Logo
>

Bos OJK Bicara Proyeksi Ekonomi RI Jelang Kepemimpinan Donald Trump

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Bos OJK Bicara Proyeksi Ekonomi RI Jelang Kepemimpinan Donald Trump

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, angkat bicara mengenai proyeksi ekonomi Indonesia ketika Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).

    Mahendra berpendapat, dilantiknya Donald Trump sebagai Presiden AS pada Senin, 20 Januari 2025, waktu setempat, tidak akan membawa perubahan yang banyak terhadap kondisi global saat ini.

    "Kita berharap, siapapun yang menjadi pimpinan di negara besar seperti Amerika Serikat, memiliki kepentingan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat di dunia," kata Mahendra kepada media di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin, 20 Januari 2025.

    Lebih jauh dia mengatakan, belum bisa memperkirakan dampak ekonomi yang akan dirasakan Indonesia lebih dalam setelah Donald Trump dilantik. Menurutnya, masih terlalu dini untuk memperkirakan efek yang akan terjadi.

    "Memang, sejak beberapa waktu terakhir, dunia menghadapi tantangan untuk bisa meningkatkan pertumbuhan dan kerjasama maupun perdagangan investasi internasional. Tapi, sebenarnya itu sudah terjadi sebelum hari ini," katanya.

    Namun begitu, Mahendra mengakui jika saat ini ekonomi Indonesia cukup kuat secara domestik. Sehingga, pihaknya bakal fokus untuk menggerakkan perekonomian di dalam negeri.

    Di sisi lain Founder Stocknow.id Hendra Wardana, mengatakan para investor perlu mencermati pelantikan Donald Trump karena kondisi ini berpotensi mengguncang volatilitas pasar saham.

    “Sentimen yang perlu dikhawatirkan oleh investor adalah pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang nantinya berpotensi mengguncang volatilitas pasar saham,” ujar dia kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Senin, 20 Januari 2025.

    Hendra menuturkan, Trump ingin mengutamakan Amerika (American First), sehingga, hal ini dapat menjadi sentimen negatif bagi ekonomi negara lainnya yang terdampak, termasuk Indonesia dan China.

    Namun di satu sisi, Hendra memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan bergerak menguat secara terbatas pada minggu ini, periode 20-24 Januari 2025.

    “Dengan menguji level Resistance Classic di 7.258 dan Supportnya di 6.983,” ungkap dia.

    Hendra menjabarkan, penguatan IHSG ini berpotensi dipengaruhi oleh keputusan Bank Indonesia (BI) pada 15 Januari 2025 yang menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen.

    “Diharapkan memberikan sentimen positif bagi pasar saham dalam jangka pendek,” pungkasnya.

    Rupiah Terpuruk, Trump dan The Fed jadi Biang Kerok

    Rupiah terus berada di bawah tekanan sepanjang bulan lalu. Pelemahan ini terjadi seiring dengan revisi ekspektasi terkait kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed).

    Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, menjelaskan bahwa perubahan proyeksi ini mencerminkan inflasi yang masih tinggi di Amerika Serikat, serta potensi dampak kebijakan-kebijakan yang mungkin diambil oleh Presiden terpilih AS, Donald Trump.

    “Ekspektasi sebelumnya adalah The Fed akan menurunkan suku bunga sebanyak empat kali pada 2025. Namun, revisi terkini menunjukkan hanya dua kali penurunan yang diantisipasi. Penyesuaian ini menjadi salah satu faktor tekanan bagi Rupiah,” ujar Riefky dalam keterangannya, Rabu, 15 Januari 2025.

    Arus modal keluar dari Indonesia juga menjadi tantangan tambahan bagi stabilitas rupiah. Menurut Riefky, antara pertengahan Desember 2024 hingga pertengahan Januari 2025, tercatat aliran dana asing keluar sebesar USD0,75 miliar.

    “Sebesar USD0,12 miliar keluar dari pasar obligasi, sementara USD0,63 miliar berasal dari pasar saham,” tambahnya.

    Akibat tekanan ini, rupiah mengalami depresiasi hingga menyentuh level Rp16.195 per dolar pada 9 Januari 2025, turun 2,11 persen dibandingkan bulan sebelumnya di level Rp15.860 per USD.

    Sementara itu, inflasi Indonesia pada akhir 2024 mencatat rekor terendah sejak 1958, yaitu sebesar 1,57 persen secara tahunan. Namun, Riefky menilai bahwa Bank Indonesia tetap perlu mempertahankan suku bunga acuan pada level 6,00 persen dalam pertemuan Dewan Gubernur pertama tahun ini.

    “Langkah ini diperlukan untuk mencegah pelemahan Rupiah lebih lanjut, terutama dengan dinamika global yang masih menjadi tantangan,” ujarnya.

    Pasar Saham dan Obligasi AS Bangkit

    Sebelumnya diberitakan, pasar keuangan AS dan global menunjukkan pemulihan besar menjelang pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada Senin pekan depan.

    Dilansir dari Reuters, 17 Januari 2025, beberapa faktor mendorong penguatan ini, termasuk komentar dari salah satu gubernur Federal Reserve atau The Fed dan Menteri Keuangan yang akan datang. The Fed berhasil meredakan kekhawatiran pasar terhadap lonjakan imbal hasil obligasi AS yang terinspirasi oleh inflasi.

    Setelah mengalami kenaikan awal tahun ini, imbal hasil obligasi AS dan dolar AS mulai melemah. Ditambah dengan kabar positif dari pertumbuhan ekonomi China di akhir tahun lalu, indeks saham global menguat pada Jumat hari ini. Indeks acuan saham dunia yang mengalami kenaikan signifikan ini berarti adanya optimisme pasar.

    Imbal hasil obligasi bertenor dua tahun turun ke level terendah sejak 2 Januari 2025, sekitar 20 basis poin lebih rendah dibandingkan puncaknya pada Senin pekan kemarin.

    Penurunan tersebut dipicu oleh komentar dovish dari Gubernur Dewan Federal Reserve Christopher Waller, yang pada Kamis, 13 Januari 2025, yang mengisyaratkan kemungkinan adanya tiga hingga empat pemotongan suku bunga tahun ini.

    Pernyataan tersebut memberikan prospek pelonggaran moneter dua kali lebih besar dari yang sebelumnya diantisipasi oleh pasar berjangka.

    Penurunan inflasi yang mengejutkan menjadi dasar dari komentar Waller yang menyatakan bahwa Maret bisa menjadi momen awal untuk melanjutkan pemangkasan suku bunga. Akibatnya, kontrak Fed funds futures kini kembali memperkirakan dua kali pemangkasan suku bunga di 2025, setelah pekan lalu pasar sempat meragukan adanya pemangkasan sama sekali.

    Rally di pasar obligasi membuat imbal hasil obligasi bertenor dua tahun turun di bawah 4,45 persen, sementara obligasi 10 tahun kembali berada di bawah 4,60 persen. Sementara itu, indeks dolar AS (.DXY) tetap stabil, sebagian karena pelemahan yen, meski ada laporan baru bahwa Bank of Japan akan menaikkan suku bunga kebijakan utamanya minggu depan.

    Di Wall Street, meskipun sektor teknologi sempat menjadi beban pada Kamis, setelah hari sebelumnya menjadi hari terbaik untuk indeks saham S&P 500 (.SPX) tahun ini karena lonjakan saham bank, kontrak berjangka kembali menguat menjelang bel pembukaan Jumat. Pergerakan ini terjadi di tengah libur tiga hari yang akan datang karena peringatan Hari Martin Luther King pada Senin.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.