KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan melakukan penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) dalam waktu dekat. Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama Bank Mandiri, Darmawan Junaidi.
Darmawan menjelaskan bahwa prediksi ini didasarkan pada analisis situasi konsensus di kalangan pelaku pasar. Menurutnya, proyeksi konsensus menunjukkan adanya kemungkinan penurunan suku bunga acuan BI sekali lagi.
“Melihat dari konsensus pasar, kami perkirakan BI akan menurunkan suku bunga sebesar 25 bps. Namun, keputusan akhir tetap di tangan BI,” kata Darmawan di Menara Mandiri, Jakarta, .
Penurunan suku bunga acuan ini bukanlah hal baru, mengingat BI telah menyesuaikan suku bunga acuan atau BI Rate pada bulan September 2024 setelah mempertahankannya sejak Mei 2024.
Sebelumnya, BI Rate diturunkan sebesar 25 bps menjadi 6 persen. Selain itu, langkah ini juga diiringi dengan penyesuaian suku bunga deposit facility yang kini menjadi 5,25 persen, dan suku bunga lending facility yang diturunkan menjadi 6,75 persen.
Perbandingan dengan The Fed
Dalam konteks internasional, Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed), juga telah mengambil langkah serupa dengan menurunkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak awal pandemi COVID-19.
Pada Rabu, 18 September 2024, The Fed mengumumkan penurunan suku bunga acuan menjadi berada di kisaran 4,75-5 persen. Pemangkasan suku bunga ini, sebesar 50 bps, ditujukan untuk mencegah perlambatan dalam pasar tenaga kerja.
Darmawan menekankan bahwa penurunan suku bunga acuan BI akan berdampak signifikan terhadap sektor perbankan, termasuk Bank Mandiri.
Ia menjelaskan bahwa sebagian besar kredit yang diberikan oleh banknya mengikuti tingkat referensi atau reference rate.
“Dengan penurunan ini, otomatis tingkat suku bunga juga akan turun. Untuk produk baru, penyesuaian akan langsung terlihat, sementara untuk kontrak yang sudah ada, akan mengikuti kesepakatan yang telah ditentukan,” jelasnya.
Dampak Terhadap Perekonomian
Penurunan suku bunga acuan diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan merangsang sektor konsumsi dan investasi. Suku bunga yang lebih rendah akan membuat pinjaman menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat dan pelaku usaha, sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya beli dan memicu pertumbuhan investasi.
Namun, penurunan suku bunga juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan beberapa analis mengenai potensi risiko inflasi yang dapat muncul. Dalam konteks ini, BI diharapkan untuk terus memantau kondisi ekonomi dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas harga.
Perkembangan di Pasar Keuangan
Menyusul keputusan BI untuk menurunkan suku bunga, pelaku pasar diperkirakan akan lebih aktif dalam melakukan investasi.
Dengan suku bunga yang lebih rendah, investor mungkin akan mencari peluang di sektor-sektor yang lebih berisiko, seperti saham dan aset lain, alih-alih menyimpan dana mereka di instrumen yang lebih konservatif seperti deposito.
Konsensus pasar saat ini menunjukkan optimisme mengenai pertumbuhan ekonomi ke depan, dengan harapan bahwa langkah-langkah kebijakan moneter ini akan mendorong pemulihan yang lebih kuat. Namun, tantangan seperti ketidakpastian global dan dinamika pasar tenaga kerja tetap menjadi faktor yang perlu diperhatikan.
Secara keseluruhan, prediksi penurunan suku bunga acuan BI sebesar 25 bps mencerminkan upaya untuk merespons kondisi ekonomi yang sedang berlangsung dan menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan.
Seiring dengan langkah-langkah yang diambil oleh bank sentral di negara lain, seperti The Fed, BI dihadapkan pada tantangan untuk menjaga keseimbangan antara mendorong pertumbuhan dan mengendalikan inflasi. Dalam situasi ini, keputusan yang diambil oleh BI akan sangat diperhatikan oleh pelaku pasar dan masyarakat luas.
Dorong Pertumbuhan Transaksi DNDF Melalui Pembentukan CCP
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengumumkan kehadiran Central Counterparty (CCP) sebagai inovasi baru dalam transaksi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF).
Pada saat ini, transaksi DNDF hanya mencapai sekitar USD100 juta per hari. Namun, Perry menargetkan bahwa angka tersebut dapat meningkat hingga USD1 miliar per hari pada tahun 2030, mencatat kenaikan signifikan sebesar 900 persen.
“Kita seharusnya malu dengan angka saat ini yang baru USD100 juta. Dengan adanya CCP, kita berkomitmen untuk meningkatkan transaksi ini menjadi USD1 miliar per hari dalam waktu lima tahun,” kata Perry di acara peluncuran CCP yang berlangsung di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin, 30 September 2024.
