KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggelar pertemuan bilateral dengan Financial Supervisory Service (FSS) Korea guna membahas koordinasi pengawasan lintas batas pada lembaga jasa keuangan (LJK) serta mengeksplorasi peluang kerja sama di masa mendatang.
“Kami perlu mendalami pengawasan institusi keuangan Korea yang beroperasi di Indonesia, termasuk rencana bisnisnya, untuk mendapatkan pemahaman lebih komprehensif terkait kondisi saat ini,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu 16 November 2024.
Pertemuan tersebut berlangsung di Jakarta, dipimpin oleh Mahendra Siregar dan Gubernur FSS Korea, Lee Bokhyun. Fokus diskusi mencakup pengawasan LJK oleh kedua otoritas, koordinasi pengawasan lintas batas, serta pemantauan institusi keuangan Korea di Indonesia.
Mahendra menegaskan bahwa pertemuan ini bertujuan memperkuat fungsi pengawasan LJK sekaligus mempererat hubungan bilateral antara OJK dan FSS.
Gubernur FSS Korea, Lee Bokhyun, menyambut positif langkah ini. Ia menekankan pentingnya kolaborasi dan keterbukaan dalam pertukaran data serta informasi untuk meningkatkan kualitas pengawasan sektor perbankan dan asuransi di kedua negara.
“Saat ini, kami siap berbagi informasi dengan OJK demi memperkuat pengawasan yang lebih efektif,” ungkap Lee.
Dalam lanskap perbankan, Indonesia memiliki satu bank yang beroperasi di Seoul, yakni Bank Negara Indonesia (BNI). Di sisi lain, enam bank asal Korea menjalankan bisnisnya di Indonesia, yaitu PT Bank KB Bukopin, PT Bank Woori Saudara Indonesia, PT Bank KEB Hana, PT Bank Shinhan Indonesia, PT Bank IBK Indonesia, dan PT Bank Oke Indonesia.
Pada sektor asuransi, meski Indonesia belum memiliki perusahaan asuransi di Korea, enam perusahaan asuransi asal Korea telah beroperasi di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah PT Hanwa Life Insurance Indonesia, PT Asuransi Samsung Tugu, dan PT Meritz Korindo Insurance.
Kolaborasi antara OJK dan FSS telah terjalin melalui Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada April 2015. Implementasi MoU ini diwujudkan melalui berbagai kegiatan seperti seminar, kunjungan studi, pemeriksaan langsung, hingga program pertukaran tenaga ahli.
Melalui pertemuan ini, kedua otoritas menegaskan komitmen untuk terus mempererat kerja sama bilateral, terutama dalam koordinasi pengawasan sektor jasa keuangan di kedua negara.
Stabilitas Sistem Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa menjaga kesehatan sektor jasa keuangan sangat penting untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan, sehingga sektor ini dapat terus berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional.
OJK juga mengungkapkan bahwa stabilitas sistem jasa keuangan di Indonesia tetap terjaga berkat permodalan yang kuat dan likuiditas yang memadai.
“Yang paling utama adalah lembaga keuangan harus mampu mengelola dirinya sendiri agar tetap sehat, karena lembaga yang sehat biasanya tidak mengalami krisis likuiditas,” ungkap Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara, di Jakarta pada hari Senin 14 Oktober 2024.
Dalam Webinar OJK Mengajar yang bertema “Peran Mahasiswa dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan: Membangun Kesadaran Finansial,” Mirza menjelaskan bahwa menjaga stabilitas sistem keuangan adalah langkah penting untuk mencegah terjadinya krisis di sektor keuangan Indonesia. Penanganan krisis memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama untuk pemulihan.
Dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan, kesehatan lembaga jasa keuangan, termasuk perbankan, menjadi faktor yang sangat penting dan harus dijaga dengan baik agar tidak terjadi krisis likuiditas.
“Hampir tidak ada bank yang sehat yang mengalami krisis likuiditas. Krisis likuiditas biasanya terjadi pada bank yang tidak dalam kondisi sehat,” jelasnya.
Dinamika Ekonomi Global
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, sektor jasa keuangan masih stabil dan berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah dinamika ekonomi global yang meningkat. Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner OJK, menyatakan bahwa pada tahun ini, terjadi kebijakan yang berbeda dari pihak berwenang Amerika Serikat (AS) yang masih mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama, yang dikenal sebagai “higher for longer“.
“Di Eropa, kebijakan moneter lebih cenderung mengakomodasi dengan adanya indikasi perubahan dalam tingkat suku bunga. Sementara itu, di China, fokusnya adalah pada dorongan pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara beberapa otoritas ekonomi dunia pada tahun 2024,” kata Mahendra, dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu, 5 Juni 2024.(*)
 
      