Logo
>

Badai di IHSG Pasti Berlalu, Melihat Siklus Dua Era Trump

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Badai di IHSG Pasti Berlalu, Melihat Siklus Dua Era Trump
Aktifitas depan Papan Pantau Saham di Main Hal Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa, 11 Februari 2025. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Bursa saham Indonesia sedang mengalami guncangan besar. Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG anjlok dari level 7.163,21 pada awal Januari 2025 ke 6.270 pada akhir Februari 2025. IHSG mencatat penurunan 12,47 persen hanya dalam dua bulan pertama tahun ini. Jika ditarik sejak puncak Oktober 2024 di mana IHSG mencapai level tertingginya, indeks saham sudah longsor 20 persen.

    Kondisi ini membawa ingatan ke era Donald Trump pertama kali berkuasa di 2017-2018 ketika kebijakan proteksionisme perdagangan AS memicu kepanikan di pasar negara berkembang. Namun, apakah kali ini situasinya sama?

    IHSG Terkoreksi, Apa yang Berbeda dengan 2017-2018?

    Berdasarkan data Investing, selama periode Januari 2017 hingga Desember 2018, IHSG mengalami tren yang relatif stabil dengan kenaikan 16,95 persen. Tapi, sepanjang 2018, IHSG terkoreksi 2,54 persen. Situasi ini berbeda dengan 2025, di mana pasar saham Indonesia telah mengalami tekanan sejak Oktober 2024 dan masih berlanjut hingga kuartal pertama tahun ini.

    Pada 2018, pasar saham Indonesia mengalami tekanan besar akibat kenaikan suku bunga The Fed dan perang dagang AS-China. Ketegangan perdagangan antara AS dan China memuncak dengan aksi saling balas tarif yang membuat pasar global bergejolak.

    Saat itu, Donald Trump mengambil langkah proteksionisme dengan mengenakan tarif 25 persen terhadap barang-barang asal China senilai USD34 miliar (sekitar Rp554,2 triliun) pada 6 Juli 2018. Kebijakan ini diklaim sebagai respons terhadap praktik perdagangan yang dianggap tidak adil, termasuk pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi paksa yang dituduhkan kepada China.

    China tidak tinggal diam dan menerapkan tarif serupa terhadap produk-produk AS. Ketegangan semakin meningkat pada September 2018 ketika Trump kembali menaikkan tekanan dengan mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen pada barang-barang impor asal Negeri Tirai Bambu tersebut senilai USD200 miliar (sekitar Rp3.260 triliun). 

    Kondisi ini menyebabkan arus modal asing keluar dari pasar negara berkembang seperti Indonesia. Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan pada 2018, investor asing mencatatkan net sell atau jual bersih sebesar Rp50,75 triliun, jumlah yang cukup besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

    Perbandingan nett sell asing di pasar modal Indonesia pada 2018 dan awal 2025.


    Direktur Eksekutif untuk Asia-Pasifik di Liquidnet–sebuah perusahaan pialang institusional, Lee Porter, mengatakan ketika pasar global mengalami gejolak, negara-negara berkembang biasanya menjadi yang pertama merasakan dampaknya.

    “Biasanya, setiap kali pasar gonjang-ganjing, pasar negara berkembang kena hajar duluan. Uang langsung kabur dari aset-aset berisiko ke tempat yang dianggap lebih aman. Tapi sering kali, duit itu balik lagi dengan cepat,” kata Porter dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Ahad, 2 Maret 2025.

    IHSG saat ini berada dalam tren bearish, tetapi kondisi fundamental ekonomi Indonesia lebih kompleks dibandingkan 2018. Beberapa faktor yang memperburuk tekanan di pasar modal Indonesia adalah:

    1. Kembalinya Perang Dagang Trump dan Arus Modal Keluar

    Presiden Donald Trump kembali mengancam perang dagang, kali ini tidak hanya dengan China, tetapi juga dengan negara-negara yangbergabung dengan BRICS. Ancaman tarif tambahan membuat investor global kembali memilih aset safe haven, seperti dolar AS dan obligasi AS sehingga terjadi tekanan jual di pasar negara berkembang.

    Data dari Bursa Efek Indonesia menunjukkan sejak Januari hingga Februari 2025, terjadi net sell asing sebesar Rp19 triliun—angka yang cukup besar untuk hanya dalam dua bulan pertama tahun ini. Jika dibandingkan dengan periode 2018, pola ini terlihat mirip, tetapi dengan intensitas yang lebih cepat.

    2. Perlambatan Ekonomi dan Krisis Likuiditas

    Salah satu perbedaan utama antara 2018 dan 2025 adalah kondisi ekonomi domestik. Jika pada 2018 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup kuat ditopang oleh komoditas, di 2025, harga komoditas justru mengalami normalisasi yang berdampak langsung pada penerimaan negara.

