KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia terus memanas. Pada perdagangan Jumat pagi WIB, minyak mentah Brent ditutup naik 0,23 persen ke USD59,82 per barel. Begitu pula dengan West Texas Intermediate (WTI) ditutup naik 0,38 persen ke USD56,15 per barel.
Adanya laporan mengenai kemungkinan putaran baru sanksi Amerika Serikat terhadap sektor energi Rusia, menjadi penyebab kenaikan. Belum lagi soal meningkatnya ketegangan terkait blokade terhadap kapal tanker Venezuela, yang membuat pasar khawatir terhentinya arus ekspor minyak dari negara tersebut.
Terkait sanksi tambahan AS terhadap Rusia jika tidak tercapai kesepakatan damai dengan Ukraina, menjadi perhatian serius. Meskipun Gedung Putih hingga saat ini belum mengambil keputusan final, pasar bereaksi lebih cepat.
Ancaman ini berpotensi memperketat pasokan glonal secara cepat, karena Rusia merupakan salah satu produsen dan eksportir minyak terbesar dunia.
Belum lagi soal blokade yang berlanjut dapat menghentikan pengiriman dan memaksa penghentian produksi di hulu. Penghentian ini bukan karena kendala pada kapasitas, melainkan logistik.
Kombinasi ini yang membuat sebagian pelaku pasar menilai harga minyak saat ini masih relatif rendah dibandingkan potensi gangguan yang ada.
Dari sisi kuantitatif, potensi dampak Venezuela tetap signifikan. Sekitar 600 ribu barel per hari ekspor minyak negara tersebut berisiko terdampak, sebagian besar mengalir ke China. Namun, ekspor ke Amerika Serikat sekitar 160 ribu barel per hari diperkirakan tetap berjalan, mengingat kapal-kapal Chevron masih beroperasi berdasarkan izin sebelumnya.
Ketidakjelasan mekanisme penegakan blokade AS juga menahan euforia. Meski penyitaan kapal tanker oleh Penjaga Pantai AS pekan lalu menjadi preseden yang belum pernah terjadi sebelumnya, pasar masih menunggu konsistensi tindakan lanjutan.
Selama penegakan kebijakan belum sistematis dan masif, risiko pasokan cenderung dipersepsikan sebagai ancaman potensial, bukan realisasi penuh.
Dalam konteks global, minyak Venezuela hanya menyumbang sekitar 1 persen dari total pasokan dunia. Namun, dalam kondisi pasar yang rapuh, gangguan kecil sekalipun dapat memicu pergeseran keseimbangan, terutama jika bertepatan dengan faktor lain seperti sanksi Rusia dan kebijakan OPEC+.
Karena itu, meski kontribusinya relatif kecil, isu Venezuela tetap mendapat perhatian besar dari pelaku pasar.
Harga Rendah Tekan Pasokan Minyak
Sementara itu, faktor fundamental jangka menengah hingga panjang mulai membayangi reli harga. Analis Bank of America memperkirakan harga minyak yang lebih rendah ke depan justru akan menekan sisi pasokan.
Jika harga WTI rata-rata berada di kisaran USD57 per barel pada 2026, produksi shale oil AS diproyeksikan turun sekitar 70 ribu barel per hari. Proyeksi ini menyiratkan bahwa level harga saat ini berada di zona kritis, cukup rendah untuk menahan investasi dan pertumbuhan produksi, namun belum cukup tinggi untuk memicu lonjakan suplai baru.
Dari perspektif perbandingan Brent dan WTI, penguatan WTI yang lebih besar secara persentase mencerminkan sensitivitas pasar Amerika terhadap isu Venezuela dan proyeksi produksi shale domestik.
Brent, sebagai patokan global, bergerak lebih moderat karena pasar masih melihat suplai global secara keseluruhan belum sepenuhnya terganggu. Spread yang relatif stabil antara Brent dan WTI menunjukkan bahwa risiko geopolitik masih diperlakukan sebagai faktor regional yang berpotensi meluas, bukan sebagai krisis pasokan global yang sudah terjadi.
Secara keseluruhan, performa minyak dunia saat ini mencerminkan fase akumulasi risiko. Harga bergerak naik, tetapi belum memasuki tren bullish yang kuat. Pasar menempatkan premi geopolitik secara bertahap, sembari menunggu kejelasan kebijakan sanksi Rusia, efektivitas blokade Venezuela, dan respons produksi global terhadap level harga yang relatif rendah.
Dalam kondisi seperti ini, arah pergerakan berikutnya akan sangat ditentukan oleh realisasi gangguan pasokan, bukan sekadar ancaman atau wacana kebijakan.(*)