KABARBURSA.COM - Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Januari 2025 menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan bulan sebelumnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, IHK Januari 2025 mencatat deflasi sebesar 0,76 persen secara bulanan (mtm), yang menyebabkan inflasi tahunan turun menjadi 0,76 persen (yoy) dari 1,57 persen (yoy) pada Desember 2024.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa deflasi ini terutama disebabkan oleh penurunan pada kelompok administered prices, dengan komoditas tarif listrik sebagai kontributor utama.
“Inflasi IHK yang terjaga rendah ini merupakan hasil konsistensi kebijakan moneter serta sinergi pengendalian inflasi yang kuat antara Bank Indonesia dan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID),” ujar Ramdan dalam siaran persnya, Selasa, 4 Februari 2025.
Ramdan juga menambahkan bahwa implementasi Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan(GNPIP) di berbagai daerah turut berperan dalam menjaga stabilitas harga.
Ke depan, Bank Indonesia optimistis inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran sasaran 2,5±1 persen pada tahun 2025.
Inflasi Inti Tetap Terkendali
Inflasi inti, yang mencerminkan pergerakan harga-harga yang lebih stabil tanpa pengaruh harga pangan bergejolak dan harga yang diatur pemerintah, tercatat sebesar 0,30 persen (mtm) pada Januari 2025, meningkat dari 0,17 persen (mtm) pada bulan sebelumnya. Kenaikan ini dipengaruhi oleh peningkatan harga komoditas global serta pola musiman di awal tahun.
“Realisasi inflasi inti Januari 2025 disumbang terutama oleh kenaikan harga minyak goreng, emas perhiasan, dan biaya sewa rumah,” kata Ramdan.
Secara tahunan, inflasi inti tercatat sebesar 2,36 persen (yoy), naik dari 2,26 persen (yoy) pada Desember 2024.
Meskipun mengalami peningkatan, inflasi inti masih berada dalam kisaran yang terkendali, sejalan dengan ekspektasi inflasi yang tetap stabil.
Kelompok Volatile Food Mengalami Kenaikan Inflasi
Kelompok volatile food, yang mencakup komoditas pangan dengan fluktuasi harga tinggi, mencatat inflasi sebesar 2,95 persen (mtm) pada Januari 2025, meningkat dari 2,04 persen (mtm) pada bulan sebelumnya. Kenaikan ini didorong oleh naiknya harga aneka cabai dan daging ayam ras.
Ramdan menyebutkan bahwa peningkatan inflasi pada kelompok ini disebabkan oleh curah hujan tinggi di sejumlah sentra produksi utama, yang memengaruhi hasil panen cabai, serta kenaikan biaya input produksi pakan dan bibit untuk daging ayam ras.
“Secara tahunan, inflasi volatile food mencapai 3,07 persen (yoy), meningkat signifikan dari 0,12 persen (yoy) pada bulan sebelumnya,” tambahnya.
Namun, inflasi volatile food diperkirakan tetap terkendali dengan dukungan sinergi antara Bank Indonesia, TPIP, dan TPID melalui program GNPIP.
Kelompok Administered Prices Dorong Penurunan Inflasi
Kelompok administered prices mengalami deflasi tajam sebesar 7,38 persen (mtm) pada Januari 2025, berbalik arah dari inflasi sebesar 0,03 persen (mtm) pada Desember 2024. Deflasi ini terutama disebabkan oleh penurunan tarif listrik dan normalisasi tarif angkutan setelah periode libur Natal dan Tahun Baru.
“Deflasi kelompok administered prices disumbang oleh kebijakan diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk pelanggan rumah tangga dengan daya terpasang hingga 2.200 VA, serta penyesuaian tarif angkutan pasca musim liburan,” ujar Ramdan.
Secara tahunan, kelompok ini mencatat deflasi sebesar 6,41 persen (yoy), turun dari inflasi sebesar 0,56 persen (yoy) pada bulan sebelumnya.
Deflasi di Januari
Badan Pusat Statistik melaporkan, Indonesia telah mengalami deflasi pada awal tahun 2025, atau di bulan Januari. Adapun besaran deflasi mencapai 0,76 persen secara bulanan atau tahun kalender.
Namun, secara tahunan atau year on year, inflasi tetap tercatat, yaitu di level 0,76 persen. Akan tetapi telah terjadi tren penurunan harga yang memang menjadi perhatian, mengingat deflasi terakhir terjadi pada September tahun lalu.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa deflasi bulan ini terutama dipicu oleh penurunan harga dalam kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga yang mengalami deflasi hingga 9,16 persen.
Kelompok ini memiliki andil besar terhadap deflasi dengan kontribusi negatif sebesar 1,44 persen. Penurunan tarif listrik menjadi faktor dominan dalam tren ini, memberikan andil hingga 1,47 persen.
Selain itu, beberapa komoditas lain seperti harga tomat, ketimun, tarif kereta api, dan angkutan udara juga memberikan kontribusi terhadap deflasi, meskipun dalam skala yang lebih kecil.
Di sisi lain, kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau tetap menjadi pendorong inflasi.
Kelompok ini mencatat inflasi bulanan sebesar 1,94 persen dengan kontribusi terhadap inflasi sebesar 0,56 persen. Hal ini mencerminkan bahwa harga bahan pangan masih mengalami kenaikan, meskipun tekanan deflasi muncul dari sektor energi dan transportasi.
Dari sisi komponen inflasi, terdapat dinamika yang cukup menarik.
Komponen inti, yang mencerminkan harga barang dan jasa yang cenderung stabil dan tidak dipengaruhi oleh faktor musiman, mengalami inflasi sebesar 0,30 persen dengan kontribusi sebesar 0,20 persen.
Sebaliknya, komponen harga yang diatur pemerintah mencatat deflasi signifikan sebesar 7,38 persen dengan andil sebesar 1,44 persen, menunjukkan adanya intervensi kebijakan yang menurunkan harga di sektor-sektor tertentu.
Sementara itu, komponen harga bergejolak, yang sering dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti cuaca dan kondisi pasar global, mengalami inflasi sebesar 2,95 persen dengan andil sebesar 0,48 persen.
Jika melihat perbedaan antar daerah, dari 38 provinsi di Indonesia, sebanyak 34 provinsi mengalami deflasi, sementara hanya 4 provinsi yang mencatat inflasi. Kepulauan Riau menjadi daerah dengan tingkat inflasi tertinggi, yakni 0,43 persen, sedangkan deflasi tertinggi terjadi di Papua Barat dengan penurunan harga mencapai 2,29 persen.
Fenomena deflasi ini mencerminkan dinamika ekonomi yang kompleks. Penurunan harga listrik dan energi rumah tangga memberikan dampak positif bagi daya beli masyarakat, namun di sisi lain, tekanan inflasi di sektor pangan menunjukkan adanya tantangan dalam stabilisasi harga bahan kebutuhan pokok.
Dengan tren ini, kebijakan moneter dan fiskal pemerintah akan berperan penting dalam menjaga keseimbangan inflasi agar tidak berlanjut menjadi deflasi berkepanjangan yang dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.(*)