KABARBURSA.COM- Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) April 2025.
Senior Chief Economist SSI Research Fithra Faisal Hastiadi, menjelaskan bahwa keputusan BI merefleksikan keseimbangan yang hati-hati antara pengendalian inflasi dalam kisaran target 2,5±1 persen untuk tahun 2025 dan 2026, serta menjaga stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian global.
"BI menunjukkan sikap yang prudent dengan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa memicu arus keluar modal atau melemahkan nilai tukar rupiah," ujar Fithra dalam keterangan tertulisnya dikutip Kamis, 24 April 2025.
Perkembangan inflasi terbaru turut mewarnai prospek kebijakan moneter. Setelah mencatat deflasi tahunan pada Februari, inflasi Indonesia melonjak ke level tertinggi dalam tiga bulan terakhir sebesar 1,03 persen secara tahunan pada Maret. Meskipun mengalami kenaikan, tingkat inflasi ini masih jauh di bawah titik tengah target BI.
"Lonjakan inflasi ini tetap memberi ruang bagi BI untuk bersikap akomodatif bila dibutuhkan, namun tren inflasi tetap harus dipantau ketat, terutama risiko inflasi impor akibat depresiasi rupiah dan tekanan pasokan dari sisi perdagangan," lanjut Fithra.
Menanggapi tekanan pada nilai tukar rupiah, SSI Research merekomendasikan strategi intervensi moneter secara bertahap guna menstabilkan kurs di kisaran Rp16.500–Rp16.600 per dolar AS.
Berdasarkan analisis impulse response function (IRF), setiap suntikan devisa asing senilai USD1 miliar diperkirakan dapat menguatkan rupiah sekitar 100 poin.
"BI perlu menyuntikkan sekitar USD4 miliar ke pasar valas dalam dua tahap. Tahap pertama pada April sebesar USD2 miliar untuk memberi sinyal kuat ke pasar dan meredam tekanan spekulatif. Tahap kedua dilakukan pada Mei, bersifat kondisional mengikuti perkembangan indikator makroekonomi dan arus modal," ucap dia.
Ke depan, BI diperkirakan tetap mempertahankan bias kehati-hatian. Lingkungan global yang masih didominasi oleh suku bunga tinggi, ketegangan geopolitik, dan risiko perdagangan menjadi alasan utama pendekatan berbasis data dan sensitif terhadap risiko.
"Jika tekanan eksternal meningkat (termasuk potensi eskalasi perang dagang) BI perlu siap meningkatkan intensitas intervensi. Bila tekanan terhadap rupiah semakin tajam, kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin pada semester pertama menjadi opsi yang harus dipertimbangkan," tutur Fithra.
Ia juga menekankan bahwa kegagalan dalam menjaga nilai tukar rupiah berpotensi memicu perlambatan ekonomi, yang dampaknya setara dengan efek kenaikan suku bunga.
Dilansir dari data riset SSI, dari sisi inflasi, setelah sempat memasuki wilayah negatif pada Februari, inflasi tahunan rebound ke level tertinggi tiga bulan di Maret, meski masih di bawah target tengah BI. Ini membuka ruang bagi kebijakan moneter yang tetap akomodatif jika diperlukan.
Namun, potensi tekanan inflasi ke depan dari pelemahan rupiah dan harga impor tetap harus diwaspadai. Oleh karena itu, BI menyusun strategi intervensi terarah guna menjaga stabilitas nilai tukar.
Berdasarkan analisis IRF, setiap tambahan USD1 miliar cadangan devisa diperkirakan dapat menguatkan rupiah sebesar 100 poin. BI merekomendasikan injeksi USD2 miliar ke pasar valas pada April, diikuti USD2 miliar tambahan pada Mei jika diperlukan, untuk menahan ekspektasi pelemahan dan tekanan spekulatif.
Di sisi eksternal, BI diperkirakan akan tetap bersikap hati-hati dalam menghadapi kondisi global yang diliputi oleh ketegangan geopolitik dan risiko perlambatan ekonomi. Prospek suku bunga tinggi global yang berkepanjangan memperkuat pendekatan data-dependent BI. Kenaikan suku bunga tambahan sebesar 25 basis poin tetap terbuka sebagai langkah protektif menjaga stabilitas nilai tukar dan daya saing rupiah di pasar internasional.
Data pendukung menunjukkan bahwa spread rata-rata antara suku bunga BI dan suku bunga The Fed selama lima tahun terakhir berada di 196 basis poin, dengan spread saat ini sekitar 125 basis poin. Per kuartal pertama 2025, nilai tukar rupiah tercatat di Rp16.348 dan pada awal kuartal kedua 2025 (hingga April) telah melemah ke Rp16.826.
