KABARBURSA.COM - Pinjaman online (pinjol) yang kini dikenal dengan nama pinjaman daring (pindar) terus mengalami perkembangan pesat. Beragam penyedia pindar menawarkan kemudahan dalam proses pengajuan pinjaman. Belakangan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis aturan baru terkait persyaratan meminjam melalui layanan tersebut.
Aturan ini tercantum dalam penguatan pengaturan khususnya Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech peer-to-peer (P2P) lending berizin, sebagaimana diatur dalam Surat edaran OJK Nomor 19/SEOJK.05/2023 (SEOJK 19/2023).
Masyarakat yang hendak mengajukan pinjaman pindar wajib memiliki penghasilan minimum sebesar Rp3.000.000 per bulan dan berusia setidaknya diatas 18 tahun. Adapun aturan tersebut diberlakukan untuk meningkatkan kualitas pendanaan yang disalurkan melalui Lembaga Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
"Batas usia minimum Pemberi Dana (Lender) dan Penerima Dana (Borrower) adalah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah, dan penghasilan minimum Penerima Dana LPBBTI adalah Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) per bulan," tulis OJK dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu, 31 Desember 2024.
Merespons hal ini, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, menyambut baik dan mendukung keputusan OJK dalam menerbitkan kebijakan tersebut. Ia percaya kebijakan ini akan memberikan dampak positif yang luas serta memperkuat inklusi keuangan di Indonesia.
"AFPI optimistis kebijakan OJK ini akan memiliki multidampak," tulis Entjik melalui keterangan resminya di Jakarta, Jumat, 3 Januari 2025.
Menurut Entjik, regulasi ini akan mendorong pertumbuhan industri yang sehat sekaligus berkontribusi pada peningkatan kredit nasional. Adapun, pada akhirnya mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sesuai visi pemerintahan baru.
Lebih lanjut, dia meyakini kebijakan tersebut akan memperkuat kemampuan platform pindar dalam hal tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan secara lebih terintegrasi.
Selain itu, Entjik menilai aturan baru tersebut akan mendorong platform pindar untuk menerapkan praktik yang bertanggung jawab, meningkatkan dampak positif, dan meminimalkan risiko negatif bagi pengguna, sebagai wujud komitmen terhadap perlindungan konsumen.
Pindar Mampu Dorong Pertumbuhan Ekonomi RI
Sebelumnya, diberitakan Kabarbursa.com, ekonom Hendri Saparini menyatakan bahwa Indonesia masih memerlukan layanan peer-to-peer (P2P) lending, meski banyak masyarakat kelas menengah ke bawah yang terjerat pinjol atau pindar.
Menurut Hendri, P2P lending memang sudah kurang relevan di beberapa negara dengan tingkat masyarakat unbanked yang rendah, seperti Korea Selatan dan China.
Berdasarkan data tahun 2021, tingkat unbanked di China tercatat 20 persen, sementara di Korea Selatan (Korsel) hanya 5 persen.
Namun, kondisi di Indonesia berbeda. Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2021, tingkat masyarakat unbanked Indonesia masih cukup tinggi, yakni 48 persen.
“Sebetulnya kita tidak perlu lagi mendiskusikan apakah P2P lending itu penting atau tidak. P2P lending sangat penting bagi Indonesia, khususnya untuk mendorong perkembangan pinjaman daring,” kata Hendri, Jumat, 20 Desember 2024.
Lanjut Hendri, alasan lain mengapa P2P lending masih dibutuhkan adalah adanya kesenjangan pendanaan di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ia mengungkapkan bahwa kebutuhan pendanaan UMKM mencapai Rp4.300 triliun, sementara kemampuan penyediaan dana konvensional baru mencapai Rp1.900 triliun.
“Lembaga keuangan konvensional belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga P2P lending dapat membantu mengurangi gap ini,” ujar Hendri.
Hendri juga mencatat bahwa tingkat wanprestasi di Indonesia menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun, sementara pemerintah berkomitmen untuk menyalurkan 30-40 persen dana kepada UMKM.
Hendri, yang juga merupakan anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc), memberikan beberapa catatan terkait P2P lending dan kebutuhan pendanaan UMKM. Ia menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan layanan P2P lending sambil melindungi kepentingan borrower (peminjam) dan investor.
“Keseimbangan perlu dijaga antara kepentingan borrower dan investor. Pemerintah harus berhati-hati dalam menciptakan kebijakan yang dapat menjaga kedua pihak tersebut,” saran Hendri.
Meski begitu, Hendri mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam memilih layanan P2P lending agar tidak terjerumus ke pinjaman ilegal. Ia juga mendorong agar P2P lending dapat lebih mendukung sektor produktif.
“Saat ini, sektor produktif yang dibiayai P2P lending masih di bawah 30 persen. Ke depannya, pinjaman dengan nominal besar dan jangka panjang sangat dibutuhkan di sektor ini,” ujarnya.
Hendri berharap P2P lending dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan dan mendorong industrialisasi di daerah.
Menurutnya, P2P lending seharusnya tidak hanya digunakan untuk kepentingan sesaat, tetapi juga dapat menjadi layanan investasi yang mendukung sektor produktif dalam jangka panjang.
“Kita perlu mendorong pemerintah untuk memikirkan strategi yang tepat agar pinjaman UMKM dapat dimanfaatkan secara produktif dan memberikan nilai tambah,” pungkasnya. (*)