KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti lemahnya kontribusi sektor asuransi terhadap perekonomian nasional. Data terkini menunjukkan bahwa nilai aset industri asuransi di Indonesia hanya mencapai 5,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), masih jauh tertinggal dibandingkan rata-rata negara-negara ASEAN yang berada di kisaran 15 persen.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, mengungkapkan bahwa jika dibandingkan dengan Singapura, selisihnya bahkan lebih tajam. Negeri tersebut mencatatkan rasio aset asuransi terhadap PDB mencapai angka mencolok, yakni 70 persen. Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa inklusi asuransi di Indonesia masih sangat terbatas.
“Begitu pula dengan total premi asuransi dibayarkan setiap tahun dibandingkan PDB atau terminologi penetrasi saat ini masih 3 persen, dibanding ASEAN 3–5 persen, dan Singapura di atas 10 persen,” ucap Mahendra dalam forum rapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin 30 juni 2025
Lebih lanjut, OJK menilai keterbatasan tersebut membuat kapasitas perlindungan terhadap risiko, khususnya di sektor kesehatan, menjadi belum optimal. Padahal, ketersediaan jaminan kesehatan merupakan bagian penting dalam menjaga ketahanan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.
Mahendra turut mengutip sebuah studi kawasan yang menyoroti celah perlindungan (protection gap) yang masih lebar di Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Ia menyebut bahwa pada 2022 saja, nilai gap tersebut diperkirakan mencapai USD 886 miliar.
Kondisi ini menunjukkan bahwa akses terhadap perlindungan risiko—baik akibat penyakit serius, bencana alam, maupun risiko lainnya—belum merata, padahal risikonya terus meningkat seiring waktu.
Salah satu faktor yang menekan daya jangkau proteksi ini adalah melonjaknya biaya kesehatan. Mahendra menegaskan bahwa inflasi di sektor medis menunjukkan tren kenaikan yang signifikan. Ia menjelaskan bahwa pada 2023 lalu, tingkat inflasi medis nyaris tiga kali lipat dari inflasi umum. Sedangkan pada 2025, angkanya diproyeksikan menyentuh 13,6 persen.
Berangkat dari sejumlah tantangan tersebut, OJK merasa perlu menerbitkan regulasi baru guna menjamin keberlanjutan dan peningkatan cakupan asuransi kesehatan. Langkah itu diwujudkan melalui terbitnya Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 7/SEOJK.05/2025 yang mengatur penyelenggaraan produk asuransi kesehatan.
“SE ini hanya berlaku bagi asuransi kesehatan komersial dan tidak mengatur Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan. Beberapa ketentuan pokok dalam SE 7/2025 antara lain penerapan fitur Co-Payment minimal 10 persen dari klaim yang maksimalnya ditetapkan Rp 300 ribu rawat jalan dan Rp 3 juta rawat inap,” jelas Mahendra.(*)