Perry juga menjelaskan bahwa CCP tidak hanya akan meningkatkan transaksi DNDF, tetapi juga transaksi repurchase agreement (repo), yang saat ini bernilai sekitar Rp 14 triliun.
Dalam proyeksi lima tahun ke depan, nilai transaksi repo diharapkan naik menjadi Rp30 triliun, atau meningkat 114,28 persen.
Transaksi repo sendiri merupakan mekanisme jual beli surat berharga yang disertai janji untuk membeli kembali pada waktu dan harga yang disepakati.
“Misi kita adalah untuk meningkatkan volume transaksi repo dari Rp 14 triliun menjadi Rp 30 triliun,” ujar Perry.
Pengurangan Risiko Melalui CCP
Lebih lanjut, Perry menegaskan, bahwa dengan adanya CCP akan membantu meminimalisir risiko yang selama ini dihadapi dalam transaksi keuangan.
Risiko yang muncul dari skema over the counter (OTC) dinilai lebih besar dibandingkan dengan yang akan diterapkan melalui CCP.
“Dengan adanya sentralisasi dan mekanisme close out netting, risiko antar pihak dapat diminimalkan, sehingga mengurangi potensi risiko kredit yang tinggi,” terangnya.
CCP akan memfasilitasi kliring untuk produk DNDF yang sudah memiliki likuiditas yang terjamin dan memenuhi standar yang diperlukan untuk kliring. Kehadiran CCP diharapkan mampu memperlancar transmisi kebijakan moneter, mengurangi segmentasi pasar, dan meningkatkan efisiensi pasar keuangan Indonesia secara keseluruhan.
Dalam konteks yang lebih luas, pembentukan lembaga ini juga bertujuan untuk mendukung perkembangan power wheeling dan Direct Power Purchase Agreement (DPPA). Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memperkuat infrastruktur keuangan demi mendukung efisiensi dan stabilitas pasar.
Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia, Donny Hutabarat, menjelaskan bahwa CCP berfungsi sebagai infrastruktur pasar yang menjalankan kliring sentral dalam transaksi pasar uang dan valuta asing. Selain itu, lembaga ini juga berperan sebagai penjamin bagi pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, memitigasi berbagai risiko seperti risiko kegagalan transaksi antar pihak, risiko likuiditas, dan risiko akibat volatilitas harga pasar.
“Langkah ini merupakan komitmen Indonesia untuk memenuhi mandat G20 terkait reformasi pasar derivatif OTC,” ujar Donny.
Ia menambahkan bahwa pada tahun 2021, Financial Stability Board (FSB) merekomendasikan Indonesia untuk memperkuat mitigasi risiko sistemik dalam pasar keuangan, yang salah satunya dapat dilakukan melalui pembentukan CCP.
Pembentukan CCP juga sejalan dengan penerapan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang memberi mandat kepada Bank Indonesia untuk mengatur, mengembangkan, dan mengawasi pasar uang dan valuta asing, termasuk infrastruktur pasar keuangan. Dengan adanya CCP, implementasi sudah memiliki landasan hukum yang kuat dan jelas.
Dalam Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025, CCP menjadi salah satu inisiatif utama yang bertujuan untuk memperdalam pasar uang dan valuta asing. Donny menjelaskan, bahwa saat ini transaksi di pasar uang masih dilakukan secara bilateral, yang menimbulkan berbagai risiko. Dengan penerapan CCP, diharapkan transaksi dapat dilakukan secara multilateral dengan efisiensi yang lebih tinggi.
Dampak positif dari pembentukan CCP akan terlihat dalam peningkatan efisiensi transaksi di pasar uang dan valuta asing. Hal ini berpotensi memperbesar volume transaksi serta meningkatkan likuiditas, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi penentuan suku bunga dan nilai tukar secara lebih efektif. Keterlibatan pelaku pasar utama juga diharapkan akan meningkat.
Selain itu, CCP akan memperkuat efektivitas kebijakan moneter dan stabilitas nilai tukar rupiah. Lembaga ini juga berperan penting dalam memfasilitasi instrumen lindung nilai (hedging) untuk perbankan, dunia usaha, serta penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) oleh pemerintah, yang mendukung pembiayaan perekonomian nasional.
Bank Indonesia berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk merealisasikan pembentukan CCP, termasuk Bursa Efek Indonesia (BEI), Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), serta sejumlah bank besar di Indonesia.
Melalui kerja sama ini, diharapkan dapat terwujud sistem keuangan yang lebih stabil dan efisien, mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pasar keuangan Indonesia dapat lebih terintegrasi dan responsif terhadap perubahan ekonomi global, sekaligus memberikan jaminan bagi semua pihak yang terlibat dalam transaksi keuangan. (*)