KABARBURSA.COM - Ketika Malaysia membuat gebrakan ekonomi dengan menurunkan harga BBM jenis RON 95 menjadi hanya sekitar Rp7.730 per liter serta menggulirkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar RM100 (sekitar Rp380 ribu), pertanyaan pun mengemuka: mengapa Indonesia, yang memiliki APBN jauh lebih besar, belum mengambil langkah serupa?
Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai keberanian Malaysia merupakan gabungan antara manuver fiskal dan respons politik yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Ia mempertanyakan apakah pemerintah Indonesia memiliki keberanian serupa untuk menyesuaikan harga energi demi meredam tekanan hidup masyarakat.
“Ketika biaya transportasi menjadi beban yang terlalu besar bagi masyarakat, pemerintah bisa—dan seharusnya—menyesuaikan kebijakan fiskalnya untuk mengurangi tekanan tersebut,” ujar Achmad dalam keterangannya 29 Juli 2025.
Menurutnya, langkah Malaysia tidak semata populis, tetapi menunjukkan strategi fiskal yang berpihak dan berani. Dalam konteks ini, harga BBM bukan sekadar angka di pom bensin, melainkan bagian dari instrumen untuk menjaga daya beli dan stabilitas sosial di tengah tekanan global.
Sementara itu, harga Pertamax Green 95 di Indonesia saat ini masih berkisar Rp13.500 per liter, bahkan bisa lebih tinggi di operator swasta seperti Shell dan BP-AKR. Selisih hampir dua kali lipat dari harga di Malaysia menjadi sorotan utama karena berdampak langsung pada logistik, biaya operasional usaha kecil, hingga beban rumah tangga.
Efek Domino dan Pertaruhan Konsumsi
Dampak harga BBM tidak berhenti di stasiun pengisian. Transportasi merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap inflasi nasional—mencapai sekitar 20 persen. Kenaikan harga bahan bakar akan mengalir ke berbagai komoditas lain, dari bahan pokok hingga tarif ojek daring.
“Ini adalah efek domino yang berbahaya di tengah tekanan global, apalagi dengan kurs rupiah yang mulai melemah dan suku bunga yang masih tinggi,” jelas Achmad.
Malaysia menangkap sinyal ini lebih cepat dengan melakukan intervensi ganda: menurunkan harga BBM sekaligus menyuntikkan BLT. Kombinasi tersebut berfungsi sebagai dua saluran sekaligus—mengurangi beban pengeluaran dan menambah ruang belanja masyarakat. Pendekatan seperti ini dinilai cerdas karena meredam gejolak sekaligus mengaktifkan konsumsi domestik.
Di sisi fiskal, langkah tersebut tentu menambah beban. Namun Malaysia menerapkan subsidi terarah dengan mekanisme diferensiasi harga: hanya warga negaranya yang mendapat harga murah, sementara warga asing tetap membayar sesuai harga pasar. Model ini terbukti lebih tepat sasaran dan tetap efisien.
Indonesia: Antara Hati-hati dan Ketinggalan Momen
Pemerintah Indonesia selama ini lebih memilih pendekatan konservatif. Subsidi energi sudah menyedot lebih dari Rp340 triliun dalam APBN 2024, membuat ruang fiskal terlihat sempit. Fluktuasi harga minyak dunia juga menjadi pertimbangan utama mengapa harga BBM tidak diturunkan.
Namun, menurut Achmad, kehati-hatian yang terlalu ekstrem justru bisa membawa dampak balik. Di tengah daya beli yang melemah, harga BBM tinggi bisa menekan konsumsi rumah tangga—yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.
“Ketika masyarakat menghadapi tekanan ekonomi yang nyata, terutama kelas menengah bawah... harga BBM yang mahal bisa menjadi faktor penurunan konsumsi,” terangnya.
Ia juga mendorong agar pemerintah mempertimbangkan model subsidi tertutup berbasis NIK dan teknologi digital, seperti yang telah lama diwacanakan. Bahkan, pembatasan volume BBM bersubsidi juga bisa menjadi opsi untuk menjaga fiskal tetap sehat tanpa mengorbankan masyarakat kecil.
BLT Bukan Solusi, Tapi Peredam
Selain BBM, BLT juga masuk dalam radar kebijakan yang bisa segera dijalankan. Malaysia memberikan BLT senilai Rp380 ribu—setara dengan dua kali program sembako di Indonesia. Meskipun bukan solusi jangka panjang, bantuan ini berperan penting untuk menjaga daya tahan ekonomi rumah tangga saat harga-harga naik.
“BLT ini bisa menjadi ‘penyangga likuiditas rumah tangga’ di saat pengeluaran membengkak,” kata Achmad.
Namun ia mengingatkan bahwa BLT harus diiringi reformasi sosial dan kebijakan jangka panjang, agar tidak menjadi candu fiskal. Fokus utama tetap harus pada penciptaan lapangan kerja dan perlindungan sosial berkelanjutan.
Waktunya Mendengar Suara Rakyat
Dalam kondisi saat ini, Achmad mengajak pemerintah untuk tidak terpaku pada asumsi fiskal semata. Keberpihakan kepada rakyat harus menjadi prinsip utama dalam menyusun kebijakan ekonomi.
“Subsidi BBM yang tepat sasaran dan BLT yang terdistribusi baik bukan beban negara, tetapi investasi pada stabilitas sosial dan konsumsi,” ujarnya.
Ia menegaskan, Indonesia memiliki segala sumber daya untuk bertindak cepat dan tepat: kapasitas fiskal, data kependudukan yang lengkap, hingga infrastruktur digital. Yang menjadi pertanyaan bukan lagi soal bisa atau tidak, melainkan soal kemauan politik.
“Sudah saatnya kita menyalakan lampu di rumah rakyat—bukan hanya di gedung birokrasi,” tutup Achmad Nur Hidayat.(*)