KABARBURSA.COM - Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen pada bulan April 2025 mengukuhkan pendekatan hati-hati otoritas moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Langkah ini sudah sesuai dengan ekspektasi pasar dan menunjukkan bahwa BI masih fokus pada stabilitas nilai tukar rupiah, pengendalian inflasi, serta ketahanan sistem keuangan di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.
Stabilnya suku bunga ini juga diiringi dengan tidak berubahnya tingkat fasilitas deposito di 5 persen dan fasilitas pinjaman di 6,5 persen, memperlihatkan konsistensi kebijakan moneter untuk menjaga ruang stabilisasi ekonomi.
Di sisi makro, data ekonomi terbaru memberikan gambaran menarik mengenai arah kebijakan ini. Cadangan devisa Indonesia mengalami kenaikan dari USD 154,51 miliar pada Februari menjadi USD 157,09 miliar pada Maret 2025.
Peningkatan ini menjadi sinyal positif bagi pasar karena memperkuat daya tahan rupiah terhadap guncangan eksternal dan menjaga kredibilitas kebijakan moneter BI. Stabilitas suku bunga juga terlihat dari tingkat bunga antarbank yang tetap berada di 6,69 persen, mencerminkan kondisi likuiditas yang cukup terjaga di pasar uang domestik.
Namun, di tengah sikap stabil tersebut, terdapat sejumlah sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang perlu diwaspadai. Pertumbuhan kredit secara tahunan (year-on-year) turun dari 10,3 persen menjadi 9,16 persen pada Maret 2025, menandakan potensi perlambatan permintaan pinjaman dari sektor swasta.
Meski nominal pinjaman kepada sektor swasta naik menjadi Rp6.784 triliun, pertumbuhan yang moderat ini bisa menjadi sinyal bahwa dunia usaha masih menahan ekspansi, kemungkinan akibat suku bunga yang relatif tinggi dan ketidakpastian ekonomi global.
Data peredaran uang juga menunjukkan penurunan. Uang beredar dalam arti sempit (M1) turun dari Rp2.790 triliun menjadi Rp2.775 triliun, sementara uang primer (M0) juga mengalami sedikit penurunan.
Penurunan ini mencerminkan bahwa aktivitas konsumsi dan transaksi keuangan di masyarakat mungkin belum sepenuhnya pulih atau masih tertahan, yang pada akhirnya juga berpengaruh pada aktivitas sektor riil dan pertumbuhan ekonomi secara umum.
Dampaknya terhadap pasar saham Indonesia cenderung beragam. Di satu sisi, stabilnya suku bunga menjaga sentimen positif karena memberikan kepastian kebijakan dan menghindari tekanan mendadak pada biaya pinjaman.
Sektor-sektor seperti energi dan komoditas bisa tetap tangguh karena stabilitas nilai tukar mendukung pengelolaan biaya impor dan ekspor. Namun, bagi sektor properti dan perbankan, bunga acuan yang tetap tinggi dapat menahan permintaan kredit dan memperlambat pertumbuhan margin, khususnya untuk pembiayaan ritel dan hipotek.
Pasar juga menunggu kemungkinan penurunan suku bunga di paruh kedua tahun 2025 jika tekanan inflasi mereda dan kondisi global lebih bersahabat. Peluang ini bisa menjadi katalis positif bagi saham-saham berkapitalisasi besar yang sensitif terhadap suku bunga, seperti sektor teknologi, properti, dan otomotif.
Secara keseluruhan, sikap stabil dari Bank Indonesia pada April 2025 mencerminkan upaya menjaga keseimbangan antara menjaga stabilitas makroekonomi dan memberi ruang pertumbuhan. Meskipun efek langsung terhadap ekspansi bisnis dan konsumsi masih terbatas akibat tingginya suku bunga, konsistensi kebijakan ini memberikan sinyal positif bagi investor bahwa bank sentral bersedia menjaga fondasi ekonomi tetap kokoh di tengah gelombang ketidakpastian global.
Dengan pemantauan cermat terhadap inflasi, nilai tukar, dan aliran modal, langkah berikutnya dari BI sangat ditunggu oleh pelaku pasar yang mengincar arah kebijakan lanjutan di sisa tahun 2025.
Untuk diketahui, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Indonesia memiliki peran utama dalam menetapkan suku bunga acuan yang digunakan sebagai instrumen kebijakan untuk menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan nasional.
