Logo
>

B40 dan B50, Solusi atau Masalah bagi Ekonomi Sawit?

Ditulis oleh Dian Finka
B40 dan B50, Solusi atau Masalah bagi Ekonomi Sawit?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Rencana pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor solar dengan mendorong penggunaan biodiesel hingga mencapai 50 persen pada tahun 2026 menyisakan sejumlah pertanyaan. Fahmy Radhi, seorang pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai kebijakan ini perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, mengingat implikasi yang ditimbulkan baik dari sisi harga maupun permintaan minyak sawit domestik.

    Karena sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, telah memproyeksikan bahwa Indonesia akan terbebas dari impor bahan bakar minyak, khususnya jenis solar, berkat peningkatan penggunaan biodiesel. Namun, Fahmy Radhi menyarankan bahwa pencapaian target ini belum sepenuhnya efektif, terutama terkait dengan kandungan energi fosil dalam biodiesel.

    “Pencapaian B40 sebagai energi bersih masih terbilang belum efektif, karena sekitar 60 persen dari kandungan biodiesel masih mengandalkan energi fosil. Jika kita bisa mencapai B100, barulah itu bisa menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang efektif,” ujar Fahmy saat dihubungi oleh Kabarbursa.com di Jakarta, Senin, 6 Januari 2025.

    Fahmy menambahkan bahwa kebijakan untuk meningkatkan penggunaan biodiesel menjadi B40 dan seterusnya berpotensi menimbulkan ketegangan dalam sektor kelapa sawit. Pasalnya, jika permintaan biodiesel terus meningkat, minyak sawit yang biasanya digunakan untuk kebutuhan pangan atau produk turunannya, seperti oleokimia, akan lebih banyak dialihkan untuk energi.

    “Peningkatan konsumsi biodiesel tentu berhubungan langsung dengan permintaan minyak sawit. Jika ini tidak dikelola dengan baik, kita bisa menghadapi trade-off antara penggunaan kelapa sawit untuk energi atau pangan. Jika terjadi ketidakseimbangan, ini bisa memicu krisis pangan dan meningkatkan harga produk-produk yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku,” ungkap Fahmy.

    Lebih lanjut, Fahmy menyarankan agar alokasi 15,6 juta kiloliter (KL) untuk B40 pada 2026 tidak terlalu dipaksakan. Mengingat belum ada jaminan bahwa pasar akan mampu menyerap seluruh volume tersebut, hal ini bisa menjadi masalah bagi keberlanjutan kebijakan ini.

    Harga biodiesel yang lebih tinggi dibandingkan solar juga menjadi tantangan utama. Pasar mungkin tidak dapat menerima harga biodiesel yang lebih mahal, apalagi jika konsumen dan sektor industri cenderung lebih memilih energi dengan harga yang lebih murah.

    “Pasar tidak selalu bisa menerima B40 dengan harga yang lebih tinggi, apalagi jika ada kecenderungan untuk tetap menggunakan solar karena harga yang lebih murah. Oleh karena itu, kebijakan ini memerlukan kajian yang lebih mendalam terkait daya serap pasar dan dampaknya terhadap harga energi domestik,” jelas Fahmy.

    Dalam pandangannya, perbaikan dari B35 ke B40 mungkin tidak membutuhkan perubahan besar, namun untuk mencapai B100, langkah-langkah lebih strategis dan komprehensif perlu dilakukan. Fahmy juga menekankan pentingnya mengelola sektor kelapa sawit secara bijaksana agar kebijakan ini tidak merugikan sektor pangan dan memastikan kesejahteraan petani sawit tetap terjaga.

    “Jika pemerintah ingin melanjutkan kebijakan biodiesel ini, maka sektor kelapa sawit harus dikelola dengan sangat hati-hati. Kebijakan yang terfokus pada energi terbarukan harus memperhatikan kelangsungan hidup petani dan keberlanjutan produksi minyak sawit, dengan tidak mengabaikan kepentingan pangan dan oleokimia,” pungkasnya.

    Sebagai penutup, Fahmy berharap agar pemerintah dapat mengoptimalkan kebijakan ini dengan pendekatan yang lebih holistik. Pendekatan ini harus melibatkan berbagai stakeholder dan memastikan keberlanjutan sektor kelapa sawit serta efisiensi energi terbarukan yang lebih optimal.

