KABARBURSA.COM – Kinerja belanja konsumen Amerika Serikat tak seperti yang diduga. Pada Mei lalu, angka pengeluaran warga menurun, setelah efek dorongan pembelian awal atas barang-barang seperti mobil—guna mengantisipasi tarif dagang pemerintahan Trump—mulai mereda. Meski demikian, laju inflasi bulanan tercatat masih dalam batas wajar.
Laporan Departemen Perdagangan AS yang dikutip dari Reuters, Sabtu, 28 Juni 2025, menunjukkan pelemahan ini kemungkinan besar tak akan segera mengubah kebijakan moneter. Ketua Federal Reserve Jerome Powell menyampaikan kepada parlemen bahwa bank sentral masih membutuhkan waktu untuk menilai seberapa besar dampak tarif impor terhadap harga sebelum mempertimbangkan kembali pemangkasan suku bunga.
Survei bisnis sebelumnya menunjukkan bahwa tarif baru dapat mulai mendorong kenaikan harga musim panas ini, pandangan yang juga disepakati oleh Powell dan sebagian besar ekonom.
Namun, tarif-tarif besar yang digelontorkan Presiden Donald Trump justru memicu masyarakat dan pelaku usaha untuk berbelanja lebih awal sebelum harga naik. Fenomena itu membuat peta ekonomi menjadi buram, dan laporan belanja bulan Mei tak banyak membantu menjernihkan keadaan.
“Laporan ini tak banyak mengubah posisi The Fed, mereka tetap akan bersikap wait and see,” ujar Sal Guatieri, ekonom senior di BMO Capital Markets.
Ia menilai pelemahan belanja bulan lalu lebih disebabkan efek pembalikan setelah pembelian besar-besaran sebelumnya. “Kenaikan harga inti yang sedikit menghangat juga belum menyelesaikan perdebatan soal sejauh mana tarif akan memicu inflasi,” katanya.
Berdasarkan data Biro Analisis Ekonomi AS, konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari dua pertiga aktivitas ekonomi, turun 0,1 persen pada Mei—setelah naik 0,2 persen pada April. Penurunan ini adalah yang kedua sepanjang tahun ini. Konsensus ekonom yang disurvei Reuters sebelumnya memproyeksikan kenaikan tipis 0,1 persen.
Pengeluaran untuk barang turun tajam 0,8 persen, dengan pelemahan terbesar pada barang tahan lama seperti kendaraan bermotor. Konsumsi barang tidak tahan lama seperti bensin dan makanan juga ikut menurun, sebagian karena harga BBM yang lebih rendah.
Di sisi lain, pengeluaran untuk jasa hanya naik 0,1 persen—kenaikan terkecil sejak November 2020. Ini disebabkan penurunan belanja di sektor akomodasi, restoran, bar, layanan keuangan, serta transportasi. Namun belanja rumah tangga untuk sektor perumahan, utilitas, dan kesehatan mengalami kenaikan.
Merosotnya pengeluaran jasa ini mencerminkan sentimen konsumen yang masih lesu. Survei Universitas Michigan menunjukkan optimisme warga pada Juni masih 18 persen lebih rendah dibanding Desember lalu, saat euforia kemenangan Trump memuncak. “Pandangan konsumen masih konsisten dengan tanda-tanda perlambatan ekonomi dan ancaman inflasi,” tulis lembaga itu.
Meski laporan ekonomi mengecewakan, pasar saham di Wall Street justru menguat. Indeks S&P 500 dan Nasdaq sempat menyentuh rekor intraday, dengan investor berharap The Fed akan memangkas suku bunga lebih dalam. Dolar AS juga tertekan hingga menyentuh titik terendah dalam tiga setengah tahun terhadap euro. Imbal hasil obligasi bertenor pendek pun ikut naik.
Sepanjang kuartal lalu, belanja konsumen telah melambat, terutama karena efek penarikan belanja ke depan. Konsumsi jasa pun ikut melemah, menyebabkan pertumbuhan belanja konsumen hanya mencatatkan laju tahunan 0,5 persen—terendah sejak kuartal II 2020.
Kondisi itu diperburuk oleh defisit perdagangan barang yang mencetak rekor akibat lonjakan impor, menyumbang hampir seluruh dari penurunan 0,5 persen dalam produk domestik bruto kuartal pertama. Meski kini defisit perdagangan mulai menyempit dan membuka peluang rebound ekonomi, efeknya bisa teredam karena belanja konsumen riil pada Mei turun 0,3 persen, setelah naik tipis 0,1 persen pada April.(*)