Logo
>

Batu Bara bisa Jadi Pemenang di Tengah Gempuran Tarif Trump

Lonjakan tarif bikin produsen Asia makin butuh listrik murah. Batu bara jadi pilihan, meski emisi bisa meningkat.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Batu Bara bisa Jadi Pemenang di Tengah Gempuran Tarif Trump
Aktivitas tambang batu bara di kawasan pegunungan. Foto: Dok. ESDM.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Di tengah badai perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif baru Presiden Amerika Serikat Donald Trump, muncul satu sektor yang justru berpotensi jadi pemenang: batu bara. Ketika banyak industri manufaktur Asia kelimpungan menghadapi lonjakan beban biaya, analis energi global dari Reuters, Gavin Maguire, memprediksi bahwa permintaan batubara justru akan melonjak.

    Trump baru-baru ini menetapkan tarif tambahan minimal 10 persen untuk hampir semua barang impor yang masuk ke AS. Beberapa negara Asia seperti Kamboja, Vietnam, dan Indonesia bahkan dibebani tarif lebih tinggi 32 hingga 49 persen. Ini mendorong pelaku usaha di negara-negara tersebut untuk menekan biaya produksi agar tetap bisa bertahan mengekspor ke pasar AS.

    Menurut Maguire, dalam situasi ini, perusahaan utilitas—terutama di Asia—akan terdorong untuk menurunkan ongkos produksi listrik demi membantu produsen lokal bertahan. Caranya adalah beralih ke sumber energi yang lebih murah, yakni batu bara.

    “Batu bara masih menjadi sumber energi termal paling murah dan paling dominan di Asia. Pada 2024, sekitar 56 persen pasokan listrik regional masih berasal dari batubara,” tulis Maguire dalam kolom analisnya, dikutip dari Reuters di Jakarta, Sabtu, 5 April 2025.

    Negara-negara yang terkena tarif tinggi seperti China dan Vietnam merupakan pusat produksi global untuk barang elektronik, pakaian, furnitur, dan perlengkapan olahraga—produk-produk yang rutin masuk pasar AS. Selain dua negara itu, tarif tinggi juga membebani Indonesia (32 persen), Malaysia (24 persen), Filipina (17 persen), dan Kamboja (49 persen).

    Dengan lemahnya daya beli konsumen AS sejauh ini pada 2025, banyak produsen Asia diperkirakan tidak akan bisa langsung membebankan kenaikan biaya itu ke konsumen. Maka jalan yang tersisa adalah menanggung sebagian beban itu dan mencari efisiensi dari sisi lain—termasuk energi.

    “Dalam kondisi ini, produsen energi berbasis batu bara berpeluang jadi penyelamat industri manufaktur Asia yang tengah tertekan,” tulis Maguire.

    Langkah ini, tentu saja, berseberangan dengan tren global pengurangan emisi. Namun, dorongan menjaga daya saing industri dianggap lebih mendesak dalam jangka pendek.

    Data dari lembaga riset Ember mencatat bahwa kontribusi gas alam sebagai pengganti batu bara memang tumbuh di beberapa negara Asia dan menyumbang sekitar 10 persen pasokan listrik pada 2024. Tapi karena harganya yang lebih mahal, gas diprediksi akan tersingkir sementara oleh batu bara dalam upaya menekan ongkos produksi.

    Berdasarkan data Trading Economics yang diakses Sabtu, 5 April 2025, harga futures batu bara Newcastle kembali tergelincir ke bawah ambang USD100 per ton, mendekati titik terendah empat tahunnya di kisaran USD97 yang sempat tercapai pada Maret lalu. Pelemahan ini dipicu oleh kombinasi antara melimpahnya pasokan dan melemahnya permintaan global.

    Di sisi suplai, raksasa produsen seperti China menargetkan peningkatan output sebesar 1,5 persen menjadi 4,82 miliar ton pada 2025, menyusul rekor produksi tahun sebelumnya. Indonesia pun mencatat pencapaian serupa, memproduksi 836 juta ton batu bara—melebihi target tahunan hingga 18 persen.

    Namun geliat produksi itu tidak diimbangi dengan lonjakan permintaan. Sepanjang kuartal pertama 2025, impor batubara global anjlok ke titik terendah tiga tahun terakhir. Negara-negara konsumen utama seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan memangkas pembelian lebih dari 10 persen, didorong oleh percepatan transisi ke energi bersih domestik. China tercatat mengurangi impor sebesar 18 juta ton, sementara India, Jepang, dan Korea Selatan mengikuti tren serupa.

    Meski begitu, tak semua negara ikut mengerem. Ekonomi berkembang seperti Vietnam, Turki, dan Bangladesh justru mencatat lonjakan impor batu bara untuk menopang kebutuhan energi industrinya.

    Maguire mencatat bahwa lonjakan permintaan batu bara sebenarnya sudah terlihat pada 2024. Impor batu bara ke China naik 10 persen, Vietnam 28 persen, Kamboja 26 persen, Filipina lima persen, dan Malaysia tiga persen dibanding tahun sebelumnya. Bahkan, semua negara itu mencatat rekor tertinggi sepanjang masa untuk volume impor batu bara.

    “Kombinasi permintaan yang tumbuh di segelintir negara konsumen utama adalah kabar baik bagi para pedagang batu bara,” ujar Maguire. “Mereka bisa lebih mudah mengoptimalkan pengiriman ke pasar yang lebih terbatas tapi volumenya besar.”

    Pada 2025 ini, tren tersebut diperkirakan akan semakin tajam. Semakin keras tekanan tarif Trump, semakin besar peluang lonjakan konsumsi batu bara sebagai respons dari industri di Asia.

    Namun, pertumbuhan batu bara ini tak lepas dari dampak lingkungan yang mengintai. Jika tren berlanjut tanpa diimbangi investasi dalam teknologi bersih, kawasan Asia bisa menghadapi peningkatan emisi karbon yang signifikan.

    Tetap saja, di tengah situasi global yang makin tidak pasti dan struktur tarif yang makin diskriminatif, batu bara seperti menemukan momentum barunya. Sebuah ironi, karena energi kotor ini justru bisa jadi penyambung napas terakhir bagi industri manufaktur Asia yang sedang tergencet tarif ekspor ke negeri Paman Sam.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).