Di sisi lain, cadangan devisa Indonesia terus meningkat, mencapai USD157,1 miliar per Maret 2025, jauh di atas rata-rata 12 bulan terakhir sebesar USD148,9 miliar.
Jaga Stabilitas Rupiah
Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen pada bulan April 2025 mengukuhkan pendekatan hati-hati otoritas moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Langkah ini sudah sesuai dengan ekspektasi pasar dan menunjukkan bahwa BI masih fokus pada stabilitas nilai tukar rupiah, pengendalian inflasi, serta ketahanan sistem keuangan di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.
Stabilnya suku bunga ini juga diiringi dengan tidak berubahnya tingkat fasilitas deposito di 5 persen dan fasilitas pinjaman di 6,5 persen, memperlihatkan konsistensi kebijakan moneter untuk menjaga ruang stabilisasi ekonomi.
Di sisi makro, data ekonomi terbaru memberikan gambaran menarik mengenai arah kebijakan ini. Cadangan devisa Indonesia mengalami kenaikan dari USD 154,51 miliar pada Februari menjadi USD 157,09 miliar pada Maret 2025.
Peningkatan ini menjadi sinyal positif bagi pasar karena memperkuat daya tahan rupiah terhadap guncangan eksternal dan menjaga kredibilitas kebijakan moneter BI. Stabilitas suku bunga juga terlihat dari tingkat bunga antarbank yang tetap berada di 6,69 persen, mencerminkan kondisi likuiditas yang cukup terjaga di pasar uang domestik.
Namun, di tengah sikap stabil tersebut, terdapat sejumlah sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang perlu diwaspadai. Pertumbuhan kredit secara tahunan (year-on-year) turun dari 10,3 persen menjadi 9,16 persen pada Maret 2025, menandakan potensi perlambatan permintaan pinjaman dari sektor swasta.
Meski nominal pinjaman kepada sektor swasta naik menjadi Rp6.784 triliun, pertumbuhan yang moderat ini bisa menjadi sinyal bahwa dunia usaha masih menahan ekspansi, kemungkinan akibat suku bunga yang relatif tinggi dan ketidakpastian ekonomi global.
Data peredaran uang juga menunjukkan penurunan. Uang beredar dalam arti sempit (M1) turun dari Rp2.790 triliun menjadi Rp2.775 triliun, sementara uang primer (M0) juga mengalami sedikit penurunan.
Penurunan ini mencerminkan bahwa aktivitas konsumsi dan transaksi keuangan di masyarakat mungkin belum sepenuhnya pulih atau masih tertahan, yang pada akhirnya juga berpengaruh pada aktivitas sektor riil dan pertumbuhan ekonomi secara umum.
Dampaknya terhadap pasar saham Indonesia cenderung beragam. Di satu sisi, stabilnya suku bunga menjaga sentimen positif karena memberikan kepastian kebijakan dan menghindari tekanan mendadak pada biaya pinjaman.
Sektor-sektor seperti energi dan komoditas bisa tetap tangguh karena stabilitas nilai tukar mendukung pengelolaan biaya impor dan ekspor. Namun, bagi sektor properti dan perbankan, bunga acuan yang tetap tinggi dapat menahan permintaan kredit dan memperlambat pertumbuhan margin, khususnya untuk pembiayaan ritel dan hipotek.
Pasar juga menunggu kemungkinan penurunan suku bunga di paruh kedua tahun 2025 jika tekanan inflasi mereda dan kondisi global lebih bersahabat. Peluang ini bisa menjadi katalis positif bagi saham-saham berkapitalisasi besar yang sensitif terhadap suku bunga, seperti sektor teknologi, properti, dan otomotif.
Secara keseluruhan, sikap stabil dari Bank Indonesia pada April 2025 mencerminkan upaya menjaga keseimbangan antara menjaga stabilitas makroekonomi dan memberi ruang pertumbuhan. Meskipun efek langsung terhadap ekspansi bisnis dan konsumsi masih terbatas akibat tingginya suku bunga, konsistensi kebijakan ini memberikan sinyal positif bagi investor bahwa bank sentral bersedia menjaga fondasi ekonomi tetap kokoh di tengah gelombang ketidakpastian global.
Dengan pemantauan cermat terhadap inflasi, nilai tukar, dan aliran modal, langkah berikutnya dari BI sangat ditunggu oleh pelaku pasar yang mengincar arah kebijakan lanjutan di sisa tahun 2025.(*)