KABARBURSA.COM - Utusan Khusus Presiden, Hashim Djojohadikusumo, mengungkapkan bahwa Anggito Abimanyu akan diangkat sebagai Menteri Penerimaan Negara.
Pernyataan tersebut disampaikan Hashim dalam sambutannya pada rapat pimpinan nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia 2024 di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta Pusat, pada Minggu, 1 Desember 2024.
Hashim, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat Kadin Indonesia, menjelaskan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berkomitmen untuk memperbaiki sistem perpajakan dan bea cukai.
Katanya, sejumlah program baru sedang disiapkan untuk mengatasi kebocoran anggaran yang terjadi.
"Pak Anggito Abimanyu akan memimpin pelaksanaan program-program tersebut sebagai Menteri Penerimaan Negara yang baru," ungkap Hashim yang juga Ketua Dewan Penasihat Kadin Indonesia.
Sementara itu, mengenai jabatan Anggito Abimanyu, yaitu sebagai Wakil Menteri Keuangan hanya bersifat sementara.
Selain itu, adik kandung Presiden Prabowo Subianto ini juga mengingatkan agar Kadin Indonesia tetap solid dan tidak terpecah belah. Ia mengajak semua pihak untuk menjaga kekompakan dan menghindari potensi adu domba yang bisa memicu ketegangan.
Penerimaan Pajak 2024 Berpotensi tidak Sesuai Target
Pemerintah diprediksi akan mengejar target penerimaan perpajakan dengan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan meluncurkan kembali program pengampunan pajak (tax amnesty) Jilid III.
Lembaga riset ekonomi Bright Institute menilai bahwa kombinasi kebijakan ini tidak hanya berisiko merusak reformasi perpajakan, tetapi juga dapat membawa dampak buruk dalam jangka panjang.
Ekonom senior Bright Institute Awalil Rizky mengatakan penerimaan pajak tahun 2024 berpotensi mengalami shortfall, yakni realisasi yang tidak mencapai target. Hal ini akan memperberat target penerimaan pajak pada tahun 2025 dibandingkan dengan proyeksi awal pemerintah.
"Jangankan untuk mencapai target peningkatan, beberapa sumber penerimaan bahkan bisa lebih rendah dari tahun sebelumnya," ujar Awalil, Selasa 24 November 2024.
Berdasarkan data hingga akhir Oktober 2024, Bright Institute mengidentifikasi adanya indikasi bahwa penerimaan dari PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) tidak akan memenuhi target yang ditetapkan. PPh diprediksi hanya mencapai Rp1.060 triliun, atau sekitar 93 persen dari target dalam APBN 2024. PPN dan PPnBM diperkirakan hanya mencapai Rp763 triliun, atau sekitar 94 persen dari target.
Secara keseluruhan, penerimaan pajak tahun 2024 diproyeksikan hanya meningkat 1,33 persen dibandingkan tahun 2023. Angka ini jauh lebih rendah dari target pemerintah yang mencapai 3,0 persen dalam Outlook Nota Keuangan 2025, apalagi dibandingkan target awal APBN 2024 sebesar 9,0 persen.
Rendahnya realisasi penerimaan pajak tahun 2024 membuat target penerimaan untuk 2025 semakin tidak realistis. Bright Institute memproyeksikan pemerintah perlu meningkatkan penerimaan pajak hingga 11,48 persen pada tahun 2025 untuk mencapai target dalam APBN. Angka ini dinilai sulit tercapai tanpa langkah ekstrem, seperti kenaikan pajak besar-besaran.
"Padahal, pemerintahan baru Pak Prabowo sudah berencana untuk belanja jauh lebih besar dengan program-program barunya. Keadaan ini membuat pemerintah terlihat desperate untuk menaikkan pendapatan, sehingga menjadi basis untuk kembali menaikkan PPN dan tax amnesty yang baru dua tahun lalu dilaksanakan lagi," ujar Awalil.
Bright Institute memperkirakan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 dapat memberikan tambahan penerimaan sekitar Rp75 triliun, atau meningkat 15 persen dibandingkan realisasi 2024. Namun, angka ini dinilai tidak cukup untuk memenuhi target APBN, yang memerlukan kenaikan penerimaan PPN setidaknya 23,93 persen.
"Apalagi meningkatkan PPN sangat berpotensi menurunkan aktivitas ekonomi sehingga sangat mungkin untuk tidak mencapai tambahan Rp75 triliun tersebut,” tambah Awalil.
Tax Amnesty Membuat Wajib Pajak tak Patuh
Konsultan pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menilai bahwa pelaksanaan Tax Amnesty secara berulang dapat menciptakan dampak negatif bagi kepatuhan pajak.
Menurutnya, kebijakan semacam ini berpotensi menanamkan persepsi keliru di kalangan wajib pajak, terutama bagi mereka yang kurang memahami aturan perpajakan.
"Tax Amnesty yang dilakukan berulang kali dapat menjadi preseden buruk. Ini menciptakan kesan bahwa kepatuhan pajak bisa ditunda hingga ada program serupa," kata Raden, Selasa, 19 November 2024.
Ia menceritakan pengalamannya menangani seorang klien yang salah memahami kewajiban pajak. Klien tersebut mengira pelaporan pajak hanya perlu dilakukan setiap lima tahun, karena selama ini hanya dihubungi oleh Account Representative (AR) Direktorat Jenderal Pajak saat ada program seperti Tax Amnesty atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
"Dia terkejut ketika dipanggil untuk melapor SPT Tahunan pada 2024, padahal sebelumnya mengira kewajiban pajaknya masih jauh dari jatuh tempo,” jelasnya.
Secara akademis, Raden menambahkan, pengampunan pajak yang dilakukan secara berulang dapat merusak fondasi kepatuhan pajak. Kajian ilmiah menunjukkan bahwa kebijakan ini justru menurunkan rasa tanggung jawab wajib pajak untuk memenuhi kewajiban secara rutin.
"Berdasarkan penelitian, Tax Amnesty berkali-kali memberikan dampak negatif bagi kepatuhan pajak,” ujarnya.
Pada 2016, pemerintah sempat menegaskan bahwa Tax Amnesty hanya akan dilakukan satu kali dalam sejarah. Namun, kebijakan serupa kembali muncul pada 2021 melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Meski berbeda nama, substansinya hampir sama, yakni memberi kesempatan wajib pajak melaporkan harta yang belum terdaftar dengan tarif yang lebih ringan.
Rencana pelaksanaan Tax Amnesty Jilid III ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk memastikan kebijakan perpajakan tetap adil sekaligus mendorong tingkat kepatuhan yang lebih baik. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.