    GAPKI Prediksi Ekspor CPO Turun dan Harga Melonjak

    Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengungkapkan bahwa penerapan program bahan bakar solar dengan campuran biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen atau B40 mulai 1 Januari 2025 akan berdampak terhadap peningkatan konsumsi biodiesel di Indonesia.

    Dalam perhitungan GAPKI, penerapan B40 akan meningkatkan konsumsi biodiesel dalam negeri hingga sebanyak 3 juta ton. Secara total, program tersebut membutuhkan setidaknya 15,6 juta kiloliter (kl) atau setara dengan 14 juta ton bahan baku minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

    Namun demikian, Ketua GAPKI Eddy Martono menyampaikan bahwa berdasarkan data tersebut, kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah berpotensi memberi dampak besar terhadap sektor kelapa sawit, utamanya terkait volume ekspor dan harga minyak kelapa sawit global.

    Menurut GAPKI, ekspor produk CPO dan PKO menurun sebesar 2,38 persen dari 33,15 juta ton pada tahun 2022 menjadi 32,21 juta ton pada tahun 2023. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor kelapa sawit Indonesia pada tahun 2023 mencapai USD24,99 miliar, mengalami penurunan sebesar 19,39 persen dibandingkan tahun 2022.

    Sementara pada 2024, ekspor CPO Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada bulan Januari 2024, ekspor CPO tercatat sebesar 347.044 ton, melanjutkan total ekspor CPO pada tahun 2023 yang mencapai 3.595.946 ton. Pada bulan Februari 2024, realisasi ekspor CPO meningkat drastis, mencapai 2,17 juta ton. Secara keseluruhan, pada semester I tahun 2024, volume ekspor CPO mengalami lonjakan sebesar 39,71 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023, dari 1.249.000 ton menjadi 1.745.000 ton.

    “Jika konsumsi biodiesel meningkat, sementara produksi CPO masih stagnan, maka ekspor akan berkurang sekitar 2 hingga 3 juta ton. Dan kondisi ini dapat memicu lonjakan harga minyak nabati dunia, seperti minyak sawit mentah,” jelas Eddy kepada Kabarbursa.com, Senin, 6 Januari 2025.

    Saat ini, produksi CPO diproyeksi akan turun sebesar 4,4 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 54,844 juta ton pada 2023 menjadi 52,449 juta ton. Pada tahun 2023, GAPKI melaporkan bahwa konsumsi minyak sawit domestik mencapai 25,4 juta ton, meningkat 9,08 persen dari 23,28 juta ton pada tahun 2022. Konsumsi biodiesel mendominasi dengan penyerapan 11,6 juta ton.

    GAPKI memperkirakan konsumsi minyak sawit domestik akan meningkat menjadi 27,4 juta ton, dengan tambahan 2 juta ton untuk biodiesel (proyeksi konsumsi B40). Namun, data hingga September 2024 menunjukkan penurunan konsumsi domestik dengan rincian September 2024 tercatat 1,989 juta ton, lebih rendah dari Agustus yang mencapai 2,060 juta ton.

    Lebih jauh, apabila pemerintah melanjutkan program peningkatan penggunaan biodiesel menjadi B50, Eddy menegaskan bahwa akan memicu dampak yang jauh lebih besar. “Contohnya akan menyebabkan penurunan ekspor sekitar 6 juta ton. Hal ini akan semakin membatasi pasokan CPO untuk pasar internasional,” ungkap dia.

    Untuk merespons hal ini, GAPKI menekankan perlunya kebijakan yang lebih holistik dan berkelanjutan untuk memastikan sektor kelapa sawit tetap berkembang tanpa mengorbankan ekspor. Selain itu, sektor hilir, seperti oleokimia dan pangan, juga akan merasakan dampaknya, mengingat ketergantungan pada CPO sebagai bahan baku utama.

    Dalam menghadapi potensi penurunan ekspor ini, GAPKI berharap pemerintah dapat meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri, memperkenalkan kebijakan yang mendukung diversifikasi produk kelapa sawit, dan menyiapkan pasar ekspor alternatif.

    “Dukungan kepada petani sawit kecil juga harus terus diperkuat agar mereka tidak terlalu terdampak oleh fluktuasi harga pasar,” pungkas Eddy. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.