KABARBURSA.COM – Meningkatnya ketegangan militer antara Israel dan Iran tak hanya mengguncang stabilitas kawasan, tapi juga memantik kekhawatiran akan dampaknya terhadap perekonomian nasional. Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Amin Ak, menilai Indonesia berada dalam posisi rentan sebagai negara pengimpor minyak bersih yang sangat bergantung pada harga energi global.
"Indonesia harus waspada. Setiap kenaikan USD1 harga minyak dunia berarti tambahan beban subsidi Rp3,1 triliun bagi APBN. Jika konflik ini berkepanjangan dan harga minyak mencapai USD100–150 per barel, tekanan inflasi dan defisit anggaran akan makin berat," kata Amin dalam keterangan tertulis, Selasa, 17 Juni 2025.
Data terkini menunjukkan eskalasi konflik telah memicu lonjakan harga minyak Brent lebih dari 10 persen. Serangan saling balas antara Israel dan Iran menyasar infrastruktur vital seperti kilang minyak Haifa di Israel serta lapangan gas South Pars milik Iran.
Amin yang juga menjabat Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI menyoroti potensi gangguan pasokan global, terutama melalui Selat Hormuz—jalur perairan strategis tempat sekitar 20 persen minyak dunia mengalir setiap hari. Gangguan di titik ini, menurut dia, akan memperparah gejolak harga dan risiko ekonomi nasional.
Ia merinci tiga risiko utama yang mengintai Indonesia. Pertama, kenaikan harga BBM impor yang bisa mendorong inflasi dan memaksa pemerintah menyesuaikan subsidi energi.
Kedua, ketergantungan tinggi terhadap impor minyak di tengah produksi dalam negeri yang stagnan di angka 700.000 barel per hari, sementara konsumsi nasional mencapai 1,6 juta barel per hari. Ketiga, potensi krisis listrik akibat lonjakan biaya pembangkit berbasis BBM dan gas yang akan memberi tekanan pada keuangan PLN maupun APBN.
Menghadapi ancaman tersebut, Amin mendorong pemerintah untuk bertindak cepat. Ia menyarankan penguatan cadangan energi nasional melalui optimalisasi stok BBM dan kerja sama dengan negara-negara produsen, serta percepatan pembangunan infrastruktur penyimpanan.
Di sisi lain, ia juga mendesak adanya koordinasi antarkementerian untuk menahan laju inflasi. "Indonesia harus aktif mendorong perdamaian di forum internasional seperti OPEC dan G20, sembari menjamin pasokan energi melalui kerja sama dengan negara netral," ujarnya.
Untuk jangka menengah, strategi diversifikasi energi dinilai wajib dipercepat. Menurut Amin, pemerintah perlu serius dalam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT), membangun kilang baru melalui proyek Grass Root Refinery (GRR), dan mendorong hilirisasi batu bara guna mengurangi ketergantungan pada impor minyak.
"Kami mendorong pemerintah untuk segera berkoordinasi dengan DPR guna menyusun skenario terburuk (worst-case scenario). Krisis ini adalah pengingat bahwa ketahanan energi adalah pondasi ketahanan nasional," kata Amin.
Sebagai informasi, harga minyak dunia melonjak lebih dari 2 persen pada Selasa pagi, 17 Juni 2025, waktu Asia seiring meningkatnya tensi konflik Iran-Israel. Terbaru, Iran kembali melancarkan serangan rudal balistik ke Tel Aviv pada Selasa, dini hari WIB.
Pasaca serangan itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyerukan agar semua orang segera meninggalkan Teheran. Ini memperbesar kekhawatiran akan kekacauan regional yang berpotensi mengganggu pasokan minyak global.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Selasa, kontrak berjangka Brent naik USD1,17 atau 1,6 persen menjadi USD74,4 per barel (setara Rp1.219.000), sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) melonjak USD1,34 atau 1,87 persen ke USD73,11 per barel (sekitar Rp1.199.000). Keduanya sempat menguat lebih dari 2 persen di awal sesi perdagangan.(*)