KABARBURSA.COM - Banjir besar yang melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat pada akhir November hingga awal Desember 2025 dinilai bukan sekadar bencana alam, tetapi telah menjadi ancaman serius terhadap ketahanan ekonomi nasional.
Akuntan FEB UPN Veteran Jakarta, Dianwicaksih Arieftiara, menilai kerusakan lingkungan kini bertransformasi menjadi risiko ekonomi struktural yang dapat merusak fondasi ketahanan negara, mulai dari infrastruktur hingga aktivitas produksi daerah.
“Kerusakan lingkungan kini menjadi ancaman baru yang dapat memporak-porandakan ketahanan nasional: merusak infrastruktur vital, melemahkan ekonomi daerah, dan menimbulkan trauma sosial yang panjang,” kata Dianwicaksih dalam keterangannya, minggu 21 Desember 2025.
Ia menyoroti langkah pemerintah yang memeriksa delapan perusahaan di hulu lima daerah aliran sungai (DAS)—Batang Toru, Garoga, Badili, Aik Pandan, dan Sibuluan—sebagaimana dilaporkan Harian Kompas pada 8 Desember 2025. Tiga perusahaan bahkan dihentikan operasionalnya karena diduga berkontribusi signifikan terhadap banjir.
Pemerintah juga mewajibkan audit lingkungan untuk menelusuri tekanan ekologis akibat aktivitas ekonomi di wilayah hulu DAS tersebut.
Dari sisi dampak ekonomi, Dianwicaksih menekankan bahwa skala bencana kali ini telah melampaui kategori insiden lingkungan biasa. Data BNPB per 15 Desember 2025 mencatat sedikitnya 1.029 korban meninggal, 206 orang hilang, sekitar 7.000 korban luka, serta 52 kabupaten terdampak, yang menyebabkan ribuan warga kehilangan tempat tinggal dan aset produksi.
“Dampak kerugian yang signifikan ini menjelaskan bahwa yang kita hadapi bukan lagi isu lingkungan biasa, melainkan terganggunya fondasi ketahanan negara akibat rusaknya ekosistem dan DAS yaitu kawasan dengan fungsi ekologis strategis,” ujarnya.
Menurut Dianwicaksih, kerusakan DAS, deforestasi, dan perubahan bentang alam memiliki implikasi langsung terhadap perekonomian nasional karena memengaruhi tiga pilar utama ketahanan, yakni air, pangan, dan energi.
“Bela negara tidak lagi cukup dimaknai sebagai kesiapan menghadapi ancaman bersenjata,” katanya.
Ia menegaskan bahwa dalam konteks ekonomi modern, menjaga keberlanjutan lingkungan merupakan bagian dari upaya mempertahankan negara.
“Bela negara kini berarti menjaga keberlanjutan tanah air yang berarti negara ada jika dapat menjaga keberlanjutan tersebut,” lanjutnya.
Dalam perspektif tersebut, Dianwicaksih menilai praktik Environmental, Social, and Governance (ESG) di Indonesia masih menghadapi persoalan serius. Ia menyoroti ironi sejumlah perusahaan yang diperiksa pemerintah justru memiliki rekam jejak laporan keberlanjutan dan penghargaan lingkungan.
Namun, menurutnya, penghargaan tersebut belum tentu mencerminkan kondisi ekologis yang sesungguhnya.
“Namun penghargaan administratif tersebut tidak mencegah atau memperlambat kerusakan di hulu DAS. Di sinilah terlihat kesenjangan besar antara narasi keberlanjutan yang disampaikan dalam laporan ESG dan realitas ekologis di lapangan,” ujar Dianwicaksih.
Ia menilai banyak laporan keberlanjutan masih bersifat simbolik dan berorientasi citra, bukan pada mitigasi risiko ekonomi akibat kerusakan lingkungan.
“Jawabannya: karena banyak ESG reporting yang selama ini dikembangkan bersifat simbolik atau menjaga citra perusahaan, bukan substantif atau menjaga alam,” katanya.
Dianwicaksih menekankan bahwa laporan keberlanjutan seharusnya berfungsi sebagai instrumen ekonomi strategis untuk membaca risiko, bukan sekadar pemenuhan kewajiban administratif.
“Dalam kerangka bela negara berbasis keberlanjutan, laporan keberlanjutan tidak lagi dapat diposisikan sebagai dokumen administratif yang disusun sekadar untuk memenuhi kewajiban regulasi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya assurance independen agar laporan keberlanjutan memiliki kredibilitas dan relevansi ekonomi.
“Tanpa mekanisme tersebut, laporan keberlanjutan mudah terjebak pada selektivitas data,” kata Dianwicaksih.
Menurutnya, reformasi ESG perlu ditempatkan dalam kerangka ketahanan ekonomi nasional.
“Reformasi ini menempatkan ESG dalam kerangka yang lebih besar: bukan sekadar alat pelaporan perusahaan, tetapi pilar penting dalam menjaga keberlanjutan bangsa,” pungkasnya.(*)