KABARBURSA.COM - Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa penggunaan biodiesel B35 dan B40 merupakan salah satu cara mencapai swasembada energi. Menurutnya, swasembada hanya dapat dicapai jika peningkatan ketahanan energi nasional dapat dicapai.
“Kemandirian energi akan terwujud salah satunya karena ada bioethanol, bioenergy dan biodiesel. Biodiesel sekarang kita sudah B35 sampai B40 sudah selesai uji coba,” kata Bahlil, Minggu, 27 Oktober 2024.
Dia pun menyebut, pemanfaatan biodiesel akan ditingkatkan menjadi B50 dan B60. Peningkatan ini dilakukan karena sumber daya kedua bahan bakar tersebut cukup banyak di Indonesia.
“B35 sampai B40 itu kita habiskan kurang lebih sekitar 14 juta kiloliter. Sementara ekspor kita kan masih banyak. kalau ditanya kapasitas Crude Palm Oil (CPO) kita cukup atau tidak, pasti cukup. Nah, tinggal kita lihat adalah teknologinya, teknologinya ini kan harus by process untuk kita uji coba. Agar ketika itu diimplementasikan, B50-B60 itu betul-betul sudah melalui uji coba yang baik,” jelas Bahlil.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengungkapkan bahwa realisasi pemanfaatan biodiesel di Indonesia cukup meningkat setahun terakhir.
“Tren kenaikan tersebut menunjukkan komitmen dan keseriusan pemerintah dalam mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan meningkatkan ketahanan energi dengan memanfaatkan biodiesel, yang rasio campurannya juga terus akan ditingkatkan, yang sekarang sudah B35, akan ditingkatkan menjadi B40, kemudian B50 hingga B60,” kata Agus, Sabtu, 26 Oktober 2024.
Sebagai informasi, Kementerian ESM mencatatkan capaian biodiesel pada tahun 2021 mencapai 9,3 juta KL dan 10,45 juta KL pada tahun 2022. Pada tahun 2023 capaian biodiesel mencapai 12,2 juta KL dengan mandatori B35 dimulai pada Agustus 2023.
Program ini mewajibkan pengguna kendaraan mencampuran 35 persen dalam solar. Pewajiban pencampuran B35 ini diklaim mampu mengurangi ketergantungan pada impor BBM dan memberi nilai tambah bagi sektor pertanian.
Disebutkan terjadi penghematan devisa negara hingga Rp120,54 triliun. Peningkatan CPO olahan menjadi biodiesel sebesar Rp15,82 triliun serta 11.000 tenaga kerja yang terserap, baik dari non-farm atau off-farm.
Sebelumnya, instruksi terkait swasembada energi menjadi salah satu target yang dicanangkan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Kita harus swasembada energi dan kita mampu untuk swasembada energi, karena kita diberi karunia oleh Tuhan tanaman-tanaman yang membuat kita bisa tidak tergantung bangsa lain. Tanaman-tanaman seperti kelapa sawit bisa menghasilkan solar dan bensin, kita juga punya tanaman-tanaman lain seperti singkong, tebu, sagu, jagung, dan lain-lain,” tegasnya.
Implementasi B50 Berpotensi Ekspor Sawit
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan, program swasembada melalui biodiesel membuka peluang mengoptimalkan peremajaan sawit rakyat (PSR).
Eddy meminta pemerintah perlu hati-hati melaksanakan program biodiesel karena produksi sisawit masih stagnan. Ia meminta pemerintah tidak telalu memaksakan menggunakan B50 jika produksinya tidak siap. Menurutnya, pemerintah tidak akan terburu-buru dalam menerapkan B50 jika produksi tidak memadai.
“Pemerintah pasti tidak akan gegabah dalam mengimplementasikan B50 selama produksi sawit stagnan,” kata Eddy,
Ia mewanti-wanti, jika tidak dihitung dengan tepat, program biodiesel berpotensi mengganggu ekspor sawit Indonesia, yang pada gilirannya dapat menurunkan devisa negara.
Eddy merinci bahwa jika B50 diterapkan dalam kondisi industri sawit saat ini, diperkirakan ekspor akan turun sekitar 6 juta ton. Sementara itu, jika B60 diterapkan, penurunan ekspor bisa mencapai 10 juta ton.
“Dengan B40 saja, jika diimplementasikan, ekspor kita bisa turun 2 juta ton. Jika kita memaksakan B50, kita berisiko kehilangan 6 juta ton dari rata-rata ekspor yang mencapai 30 juta ton,” jelasnya.
Salah satu dampak yang perlu diperhatikan adalah potensi inflasi yang dapat terjadi akibat berkurangnya pasokan ekspor sawit ke pasar global. Eddy menekankan bahwa Indonesia akan merasakan dampak tersebut, terutama dalam harga produk yang berbahan dasar sawit.
“Jika pasokan kita berkurang, harga minyak nabati di dunia akan naik, dan pada akhirnya akan berdampak pada inflasi domestik, mengingat mahalnya produk sawit,” tambah Eddy.
Pemerintah Tetapkan Biodiesel Rp12.382, Bioetanol Rp15.100
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan Harga Indeks Pasar (HIP) untuk Bahan Bakar Nabati, yakni biodiesel dan bioetanol, untuk bulan Agustus 2024.
Untuk biodiesel, harga yang ditetapkan adalah Rp12.382 per liter, sementara untuk bioetanol adalah Rp15.010 per liter.
Menurut informasi yang dipublikasikan melalui akun Instagram Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM pada Selasa, 30 Juli 2024, harga biodiesel sebesar Rp12.382 per liter belum termasuk biaya angkut.
Biaya angkut tersebut akan ditambahkan ke harga dasar yang telah ditetapkan.
Perhitungan Harga Indeks Pasar (HIP) untuk biodiesel dilakukan dengan rumus sebagai berikut: HIP = (Harga CPO KPB rata-rata + USD85/ton) x 870 kg/m³ + ongkos angkut.
Dalam perhitungan ini, harga CPO KPB rata-rata untuk periode 25 Juni 2024 hingga 24 Juli 2024 adalah Rp12.848 per kilogram.
USD85 per ton merupakan nilai konversi dari bahan baku CPO menjadi biodiesel, sedangkan 870 kg/m³ adalah faktor konversi dari kilogram ke liter. Ongkos angkut dihitung sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 3.K/EK.05/DJE/2024.
Sementara itu, untuk perhitungan HIP bioetanol, digunakan rumus: HIP = (Harga tetes tebu KPB rata-rata periode 3 bulan x 4,125 kg/L) + USD0,25/L.
Dalam hal ini, harga tetes tebu KPB rata-rata untuk periode 15 Februari hingga 14 Juli 2024 adalah Rp2.647 per kilogram. Faktor 4,125 kg/L digunakan untuk konversi dari kilogram ke liter, dan USD0,25/L merupakan nilai konversi bahan baku menjadi bioetanol. (*)