KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia terus merangkak naik. Kekhawatiran terkait pasokan minyak global membayangi pasar. Target Amerika Serikat di Venezuela dan Rusia, memanasi suasana geopolitik.
WTI untuk kontrak Januari naik sebesar 0,50 persen, sedangkan RBOB gasoline menguat tipis. Pasar bereaksi keras terhadap faktor geopolitik dan sentiment makro.
Keputusan AS terhadap Venezuela dan Rusia, menjadi pemicunya. Blokade Presiden Donald Trump terhadap kapal tanker minyak yang terkena sanksi menuju dan keluar Venezuela, langsung mengangkat premi risiko pasokan.
Di saat yang sama, ancaman AS untuk memperketat sanksi terhadap ekspor energi Rusia, menambah kekhawatiran pasar. Serangan drone dan rudal Ukraina ke sedikitnya 28 kilang minyak Rusia dalam tiga bulan terakhir, memperburuk krisis bahan bakar domestik Rusia yang secara tidak langsung membatasi kemampuan ekspor minyak mentah negara tersebut.
Dari sisi fundamental, kenaikan indeks dolar menjadi faktor penahan laju harga minyak global. Lebih penting lagi, prospek pasokan global masih dibayangi risiko surplus. IEA sebelumnya memproyeksikan kelebihan pasokan global mencapai 4 juta barel per hari di 2026. Angka ini sangat besar dan sulit tiimbangi hanya dengan gangguan geopolitik seperti kasus Venezuela dan Rusia.
OPEC sendiri merevisi pandangannya, dari deficit ke surplus. Organisasi ini memperkirakan pasar akan mengalami kelebihan pasokan sekitar 500.000 barel per hari di kuartal ketiga ini. Namun, Keputusan OPEC+ untuk menahan kenaikan produksi di kuartal pertama 2026, menahan hal tersebut.
Stok Minyak AS Berlimpah
Dari sisi Amerika Serikat, dinyal pasokan tetap berlimpah. EIA menaikkan estimasi produksi minyak mentah AS di tahun ini menjadi 13,59 juta barel per hari. Namun, data mingguan menunjukkan produksi sedikit turun ke 13,843 juta barel per hari.
Yang menjadi kendala besar adalah lemahnya permintaan. Kekhawatiran pasar terhadap prospek konsumsi energi global tercermin dari anjloknya harga minyak dan bensin ke level terendah hampir lima tahun pada awal pekan.
Pelemahan crack spread ke level terendah enam bulan menjadi indikator penting bahwa margin kilang menyusut, sehingga minat kilang untuk membeli minyak mentah dan mengolahnya menjadi produk bahan bakar menurun.
Ini adalah sinyal langsung bahwa permintaan riil belum cukup kuat untuk menyerap pasokan yang ada.
Data persediaan AS memberikan gambaran yang lebih berimbang. Stok minyak mentah, bensin, dan distilat berada di bawah rata-rata musiman lima tahun, yang secara teori mendukung harga. Namun, laporan Vortexa tentang meningkatnya minyak yang disimpan di kapal tanker yang tidak bergerak selama setidaknya tujuh hari, naik menjadi lebih dari 120 juta barel.
Artinya, ada minyak yang “menganggur” di pasar global. Ini menjadi bukti bahwa kelebihan pasokan belum sepenuhnya terserap, meskipun stok di darat terlihat relatif ketat.
Secara keseluruhan, performa minyak dunia saat ini berada dalam fase tarik-menarik yang intens antara risiko geopolitik dan tekanan fundamental. Gangguan pasokan dari Venezuela dan Rusia memberi dukungan jangka pendek, tetapi bayangan surplus global, penguatan dolar, dan lemahnya margin kilang membatasi ruang kenaikan.
Reli yang terjadi lebih mencerminkan technical rebound dari kondisi jenuh jual ketimbang awal tren bullish baru. Selama prospek surplus 2026 dan pertumbuhan produksi AS tetap dominan, harga minyak masih akan bergerak volatil dengan bias berhati-hati, sangat sensitif terhadap setiap eskalasi geopolitik atau perubahan ekspektasi permintaan global.(*)