Bank Indonesia (BI) di gedung utama Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Meski kerap dibanggakan sebagai bukti kredibilitas ekonomi, arus masuk investasi asing justru menjadi beban finansial bagi Indonesia. 

    Data menunjukkan, selama satu dekade terakhir, Indonesia justru mengalami defisit dalam neraca investasi. Artinya, nilai yang dibayarkan kepada investor asing lebih besar daripada yang diterima negara.

    Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti bahwa modal asing memang selalu diklaim sebagai pemacu pertumbuhan. Namun, fakta menunjukkan bahwa beban pembayaran jasa modal, seperti bunga dan dividen, telah melampaui jumlah investasi yang masuk.

    “Pemilik modal asing berinvestasi berdasar pertimbangan adanya imbal hasil yang layak. Berupa keuntungan yang diperoleh, penerimaan bunga utang, dan keuntungan lainnya. Mereka juga menimbang keamanan atau risiko dari modal yang diinvestasikan saat ini dan di masa mendatang,” ujar Awalil dalam analisisnya, Rabu 4 Juni 2025.

    Berdasarkan data dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang dirilis Bank Indonesia, selama era Presiden Joko Widodo dari 2015 hingga 2024, total arus masuk investasi asing tercatat sebesar USD338,69 miliar. Namun dalam periode yang sama, Indonesia harus membayar imbal hasil kepada investor asing sebesar USD372,41 miliar.

    Selisihnya? Negatif. Tercatat sebesar minus USD33,72 miliar, artinya, lebih banyak uang yang mengalir keluar sebagai imbal jasa daripada dana investasi yang masuk.

    Sebaliknya, pada masa pemerintahan sebelumnya, yakni era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), situasinya masih menguntungkan. Arus investasi masuk mencapai USD288,46 miliar, sementara pembayaran kepada investor hanya USD232,63 miliar. Negara masih untung bersih USD55,83 miliar.

    “Jika data arus masuk modal asing dan arus pembayaran atas jasanya disandingkan selama era Jokowi, maka tercatat nilai arus modal sebesar USD338,69 miliar dan arus pembayaran sebesar USD372,41 miliar,” tegas Awalil.

    Ia menyebutkan bahwa selisih tersebut menunjukkan arus keluar sebesar USD33,72 miliar selama satu dekade terakhir.

    Pada kuartal I-2025, tren negatif ini tampak berlanjut. Data menunjukkan investasi asing yang masuk hanya sebesar USD5,85 miliar, jauh di bawah pembayaran imbal jasa sebesar USD11,07 miliar. Dalam tiga bulan pertama tahun ini saja, Indonesia telah defisit USD5,22 miliar hanya dari transaksi modal asing.

    Jika tidak dikendalikan, 2025 berpotensi menambah daftar tahun di mana arus modal bersih justru bersifat keluar, bukan masuk. Fenomena serupa telah terjadi berturut-turut sejak 2020, kecuali 2024 yang mencatat surplus tipis sebesar USD1,45 miliar.

    Meski investasi asing sering dianggap motor utama pertumbuhan ekonomi, kenyataannya tak demikian. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,22 persen per tahun. Bahkan jika mengecualikan masa pandemi, pertumbuhan 2015–2019 tetap hanya 5,03 persen per tahun, masih di bawah rata-rata era SBY sebesar 5,72 persen.

    Di sisi lain, peningkatan cadangan devisa juga tak menggembirakan. Pada akhir 2024, cadangan devisa Indonesia mencapai USD155,72 miliar, hanya naik 39,21 persen dibanding akhir 2014. 

    Padahal, Indonesia sempat menerima injeksi dana dari International Monetary Fund (IMF) sebesar USD6,50 miliar pada Agustus 2021. Bandingkan dengan era SBY yang mampu melipatgandakan cadangan devisa hampir tiga kali lipat.

    Awalil menilai bahwa pendekatan terhadap investasi asing perlu diperbarui. Ia menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada berapa besar dana yang masuk, tetapi juga menghitung risiko jangka panjang, terutama besarnya pembayaran yang harus ditanggung negara.

    “Modal asing yang masuk ke Indonesia tidak boleh diperlakukan hanya sebagai sumber dana yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi serta memperkuat cadangan devisa. Harus diperhitungkan secara lebih cermat mengenai biaya atau imbal jasa yang akan dibayarkan,” jelas Awalil. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.