KABARBURSA.COM - CIO Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) Pandu Sjahrir, menyebut investor di Amerika Serikat (AS) mulai melirik Indonesia di tengah perang dagang global.
Pandu mengatakan, para investor ini mulai keteteran akibat perang dagang yang tengah berkecamuk. Karenanya, mereka sedang mencari cara untuk bisa kembali atau return di tengah situasi yang serba tidak pasti.
"Mereka (investor di AS) juga pusing dengan apa yang terjadi. Saya berbicara dengan beberapa investor besar di Amerika, baik di public maapun private market. Justru mereka yang nanya-nanya saya, ini sebaiknya bagaimana," kata Pandu kepada media di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin, 14 April 2025.
Setelah perbincangan tersebut, diketahui para investor AS ini menganggap kondisi di Indonesia jauh lebih baik. Untuk itu, peluang berbisnis dan menanamkan sahamnya cukup terbuka.
"Mereka melihat, Indonesia mungkin politiknya bersih, rapih, relatively secara policy juga bagus. Kan kita banyak fokus ke food security dan energy security," ujar dia.
Pandu memaparkan bagaimana investor di AS bisa menaruk ketertarikan kepada Indonesia. Dirinya memberi contoh Qatar, yang berencana berinvestasi sebesar USD2 miliar ke Danantara.
Lebih jauh, perang dagang global memang berimbas ke banyak negara. Namun, dia menegaskan efek positif dari situasi seperti ini adalah dengan memperkuat ekonomi dalam negeri.
"Sekarang bagusnya Donald Trump akan berbicara sama Presiden Xi. Menurut saya itu langkah yang baik, kelihatan dari pasar modal hari ini juga naik hampir 1 persen. Menurut saya, perang dagang secara keseluruhan malah membuat Indonesia kini juga banyak fokus ke diri kita sendiri," ucap dia.
Bursa Asia Menghijau, Trump tak Jadi Kenai Tarif Gadget
Bursa Asia kembali ceria pada Senin, 14 April 2025, pagi setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memutuskan untuk tidak memasukkan produk elektronik—seperti ponsel dan laptop—dalam daftar barang yang kena tarif tinggi. Keputusan ini dianggap sebagai sinyal “jeda sejenak” dalam perang dagang yang kian bikin pasar global gelisah.
Langkah Trump ini langsung membuat saham-saham teknologi melonjak. Dilansir dari AP di Jakarta, Senin, di Jepang, indeks Nikkei 225 menguat 1,8 persen ke posisi 34.189,37, didorong kenaikan saham Tokyo Electron sebesar 2 persen dan Advantest, produsen alat uji semikonduktor, yang terbang 5,4 persen. Di Korea Selatan, indeks Kospi naik 0,8 persen ke 2.452,42, dengan Samsung Electronics turut mencetak cuan 1,4 persen.
Hong Kong ikut bersorak. Hang Seng melonjak 2,4 persen ke level 21.419,59. Shanghai Composite pun ikut terdongkrak 0,9 persen setelah pemerintah China melaporkan ekspor bulan Maret naik 12,4 persen dibandingkan tahun lalu. Tak heran kalau semangat investor langsung terdongkrak, meski tarif baru China ke produk AS kini resmi tembus 125 persen.
Cerita berbeda datang dari Indonesia. Negeri yang dijuluki Nusantara ini mencatat pelemahan pada pembukaan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG. Pada awal perdagangan sesi I, IHSG turun 18,04 poin atau 0,29 persen ke level 6.244,19.
Trump sendiri menyebut smartphone, komputer, dan produk elektronik lainnya bakal dikecualikan dari tarif. Sementara itu, Kementerian Perdagangan China menyambut langkah tersebut sebagai “langkah kecil yang positif”, tapi tetap mendorong Washington agar mencabut seluruh tarif balasan.
Ketegangan antara dua raksasa ekonomi dunia ini memang masih menyisakan banyak tanda tanya. Bahkan, setelah Trump mengumumkan jeda 90 hari untuk tarif terhadap negara-negara lain (selain China), kekhawatiran soal resesi global belum benar-benar lenyap dari radar investor.
Di Australia, indeks S&P/ASX 200 naik 1,5 persen ke 7.758,70, sedangkan indeks Taiex Taiwan juga naik 0,6 persen—wajar, mengingat perekonomian Taiwan sangat bergantung pada ekspor chip dan barang elektronik berteknologi tinggi.
Sementara itu, Wall Street sebelumnya juga mengakhiri minggu lalu dengan cukup manis. Indeks S&P 500 menguat 1,8 persen ke 5.363,36, disusul Dow Jones yang naik 1,6 persen ke 40.212,7 dan Nasdaq yang melonjak 2,1 persen ke 16.724,46.
Salah satu alasan di balik penguatan ini adalah meredanya tekanan dari pasar obligasi AS. Meski biasanya tenang dan tak banyak sorotan, pekan lalu pasar obligasi cukup bikin panik. Imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun sempat naik tajam hingga menyentuh 4,58 persen, sebelum turun lagi ke 4,466 persen pada Senin pagi waktu setempat
Singkatnya, jeda tarif untuk gadget ini membuat pasar menghela napas lega, tapi tarikan nafas itu belum tentu panjang. Sebab, perang dagang tetap menjadi badai yang belum reda dan masih bisa menggulung pasar global kapan saja.(*)