"Peraturan menteri sudah selesai proses harmonisasi dan sekarang sedang dalam proses untuk mendapatkan izin dari Presiden," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana Seperti dikutip Jakarta, Selasa 23 Juli 2024.
Dadan menjelaskan, melalui peraturan turunan tersebut, Kementerian ESDM dapat berkontribusi dalam penurunan emisi karbon melalui metode penangkapan dan penyimpanan karbon atau yang dikenal dengan istilah Carbon Capture Storage (CCS).
Selain CCS, Kementerian ESDM juga sedang mengupayakan penggunaan energi baru terbarukan dan energi rendah karbon lainnya.
Sebelumnya, Direktur Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Migas ESDM Noor Arifin Muhammad menyatakan bahwa terdapat 17 poin yang dibahas untuk dimasukkan ke dalam aturan turunan Perpres 14/2024, termasuk sertifikasi kapasitas penampungan karbon, prosedur penyiapan lisensi karbon, prosedur lelang, hingga biaya penyimpanan. Dari 17 poin tersebut, ada 7 poin yang harus dibicarakan lintas kementerian dan lembaga.
Noor Arifin menekankan bahwa peraturan turunan ini melibatkan berbagai kementerian dan lembaga lain, seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk penggunaan lahan di darat. Selain itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga terlibat dalam transportasi karbon yang bisa dilakukan melalui pipa, kapal, maupun truk.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan proyek CCS menjadi proyek strategis nasional (PSN), Noor Arifin menyatakan bahwa hal tersebut bisa saja terjadi jika ada yang mengajukan. "Bisa saja (jadi PSN). Kalau PSN kan nanti diusulkan. Saat ini, yang PSN itu yang di Tangguh, yaitu proyek CCUS (Carbon Capture Utilization and Storage)," ujar Noor Arifin.
Emisi Nol Karbon
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp81,6 triliun setiap tahunnya untuk mendukung transisi energi menuju pencapaian Net Zero Emission atau Emisi Nol Karbon pada tahun 2060 mendatang.
Dalam upaya mencapai tujuan ini, diperlukan investasi besar dalam infrastruktur energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan, yang diyakini akan memainkan peran krusial dalam mengurangi jejak karbon negara kita secara signifikan.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan, pemerintah telah mengidentifikasi membutuhkan dana sekitar Rp81,6 triliun setiap tahunnya.
“Pemerintah telah mengidentifikasi sekitar USD7 miliar atau sekitar Rp81,6 triliun dibutuhkan tiap tahunnya dalam mendukung transisi menuju NRE,” kata Inarno Djajadi dalam sambutannya di Road To SAFE 2024.di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin, 22 Juli 2024.
Mengutip laporan World Bank, Inarno mengatakan, tingginya angka emisi karbon telah menjadi salah satu sumber penyebab perubahan iklim. Diperkirakan jumlah emisi karbon dapat meningkat kembali ke level sebelum pandemi COVID-19 apabila pemulihan pasca pandemi tidak memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, lanjut Inarno, upaya mitigasi dan adaptasi terhadap ancaman perubahan iklim yang dapat beriringan dengan pembangunan perlu disiapkan secara bertahun-tahun agar proses transisinya dapat berjalan dengan masyarakat.
“Hal tersebut juga menuntut perencanaan yang tepat terutama dalam mengalokasikan sumber daya yang dimiliki,” ujarnya.
Penerapan Keuangan Berlanjutan
OJK, kata Inarno, terus berupaya berperan aktif mendukung berbagai kebijakan dan tujuan pemerintah melalui berbagai kebijakan dan inisiatifnya dalam penerapan keuangan berkelanjutan.
Inisiatif tersebut dimulai melalui penerbitan roadmap keuangan berkelanjutan yang merupakan inisiatif berjangka menengah panjang 10 tahun. Adapun untuk fase pertama, jangka pendek, dan menengah, dilaksanakan di tahun 2015 sampai dengan 2020 dan fase kedua untuk jangka panjang dilaksanakan untuk periode 2021-2025.
Sebagai langkah konkret dalam menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan, pada fase pertama di 2017 OJK juga telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 51 tahun 2017 tentang penerapan keuangan berkelanjutan bagi lembaga dasar keuangan, emiten, dan perusahaan public.
Seiring berjalannya waktu, demi mendukung program-program pemerintah menuju grief economy, beberapa inisiatif seperti penunjukan regulasi baru POJK 14 2023 tentang perdagangan karbon melalui busa karbon dan penunjukan taksonomi keberlanjutan Indonesia atau TKBI versi 2.0.
Terakhir, OJK juga telah menerbitkan Panduan Climate Risk Management and Scenario Analysis pada 4 Maret 2024 yang lalu. Panduan tersebut merupakan salah satu langkah konkret OJK mendukung pemerintah mencapai target net zero di tahun 2060.