KABARBURSA.COM - Startup AI asal China, DeepSeek, bikin geger industri teknologi. Mereka mengklaim berhasil membangun chatbot canggih dengan biaya jauh lebih murah dibandingkan para raksasa teknologi AS. Klaim ini langsung bikin banyak orang bertanya-tanya, kalau memang benar, berarti semua investasi miliaran dolar yang digelontorkan AS buat pusat data yang haus energi itu mubazir dong?
Masalahnya, AI butuh listrik dalam jumlah gila-gilaan. Dan sialnya, sebagian besar masih bersumber dari bahan bakar fosil yang bikin planet ini makin panas. Perusahaan teknologi yang tadinya sok-sokan peduli lingkungan sekarang malah mengaku listrik mereka bakal naik terus gara-gara AI. “Industri ini kayak melaju tanpa rem, (akhirnya) buru-buru investasi di energi fosil,” kata Eric Gimon dari Energy Innovation, dikutip dari AP di Jakarta, Rabu, 29 Januari 2025.
Klaim DeepSeek soal chatbot murahnya langsung bikin heboh. Aplikasinya langsung nangkring di posisi nomor satu aplikasi gratis di iPhone, mengalahkan ChatGPT dan Google Gemini buatan AS. “Tiba-tiba hari Senin pagi kita lihat ada pemain baru yang langsung nomor satu di App Store, ini bisa jadi gamechanger,” kata Jay Woods dari Freedom Capital Markets. Saking hebohnya, saham-saham teknologi yang tadinya paling dominan malah ambruk karena kepanikan pasar.
Chatbot DeepSeek ini lumayan canggih—bisa bikin kode, menyelesaikan soal matematika, dan bahkan menjelaskan proses berpikirnya. Yang bikin lebih heboh, DeepSeek mengklaim model AI andalannya cuma butuh biaya USD5,6 juta (Rp89,6 miliar) buat dilatih, jauh lebih murah dari ChatGPT yang habisin miliaran dolar.
Tapi angka ini cuma biaya latihannya doang, belum termasuk riset awal dan percobaan yang dilakukan sebelumnya. DeepSeek juga punya keterbatasan karena AS melarang ekspor chip AI tercanggih ke China, jadi mereka terpaksa pakai chip Nvidia versi lama alias yang masih boleh dijual.
Pusat Data AS Bisa Tambah Konsumsi Listrik Dua Kali Lipat
Menurut Lawrence Berkeley National Laboratory, konsumsi listrik pusat data di AS diprediksi bakal naik dari 4,4 persen total listrik nasional di 2023 jadi 6,7 persen hingga 12 persen di 2028. Selama ini, asumsi utama perusahaan teknologi AS adalah mereka harus terus menambah investasi buat pusat data biar AI bisa jalan. Meta, misalnya, mau menghabiskan sampai USD65 miliar (Rp1.040 triliun) tahun ini, termasuk buat proyek pusat data raksasa di Louisiana. Microsoft juga gak mau kalah, mereka siap keluarin USD80 miliar (Rp1.280 triliun) buat ekspansi infrastruktur AI.
Bahkan Trump juga ikut nimbrung. Pekan lalu, dia bareng bos-bos OpenAI, Oracle, dan SoftBank mengumumkan proyek bareng yang mau investasi sampai USD500 miliar (Rp8.000 triliun) buat pusat data dan pembangkit listrik khusus AI, mulai dari proyek di Texas yang sudah mulai dibangun. Tapi kalau DeepSeek benar-benar bisa menghemat energi AI, apakah proyek-proyek miliaran dolar ini masih masuk akal?
AI Lebih Efisien?
Para ahli sepakat, kalau AI jadi lebih efisien, bukannya bikin kebutuhan listrik turun, malah bisa makin meningkat. Logikanya simpel, kalau ada teknologi inovatif yang berguna buat banyak orang dan harganya murah, pasti bakal dipakai lebih banyak.
Analis energi dan utilitas di Morningstar Securities Research, Travis Miller, mengatakan pusat data tetap bakal dibangun, meskipun mungkin bisa beroperasi lebih hemat energi. “Kami pikir pertumbuhan permintaan listrik bakal ada di level bawah dari perkiraan yang selama ini beredar,” katanya.
Kalau klaim DeepSeek beneran terbukti, beberapa tugas AI yang rutin mungkin tak perlu lagi dijalankan lewat pusat data raksasa. Rahul Sandil dari MediaTek—perusahaan semikonduktor global—bilang sebagian bisa dialihkan langsung ke perangkat seperti ponsel. Itu artinya, kebutuhan komputasi bisa lebih ringan dan ada lebih banyak waktu buat mengejar transisi ke energi terbarukan untuk pusat data.
Tapi saham perusahaan teknologi terkait AI tetap kena hantaman. Bloom Energy, misalnya, anjlok Senin kemarin. Pendiri sekaligus CEO-nya, KR Sridhar, menegaskan AS harus tetap memimpin di sektor AI karena mereka bisa mengoperasikan pusat data dengan energi bersih—tak seperti negara lain yang masih bergantung ke batu bara. “Kita bisa terus bikin lebih baik, dan kita akan terus bikin lebih baik,” ujarnya.
Rick Villars dari IDC, perusahaan riset pasar, juga menilai tren AI yang lebih efisien kayak DeepSeek ini bakal berpengaruh ke cara para peneliti mengembangkan model AI mereka. Tapi satu hal yang pasti, pusat data dan listrik dalam jumlah besar tetap bakal dibutuhkan. “Justru ini bisa mempercepat adopsi AI dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari dunia kerja, rumah tangga, sampai layanan kesehatan,” kata Villars. “Jadi, kapasitas pusat data dan listrik tetap harus ditambah.”(*)