KABARBURSA.COM - Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti potensi ketidaksinkronan antara Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) terkait pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang sebelumnya masuk dalam skema burden sharing.
Kebijakan tersebut dinilai dapat mempengaruhi kemampuan negara dalam membiayai APBN, terutama saat kebutuhan utang semakin besar.
Awalil menjelaskan bahwa kesepakatan burden sharing pada masa akhir jabatan Sri Mulyani telah diumumkan kepada publik pada awal September, dengan rencana pembelian SBN oleh BI di pasar sekunder senilai Rp200 triliun.
Namun, arah kebijakan menjadi tidak pasti setelah pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang diberitakan tidak ingin melanjutkan skema tersebut.
Menurut Awalil, titik ketidakjelasan muncul karena tidak ada penegasan apakah kebijakan sebelumnya tetap akan dijalankan terlebih dahulu atau langsung dihentikan secara tiba-tiba.
Ia menegaskan bahwa sebelum pernyataan Purbaya itu muncul, masih diberitakan bahwa BI akan melanjutkan pembelian dan pihak Kementerian Keuangan tidak membantah pemberitaan tersebut.
“Hingga kini sebenarnya belum jelas artinya kesepakatan terdahulu itu direalisasi dahulu dan tidak dilanjutkan, atau akan dihentikan seketika,” ujarnya dalam keterangannya Rabu 26 November 2025.
Kepemilikan BI dalam SBN Sudah Melonjak
Dalam penjelasannya, Awalil menyebut bahwa kesepakatan pembelian SBN oleh BI sebenarnya sudah ditandatangani sejak 27 Desember 2024.
Kesepakatan tersebut memungkinkan BI melakukan pembelian sepanjang 2025 melalui mekanisme pertukaran bilateral atau beli dari pelaku pasar. Hanya saja, saat itu tidak disebutkan nilai yang pasti.
Lebih jauh, ia menilai dominasi BI dalam SBN bukan hal baru, karena sebelum pandemi lembaga tersebut memang membeli SBN untuk kebutuhan operasi moneter, menjaga stabilitas rupiah dan stabilitas harga SBN.
Kondisi berubah saat pandemi, ketika BI diperbolehkan membeli SBN di pasar perdana untuk membantu pemerintah membiayai pemulihan ekonomi.
Kini, kepemilikan BI sudah mencapai Rp1.632,12 triliun per 18 November 2025, atau 25,12 persen dari SBN domestik yang diperdagangkan. Padahal, sebelum pandemi, porsi BI hanya sekitar 9–10 persen, bahkan kurang dari 4 persen pada periode sebelumnya.
Diduga Terkait SBN Jatuh Tempo 2025–2026
Menurut Awalil, alasan kuat mengapa BI tetap memegang SBN dalam jumlah besar bukan sekadar berbagi beban bunga.
Ia menduga kebijakan ini berkaitan erat dengan SBN jatuh tempo pada 2025–2026, sehingga negara membutuhkan fleksibilitas seperti revolving, debt switching, atau buyback.
“Jika sebagian SBN yang akan jatuh tempo itu telah dibeli oleh BI, maka revolving atau debt switching akan lebih mudah dilakukan,” tegasnya.
Ia menyebut bahwa negosiasi seperti buyback juga akan lebih menguntungkan jika SBN tersebut dipegang BI.
Jika Skema Dihentikan, Risiko Fiskal Meningkat
Awalil menilai bahwa penghentian burden sharing akan memperberat pembiayaan APBN.
Tanpa kehadiran BI sebagai pembeli besar, pemerintah akan kesulitan menjual SBN baru dalam jumlah besar, terlebih di tengah daya beli investor asing yang terus menurun.
“Jika Purbaya tidak mau melanjutkan, apalagi minta yang sudah terlanjur dibeli dijual kembali oleh BI di pasar sekunder, maka pengelolaan fiskal menjadi lebih berat,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa kepemilikan asing atas SBN domestik terus menurun, tercatat hanya Rp868,21 triliun atau 13,36 persen per 18 November 2025. Angka tersebut jauh di bawah posisi 2019 yang mencapai 38,57 persen.
BI sebagai Pengganti Investor Asing
Awalil menyimpulkan bahwa selama beberapa tahun terakhir, BI pada dasarnya telah menggantikan investor asing dalam memegang SBN.
Tujuannya bukan hanya menahan volatilitas nilai tukar dan suku bunga, tetapi juga menjaga agar pasar SBN tidak bergejolak tajam yang dapat menekan seluruh indikator keuangan nasional.
Menurutnya, tanpa kepemilikan besar dari BI, pasar sekunder SBN bisa mengalami lonjakan yield dan penurunan harga yang ekstrem, sehingga mempengaruhi inflasi, nilai tukar, dan stabilitas industri keuangan.
Keterbatasan Kebijakan di 2026
Lebih lanjut, Awalil menilai bahwa ruang kebijakan moneter dan fiskal pada 2026 akan makin terbatas. Ketergantungan pemerintah pada BI sudah semakin besar, namun di sisi lain BI tidak boleh kehilangan independensinya.
“Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnya makin bersinergi dan terkoordinasi. Namun, tidak boleh merusak independensi BI, agar segala sesuatu ditimbang dari berbagai aspek perekonomian,” tuturnya.
“Bukan mengikuti ambisi pemerintah atas kebijakan tertentu yang berbiaya besar," tutupnya.(*)