KABARBURSA.COM - Pengamat kebijakan publik UPN Veteran, Achmad Nur Hidayat, menilai banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025 menjadi titik balik penting dalam membaca kondisi ekonomi masyarakat Indonesia. Menurutnya, bencana ini mengungkap jurang besar antara data optimisme konsumen dan kenyataan di lapangan.
“Kita sedang berhadapan dengan situasi yang di permukaan terlihat tenang, tetapi di bawahnya arus deras sedang mengikis pelan-pelan fondasi kesejahteraan banyak keluarga,” ujarnya dalam pernyataannya Rabu 10 Desember 2025.
Ia menilai tingginya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sepanjang 2025 yang mencapai kisaran 117 hingga 124 tidak otomatis mencerminkan pemulihan daya beli atau kondisi ekonomi rumah tangga yang stabil.
“IKK merekam persepsi dan harapan, bukan arus kas harian rumah tangga,” tegasnya.
Banjir Sumatra: Krisis Lokal yang Tertutup Optimisme Nasional
Achmad menilai bencana di Sumatra yang menewaskan ratusan hingga mendekati seribu jiwa, dengan jutaan terdampak adalah pengingat bahwa optimisme nasional dapat menutupi krisis kesejahteraan yang sangat nyata di daerah.
“Banjir Sumatra menunjukkan bahwa sebagian tembok rumah mulai lapuk karena deforestasi, tata ruang yang buruk, dan pemotongan anggaran mitigasi bencana,” katanya.
Ia menekankan bahwa bencana ini bukan hanya isu BNPB, tetapi alarm keras bahwa agenda iklim, tata ruang, dan manajemen risiko harus menjadi bagian inti dari strategi ekonomi.
IKK Tinggi Bukan Jaminan Konsumsi Kuat
Meski IKK meningkat, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 hanya sekitar 5,12 persen, dan semester pertama berada di 4,99 persen. Achmad menyebut situasi ini sebagai paradoks.
“IKK itu seperti ekspresi wajah seseorang di foto keluarga. Dari foto, semua tersenyum. Tapi kita tidak tahu apakah sebelum foto diambil mereka baru saja menjual motor untuk bayar cicilan,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa survei konsumen BI banyak menangkap suara kelas menengah kota, bukan keluarga rentan yang paling terpukul kenaikan harga pangan serta risiko bencana.
Target Pertumbuhan 5,3 Persen dan Jalan Berlubang di Depan
Menjelang akhir 2025, perdebatan terkait pencapaian target pertumbuhan 5,2–5,3 persen semakin mengemuka. Namun bagi Achmad, pertanyaannya bukan semata apakah target tercapai, melainkan apakah struktur ekonomi berubah.
“IKK adalah indikator yang memberi tahu bahwa mesin mobil sedang menyala dan pengemudi merasa percaya diri. Tapi kalau jalan di depan berlubang, rasa percaya diri itu tidak cukup untuk menjamin kita tiba di tujuan,” tuturnya.
Menuju Ketahanan Ekonomi, Bukan Sekadar Optimisme
Achmad menilai ada tiga langkah mendesak agar optimisme publik berdiri di atas fondasi yang kokoh:
Komunikasi kebijakan harus jujur, termasuk mengakui kerentanan kelompok miskin.
Indikator kesejahteraan perlu lebih granular, tidak hanya bertumpu pada indeks persepsi.
Agenda iklim dan tata ruang harus diarusutamakan dalam APBN dan RPJMN karena bencana berulang menyedot puluhan triliun setiap tahun.
“Yang paling sering mengguncang stabilitas bukan saat angka-angka jelek, melainkan ketika angka kelihatan bagus namun kenyataan sehari-hari warga bercerita sebaliknya,” pungkasnya.(*)