    Sebagai gambaran, selama 2018, data Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat total nilai ekspor komoditas Indonesia sebesar USD180 miliar, meningkat 6,62 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, ekspor komoditas jenis nonmigas mendominasi dengan nilai USD163 miliar (90,46 persen), sementara ekspor migas mencapai USD 17,17 miliar (9,54 persen).

    Sementara itu, pada 2025, berdasarkan Outlook Ekonomi dan Keuangan Otoritas Jasa Keuangan, Indonesia akan menghadapi tantangan ekonomi yang berpotensi memengaruhi stabilitas keuangan negara. Faktor utama yang menjadi perhatian adalah volatilitas harga komoditas global serta ketidakpastian geopolitik.

    Selain soal komoditas, pemerintah pun harus menghadapi jatuh tempo obligasi negara sebesar Rp800 triliun pada tahun ini, sementara belanja negara membengkak akibat program Makan Bergizi Gratis dan 3 Juta Rumah. Tekanan ini menyebabkan Bank Indonesia melakukan pembelian obligasi di pasar sekunder yang dalam jangka panjang dapat memperburuk tekanan nilai tukar rupiah.

    Di sisi lain, Morgan Stanley menurunkan rating Indonesia dari “Equal Weight” menjadi “Underweight” yang menyebabkan dana asing semakin cepat keluar dari pasar modal Indonesia.

    Di tengah tekanan besar di pasar modal, muncul harapan dari pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara yang digadang-gadang sebagai kendaraan investasi strategis pemerintah. Dengan aset kelolaan yang diperkirakan bisa mencapai USD900 miliar, Danantara diharapkan bisa menjadi stabilisator pasar keuangan domestik.

    Namun, meskipun Danantara bisa menjadi salah satu faktor stabilisasi di pasar modal, dampaknya terhadap saham-saham berkapitalisasi besar seperti BBRI, BMRI, dan BBCA masih belum bisa dipastikan. Salah satu tantangan terbesar adalah seberapa cepat Danantara bisa mulai menyalurkan dananya ke pasar serta apakah ini cukup untuk mengimbangi arus modal asing yang keluar.

    Berapa Lama IHSG Akan Pulih?

    Pada tahun 2018, IHSG mengalami penurunan sebesar 2,54 persen. Setelah mencapai titik terendah pada Oktober hingga medio November 2018, IHSG mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan di bulan-bulan berikutnya. Pada Januari 2019, indeks berhasil rebound.


    Namun, setelah pemulihan tersebut, IHSG bergerak sideways hingga akhirnya menghadapi tekanan baru akibat pandemi Covid-19 pada Maret 2020. Dengan demikian, periode pemulihan IHSG setelah penurunan tahun 2018 berlangsung sekitar 2 hingga 3 bulan, sebelum kembali mengalami volatilitas akibat faktor eksternal lainnya.

    Tren pergerakan IHSG rentang 2018 hingga awal 2019. Sumber: TradingView.

    Perlu dicatat bahwa durasi pemulihan pasar saham dapat bervariasi tergantung pada kondisi ekonomi global dan domestik, serta respons kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

    Namun, beberapa faktor bisa mempercepat atau memperlambat pemulihan kali ini:

    1. Keputusan The Fed tentang suku bunga

    • Jika The Fed mulai memangkas suku bunga lebih cepat dari ekspektasi, arus modal asing bisa kembali ke pasar negara berkembang lebih cepat.
    • Jika The Fed tetap mempertahankan suku bunga tinggi hingga akhir 2025, maka pemulihan bisa lebih lambat dibandingkan 2018.


    2. Kebijakan fiskal pemerintah Indonesia

    • Jika pemerintah merilis paket stimulus ekonomi yang cukup kuat, ini bisa membantu menarik kembali kepercayaan investor.
    • Jika kebijakan yang diambil justru memperburuk kondisi likuiditas, IHSG bisa tetap dalam tekanan lebih lama.


    3. Daya beli masyarakat dan inflasi

    • Jika daya beli masyarakat kembali meningkat dan sektor konsumsi mulai pulih, maka pasar saham bisa mendapatkan dorongan positif lebih cepat.


    Siklus Pasar  Berulang, Tapi Seberapa Cepat?

    Penurunan IHSG kali ini memang mengingatkan pada 2018, tetapi ada perbedaan besar dalam faktor ekonomi makro yang mempengaruhinya. Jika saat itu pasar bisa pulih dalam waktu kurang dari satu tahun, kali ini pemulihan bergantung pada stabilitas kebijakan ekonomi dan keputusan The Fed.

    Namun, satu hal yang perlu dicatat oleh investor adalah: pasar selalu bergerak dalam siklus. Seperti yang dikatakan oleh Lee Porter dalam laporan The Wall Street Journal, setiap kali modal asing keluar dari pasar berkembang, mereka hampir selalu kembali dalam waktu yang relatif cepat.

    Bagi investor, ini adalah saat yang krusial untuk menata portofolio dan bersiap menghadapi rebound. Kepanikan hanya akan membuat keputusan investasi semakin tidak rasional. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).