KABARBURSA.COM - Hasil inspeksi European Central Bank (ECB) mengungkapkan bahwa sejumlah bank terkemuka di zona euro diduga telah menggelembungkan nilai properti komersial. Langkah ini diduga bertujuan menutupi penurunan kualitas pinjaman di sektor yang sedang terpuruk menghadapi pelemahan tajam.
Harga properti komersial telah merosot signifikan akibat tingginya biaya pinjaman serta lesunya permintaan, seiring perusahaan beradaptasi dengan lanskap ekonomi pascapandemi. ECB memperkirakan harga properti ini turun hampir 10 persen hanya dalam setahun terakhir.
Inspektur ECB mengidentifikasi berbagai masalah dalam metode penilaian yang digunakan oleh bank. Dengan tekanan dari suku bunga yang lebih tinggi dan permintaan yang terus melemah, peminjam di segmen utama menghadapi risiko gagal bayar yang lebih besar, menurut laporan ECB, seperti dikutip dari The Business Times, Kamis, 15 Agustus 2024.
Beberapa bank diketahui menggunakan definisi nilai pasar yang tidak akurat serta mengabaikan kenyataan bahwa pasar tengah mengalami penurunan tajam. Hal ini mengindikasikan bahwa beberapa agunan yang mendukung pinjaman mungkin memiliki nilai yang lebih rendah daripada yang diasumsikan, jelas ECB.
Temuan ECB dari 2022 dan 2023 menunjukkan beberapa bank mendasarkan penilaian pada data transaksi dari 2021 atau bahkan sebelumnya. Mereka beralasan kurangnya transaksi terkini membuat penyesuaian penilaian menjadi tidak memungkinkan.
ECB menyoroti bahwa tidak ada penyesuaian yang dilakukan untuk mencerminkan kondisi pasar yang sedang terpuruk serta perubahan ekonomi yang signifikan, seperti lonjakan inflasi dan kenaikan suku bunga. Bank sentral ini memang tengah gencar melakukan inspeksi langsung terkait eksposur properti komersial.
Harga Bahan Baku Naik
Senior Director Head of Advisory Group JLL Indonesia, Vivin Harsanto, menyatakan bahwa pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berdampak signifikan bagi konsumen dan pengembang properti.
Menurut Vivin, penguatan dolar AS akan meningkatkan sejumlah harga, yang dapat mendorong konsumen untuk menahan belanja, termasuk dalam pembelian properti.
Bagi para pengembang, kondisi ini juga berpotensi meningkatkan biaya produksi karena kenaikan harga bahan bangunan, serta potensi lonjakan beban usaha dari utang valas yang harus mereka tanggung.
Sementara itu, Direktur PT Metropolitan Land Tbk (MTLA), Olivia Surodjo, menyebutkan bahwa saat ini dampak pelemahan rupiah belum terlalu terasa pada segmen bisnis properti landed residential. Hal ini disebabkan oleh penggunaan material lokal yang mendominasi pembangunan properti tersebut. Namun, untuk sektor properti highrise yang banyak menggunakan bahan impor, pelemahan Rupiah akan memberikan efek yang cukup signifikan.
Menghadapi berbagai tekanan ekonomi, pelaku usaha sektor properti membutuhkan dukungan dari pemerintah dalam hal perizinan dan kepastian daya dukung bisnis properti. Dukungan ini sangat penting untuk membantu mereka mengatasi tantangan yang timbul akibat fluktuasi nilai mata uang dan kenaikan biaya produksi.
Satu dekade lalu, sektor properti dianggap sebagai instrumen investasi yang sangat menjanjikan. Banyak investor yang melihat properti sebagai aset yang stabil dan menguntungkan untuk jangka panjang. Namun, apakah saat ini properti masih menjadi pilihan instrumen investasi yang tepat bagi investor ritel?
Kondisi Pasar Properti
Founder Triniti Land, Bong Chandra, menjelaskan bahwa saat ini, secara realistis, seorang investor ritel sebaiknya tidak berinvestasi di properti. Menurutnya, kondisi pasar properti saat ini tidak seideal dahulu.
Dia menilai, harga properti yang terus meningkat tanpa diiringi oleh kenaikan pendapatan yang signifikan membuat properti menjadi kurang terjangkau bagi investor ritel.
“Saya being realistic, kalau masanya, cycle-nya bukan properti, individual investor tidak terlalu saya anjurkan untuk investasi di properti. Kalau kita bicara 2010-2014 itu bisa,” kata Bong Chandra di Jakarta, Sabtu, 13 Juli 2024.
Baginya, sekarang ini sektor properti lebih dilihat sebagai instrumen yang bertujuan melindungi kekayaan daripada menghasilkan keuntungan besar.
“Saat ini, properti lebih cocok sebagai instrumen untuk melindungi kekayaan daripada untuk mendapatkan keuntungan cepat,” jelasnya.
Menurut dia, seseorang yang telah mencapai tingkat karir tertentu memiliki kebutuhan untuk menyimpan kekayaan dalam berbagai bentuk investasi. Bentuk investasi ini meliputi emas, saham, atau properti.
Sektor properti diproyeksikan akan menjadi pilihan utama karena bisnis ini memiliki kemungkinan kecil untuk mengalami goncangan yang dalam dibandingkan dengan saham atau emas.
Investasi di sektor properti cenderung lebih stabil, karena permintaan akan hunian dan ruang komersial selalu ada, meskipun kondisi ekonomi berfluktuasi.
“Kemungkinan terjadi depresiasi atau kerugian besar sangat kecil,” tambahnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.