KABARBURSA.COM - Bank Dunia (World Bank) menilai produktivitas lahan padi di Indonesia tidak mengalami peningkatan selama 15 sampai 20 tahun terakhir.
Bank Dunia menyatakan heran. Padahal, petani padi di Indonesia adalah aset yang sangat menentukan ketahanan pangan.
Lead Agriculture Economist, Agriculture and Food Global Practice, East Asia, and Pacific Region World Bank, Animesh Shrivastava mengatakan, petani padi Indonesia merupakan pondasi ketahanan pangan seharusnya benar-benar diperhatikan oleh pemerintah.
“Petani padi adalah fondasi bagi ketahanan pangan negara ini (Indonesia). Namun, tingkat produktivitas padi di Indonesia saja berada di kisaran menengah ke atas dan ini merupakan prestasi yang cukup besar. Namun, dalam 15 sampai 20 tahun terakhir, tampaknya pertumbuhan produktivitas belum mencapai tingkat yang kuat,” kata Shrivastava saat menghadiri acara Indonesia International Rice Conference (IIRC), The Westin Resort Nusa Dua, Bali, Jumat, 20 September 2024.
Menurut dia, ada beberapa hal yang diusulkan untuk meningkatkan produktivitas padi di Indonesia. Pertama, kualitas benih, kemudian pupuk yang cocok pada tanah di kawasan tersebut.
“Benih berkualitas baik, tingkat penggantian benih yang baik, dan lain-lain. Kemudian pupuk berkualitas baik, yang diberikan dalam jumlah yang tepat. Bukan hanya sekedar pupuk, terkadang ada yang memberikan NPK, tetapi kebutuhan tanah mungkin berbeda. Jadi, kita harus memiliki manajemen nutrisi yang lebih baik, bukan hanya pupuk,” terang Shrivastava.
Selain itu, lanjut Shrivastava, petani Indonesia juga harus diberikan edukasi untuk membasmi hama agar produksinya bisa terjaga.
“Kemudian memaksimalkan penggunaan irigasi untuk persawahan,” tambahnya menjelaskan.
Sedangkan dari sisi penggilingan, diharapkan bisa memaksimalkan hasil pasca panen sehingga beras yang dihasilkan tidak menurunkan kualitas.
“Kemudian juga membantu petani untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Jadi, ada sejumlah hal yang harus dilakukan,” pungkasnya.
Harga Beras di Indonesia Lebih Mahal daripada di Pasar Global
Harga beras di Indonesia lebih mahal 20 persen daripada harga di pasar global. Hal itu diungkapkan Bank Dunia.
Bahkan, harga beras di Indonesia saat ini tertinggi di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Carolyn Turk mengatakan, tingginya harga beras di Indonesia terjadi karena beberapa faktor, seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor dan kenaikan biaya produksi hingga pengetatan tata niaga melalui non tarif.
“Kebijakan yang mendistorsi harga ini menaikkan harga produk dan mengurangi daya saing pertanian,” ucap Carolyn dalam Indonesia International Rice Conference (IIRC) 2024 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Bali, Jumat, 20 September 2024.
Ironisnya, Carolyn menegaskan, tingginya harga beras di dalam negeri tak sebanding dengan pendapatan petani lokal.
Mengutip hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari USD1 atau Rp15.199 per hari. Sementara, pendapatan petani per tahun hanya mencapai USD341 atau Rp5,2 juta.
Survei ini juga menyoroti pendapatan petani tanaman pangan khususnya beras yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanaman perkebunan atau pertanian hortikultura.
“Petani (beras) mendapat keuntungan rendah, padahal di lain sisi konsumen membayar harga beras dengan harga tinggi,” ungkap Carolyn.
Tak hanya itu, Carolyn menyebut, tingginya harga beras dalam negeri ini berdampak serius bagi masyarakat luas.
Bank Dunia mencatat, saat ini hanya 31 persen penduduk Indonesia yang mampu mendapatkan makanan sehat lantaran sulit membeli makanan bergizi seperti daging, telur, ikan dan sayuran.
“Harga beras yang tinggi semakin mempersulit konsumen miskin di Indonesia untuk membeli makanan bergizi,” ucap Carolyn.
Untuk itu dia menyebutkan, kenaikan harga beras seharusnya menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan. Pasalnya Indonesia sendiri memiliki ambisi untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.
“Pembentukan sumber daya manusia penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan,” pungkas Carolyn.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional Yadi Sofyan Noor mengaku bahwa para petani menikmati hasil dari usaha bercocok tanam.
Pasalnya, kata Yadi, harga gabah kering panen (GKP) di lapangan dalam kondisi di atas harga pokok penjualan (HPP), yakni sebesar Rp7000 per kilogram. Kendati demikian, dia menilai tingginya harga beras menjadi tantangan bagi petani untuk mendorong produksi. Dengan begitu, petani bisa menikmati hasil keringatnya sendiri.
Yadi pun membantah anggapan Bank Dunia yang menyebut petani dalam negeri kurang sejahtera. Dia bahkan mempertanyakan peran Bank Dunia bagi beras dalam negeri.
“Justru saya bertanya apa kontribusi World Bank untuk beras Indonesia? Faktanya, tingginya harga beras menunjukkan daya beli petani dalam kondisi baik. Ini juga merupakan sinyal bagus untuk petani yang terus berproduksi,” kata Yadi dalam keterangannya, Sabtu, 21 September 2024.
Yadi menegaskan, parameter naiknya kesejahteraan petani dapat dilihat dari berbagai rilis resmi Badan Pusat Statistik (BPS), baik mengenai Nilai Tukar Petani (NTP) maupun Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) yang cenderung mengalami tren kenaikan.
Bahkan tahun ini, kata Yadi, kenaikan NTP merupakan yang tertinggi selama 10 tahun terakhir, di mana NTP pada periode awal Presiden Joko Widodo menjabat hanya sebesar 102,87 atau kenaikannya hanya 0,50 persen.
Sedangkan NTP pada tahun ini rata-rata angkanya sangat tinggi, di mana NTP bulan April menjadi yang tertinggi yaitu sebesar 137,77 atau naik 0,40 persen. Begitu juga dengan bulan Agustus yang mencapai 138,91 atau naik 0,76 persen.
“Kalau kita bandingkan dengan periode awal Presiden Jokowi pada 2014 lalu, NTP tahun ini merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir,” ungkapnya.
BPS merilis kenaikan NTP rata-rata dipengaruhi komoditas gabah. Kenaikan NTP merupakan bukti bahwa komoditas beras selama ini masih menjadi tumpuan sekaligus harapan petani yang sangat menjanjikan terutama dalam hal peningkatan daya saing komoditas, peluang pasar ekspor dan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“NTP merupakan indikator utama meningkatnya kesejahteraan petani di Indonesia. NTP juga merupakan bagian penting dalam menentukan sebuah kebijakan yang berfokus pada produksi,” jelasnya. (*)