KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) kembali mencabut izin usaha ratusan perusahaan valas, yaitu perusahaan yang bergerak di sektor Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) dan penyedia jasa pembayaran (PJP) dalam periode 2018 hingga 2024. Beberapa perusahaan besar yang terimbas kebijakan ini antara lain PT XL Axiata Tbk, PT Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah, hingga sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pencabutan izin ini umumnya disebabkan oleh pelanggaran ketentuan operasional, seperti ketidakpatuhan terhadap peraturan perizinan, pelaporan keuangan, dan pengawasan transaksi. BI menilai perusahaan-perusahaan tersebut tidak memenuhi standar kepatuhan yang diatur dalam regulasi sistem pembayaran nasional.
Di antara perusahaan yang terdampak, salah satu yang mendapatkan perhatian adalah PT Sesari Prima Dana, perusahaan KUPVA non-bank, yang izinnya dicabut pada 15 Oktober 2024. Selain itu, ada PT XL Axiata Tbk sebagai penyedia jasa pembayaran produk XL Tunai, dan PT BNI Syariah sebagai penyedia jasa pembayaran untuk produk Hasanahku, juga dicabut izinnya pada 7 Januari 2021. Beberapa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pun turut masuk dalam daftar perusahaan yang izin operasionalnya dicabut.
Pencabutan izin juga melibatkan perusahaan-perusahaan di kategori lain, seperti penyedia layanan pembayaran dan lembaga sertifikasi profesi. Langkah tegas ini bagian dari upaya BI menjaga integritas dan stabilitas sistem keuangan Indonesia.
Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo, mengungkapkan bahwa pencabutan izin ini tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran administratif, tetapi juga menyangkut pelanggaran terhadap standar kepatuhan penting seperti pelaporan anti-pencucian uang (AML) dan pencegahan pendanaan terorisme.
"BI sangat ketat mengawasi sektor KUPVA karena rawan disalahgunakan untuk aktivitas ilegal. Peningkatan pengawasan ini krusial untuk mencegah penyalahgunaan layanan keuangan," ujar Arianto melalui jaringan telepon kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 10 Januari 2025.
Data menunjukkan bahwa sejak 2018 hingga 2024, lebih dari 833 perusahaan KUPVA dicabut izinnya, menjadikan sektor ini sebagai yang paling banyak mengalami pencabutan izin. Selain itu, terdapat 84 perusahaan penyedia jasa pembayaran kategori izin 3 dan 11 perusahaan kategori izin 1 yang juga mengalami pencabutan izin.
Evaluasi Proses Perizinan dan Pengawasan
Tingginya angka pencabutan izin memunculkan pertanyaan terkait efektivitas proses perizinan dan pengawasan pasca pemberian izin. Beberapa perusahaan yang baru beroperasi dalam hitungan tahun pun terdampak kebijakan ini. Hal ini menunjukkan adanya potensi kelemahan dalam evaluasi kelayakan perusahaan sebelum diberikan izin operasional.
Pengawasan yang ketat di sektor KUPVA dan penyedia jasa pembayaran bertujuan untuk mencegah risiko sistemik yang dapat mengancam stabilitas keuangan nasional. Namun, penting untuk memastikan bahwa mekanisme monitoring dan pembinaan lebih efektif agar perusahaan dapat memenuhi standar kepatuhan yang berlaku.
Regulasi ketat di sektor jasa keuangan, terutama dalam bidang penukaran valuta asing dan layanan pembayaran, dinilai sangat penting untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. BI menegaskan bahwa pencabutan izin adalah langkah terakhir yang diambil jika perusahaan terbukti melakukan pelanggaran serius atau gagal memenuhi standar operasional yang ditetapkan.
Menurut Arianto, pendekatan preventif seperti edukasi kepatuhan, audit rutin, dan pendampingan bisa menjadi alternatif yang lebih efektif dibandingkan langsung mencabut izin perusahaan. "Perusahaan sebaiknya diberikan kesempatan untuk memperbaiki kinerja mereka melalui program pembinaan, sebelum diambil tindakan pencabutan izin. Ini dapat menjadi solusi yang lebih berkelanjutan," ujarnya.
Langkah BI dalam mencabut izin perusahaan KUPVA dan penyedia jasa pembayaran merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat pengawasan di sektor keuangan, terutama dalam menghadapi potensi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme. BI juga bekerja sama dengan lembaga terkait, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), untuk memperketat pengawasan dan mendorong penerapan standar keamanan transaksi keuangan.
Ke depan, diharapkan BI dapat memperkuat sistem pengawasan dan evaluasi perizinan sehingga perusahaan yang diberikan izin benar-benar siap untuk memenuhi ketentuan yang berlaku. Selain itu, edukasi dan pengawasan yang lebih intensif dapat membantu perusahaan dalam menjaga kepatuhan dan kelangsungan bisnis mereka.
Yang Harus Dilakukan Nasabah
Jika izin usaha salah satu perusahaan valuta asing (valas) dicabut, nasabah harus segera mengambil langkah-langkah untuk melindungi kepentingannya. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memeriksa saldo dan status akun di perusahaan tersebut.
Hal ini penting untuk memastikan apakah masih ada dana yang belum diproses atau perlu segera dilakukan penarikan sebelum akses ke akun ditutup.
Selain itu, sangat penting bagi masyarakat untuk memahami hak-hak mereka sebagai konsumen. Meskipun izin usaha perusahaan dicabut, mereka tetap memiliki hak atas penyelesaian kewajiban perusahaan, seperti pengembalian dana atau penyelesaian transaksi yang belum selesai.
Untuk itu, masyarakat disarankan menghubungi perusahaan untuk mendapatkan penjelasan mengenai langkah-langkah yang perlu diambil atau jika ada informasi lebih lanjut terkait proses penutupan atau pengembalian dana.
Tak kalah pentingnya, masyarakat harus memeriksa otoritas pengawas sektor keuangan, seperti Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Melapor kepada otoritas terkait akan membantu memperoleh klarifikasi terkait pencabutan izin dan informasi tentang langkah-langkah hukum atau pengembalian dana yang dapat ditempuh oleh pelanggan yang terdampak.
Jika terjadi kerugian atau ketidakjelasan dalam proses penyelesaian, masyarakat bisa mengambil langkah hukum dengan melapor ke lembaga perlindungan konsumen untuk menindaklanjuti permasalahan yang ada.
Sebagai tindakan pencegahan di masa depan, disarankan untuk mencari alternatif perusahaan valas yang terpercaya dan memiliki izin resmi serta regulasi yang jelas dari otoritas terkait. Memeriksa reputasi dan izin perusahaan sebelum melakukan transaksi lebih lanjut juga sangat penting untuk menghindari kejadian serupa di kemudian hari.
Dengan melakukan tindakan cepat dan berdasarkan informasi yang akurat, masyarakat dapat meminimalkan potensi kerugian dan memastikan bahwa hak-hak konsumen mereka tetap terlindungi.(*)