Sejak bulan Agustus 2016, Bank Indonesia mengubah suku bunga acuan dari suku bunga BI Rate menjadi suku bunga reverse repurchase (reverse repo) 7 hari. Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui instrumen yang lebih mencerminkan kondisi pasar uang jangka pendek.
Suku bunga reverse repo 7 hari adalah tingkat bunga yang digunakan oleh Bank Indonesia saat melakukan transaksi pembelian kembali surat berharga negara dari bank-bank dengan perjanjian menjualnya kembali dalam waktu tujuh hari.
Tingkat bunga ini menjadi acuan utama dalam menentukan arah kebijakan suku bunga di pasar. Dengan menetapkan suku bunga ini, Bank Indonesia dapat mempengaruhi likuiditas dan suku bunga antarbank, yang pada akhirnya berdampak pada suku bunga kredit dan tabungan di perbankan.
Data historis menunjukkan bahwa suku bunga acuan ini telah mengalami berbagai perubahan seiring dinamika ekonomi domestik dan global. Sepanjang periode 2005 hingga 2025, tingkat suku bunga acuan di Indonesia tercatat pernah berada pada titik tertinggi sebesar 12,75 persen dan titik terendah di level 3,50 persen.
Nilai tertinggi ini terjadi dalam situasi di mana tekanan inflasi dan ketidakpastian ekonomi global mendorong kebijakan moneter yang ketat, sementara nilai terendah mencerminkan upaya pelonggaran moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada bulan April 2025, suku bunga acuan ditetapkan tetap pada level 5,75 persen, melanjutkan posisi yang sama dari bulan-bulan sebelumnya. Penetapan ini dilakukan secara harian dalam catatan data ekonomi, meskipun pengumuman resmi dari Bank Indonesia dilakukan secara berkala setiap bulan melalui Rapat Dewan Gubernur.
Keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi makro seperti inflasi, nilai tukar rupiah, cadangan devisa, serta kondisi ekonomi global dan domestik.
IHSG Terus Menguat
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat pada akhir sesi pertama perdagangan hari Rabu, 23 April 2025. IHSG mencatatkan kenaikan sebesar 78 poin atau setara 1,20 persen, dan bertengger di posisi 6.616.
Penguatan ini terjadi di tengah aktivitas perdagangan yang cukup aktif, dengan nilai transaksi mencapai Rp7,53 triliun. Volume perdagangan juga tercatat tinggi, dengan total 132,79 juta lot saham berpindah tangan di seluruh papan perdagangan Bursa Efek Indonesia.
Penguatan IHSG didukung oleh pergerakan positif mayoritas saham-saham di berbagai sektor. Dari segi saham individu, beberapa emiten mencatat kenaikan harga tertinggi atau masuk ke dalam daftar top gainers, yakni INET, MTFN, FORU, GEMA, BTEK, DOOH, dan TRIN.
Di sisi lain, saham-saham yang paling aktif diperdagangkan dalam hal volume dan frekuensi meliputi ANTM, BBRI, BMRI, INET, DOOH, BBCA, dan BUMI. Kehadiran saham-saham besar seperti BBRI, BBCA, dan BMRI dalam daftar saham teraktif menunjukkan tingginya minat investor terhadap saham-saham perbankan dan blue chip.
Pergerakan indeks sektoral juga menunjukkan dominasi penguatan di hampir seluruh sektor. Dari 11 sektor utama yang tercatat, 10 sektor berada di zona hijau, menandakan sentimen positif yang merata di berbagai segmen pasar.
Sektor properti memimpin penguatan sektoral dengan kenaikan sebesar 1,95 persen. Sektor ini mencatatkan performa terbaik di antara sektor lainnya. Sementara itu, satu-satunya sektor yang mengalami penurunan adalah sektor industri dasar (basic industry), yang melemah sebesar 1,59 persen pada sesi tersebut.
Kinerja sektor-sektor lain yang turut menguat mencerminkan partisipasi luas dari berbagai kelompok saham dalam mendukung laju IHSG. Aktivitas perdagangan yang cukup tinggi serta dominasi sektor properti dan saham-saham big caps dalam daftar teraktif memberikan gambaran bahwa penguatan IHSG terjadi secara menyeluruh dan tidak terbatas pada satu segmen saja. Data ini menunjukkan kondisi pasar yang bergerak positif pada sesi I hari Rabu tersebut.(*)