Logo
>

BPS Klaim Kemiskinan Turun, tapi Versi Bank Dunia Naik Drastis

Penggunaan standar lama oleh pemerintah membuat data kemiskinan ekstrem Indonesia terlihat lebih baik dari kenyataan, berisiko menyesatkan kebijakan sosial nasional.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
BPS Klaim Kemiskinan Turun, tapi Versi Bank Dunia Naik Drastis
Ilustrasi peningkatan kemiskinan di RI. Foto: KabarBursa.com/Citra

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Target ambisius pemerintah Indonesia menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024 tidak diiringi dengan pembaruan metodologi pengukuran yang sesuai standar global. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang akurasi data dan keberlanjutan kebijakan pengentasan kemiskinan ke depan. 

    Dalam rapat terbatas yang digelar 4 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menargetkan kemiskinan ekstrem turun hingga nol persen pada akhir masa jabatannya.

    Komitmen ini diperkuat dengan penerbitan Instruksi Presiden No.8/2025 oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, meskipun tanpa batas waktu pencapaian yang jelas. Menko Perekonomian bahkan menurunkan target menjadi 0–0,5 persen pada 2026.

    Namun, Awalil Rizky, ekonom dari Bright Institute, menyampaikan bahwa pencapaian target tersebut tampaknya hanya valid secara administratif, bukan substantif.

    "Persentase yang seolah mendekati nol persen itu artinya mencakup lebih dari 2 juta orang. Masih sulit untuk disebut menghapuskan kemiskinan ekstrem," tegasnya dalam keterangannnya, Senin, 28 Juli 2025.

    Dalam pidato kenegaraan terakhir Presiden Jokowi, pemerintah menyatakan telah berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0,83 persen per Maret 2024, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

    Namun, angka tersebut kini disorot karena menggunakan parameter lama, yakni pengeluaran di bawah USD 1,90 per hari per orang dengan acuan Purchasing Power Parity (PPP) tahun 2011.

    Masalahnya, Bank Dunia sejak 2022 sudah memperbarui garis kemiskinan ekstrem menjadi USD 2,15 (PPP 2017), dan pada 2023 kembali meningkat menjadi USD 3,00 berdasarkan PPP tahun 2021. Ketika BPS akhirnya mengadopsi standar ini dalam siaran pers 25 Juli 2025, angka kemiskinan ekstrem Indonesia langsung melonjak tajam.

    “Jika dipakai standar terkini Bank Dunia, maka jumlah penduduk miskin ekstrem tahun 2024 mencapai 15,42 juta orang atau 5,44 persen,” ungkap Awalil.

    Selisih data ini mencolok. Dua angka berbeda yang dirilis BPS untuk 2024 menimbulkan kebingungan publik. Pada Agustus 2024, BPS mengklaim jumlahnya 3,56 juta orang (1,26 persen), namun dalam rilis Maret 2025 disebutkan hanya 2,38 juta orang (0,85 persen). Selisih lebih dari 1 juta orang ini mencerminkan tidak sinkronnya metodologi dan acuan yang dipakai.

    Lebih jauh, Awalil menjelaskan bahwa standar PPP yang dipakai pemerintah juga sudah tertinggal. Ia menyoroti bahwa garis kemiskinan BPS tahun 2024, jika dikonversi dengan PPP 2021, hanya setara USD 3,35. Padahal, standar kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah bawah mencapai USD 4,20, dan USD 8,30 untuk negara berpendapatan menengah atas.

    Kondisi ini menjadi cerminan dari kegagalan harmonisasi data domestik dengan standar global. Konsep PPP sendiri dimaksudkan untuk menciptakan kesetaraan daya beli antarnegara, dan bukan sekadar konversi nilai tukar biasa. Tanpa penyesuaian terhadap PPP terbaru, maka data kemiskinan ekstrem yang dilaporkan bisa menyesatkan.

    Menurut Awalil, penghapusan kemiskinan ekstrem bukan hanya soal presentase, melainkan juga soal identifikasi yang tepat atas siapa dan di mana warga miskin ekstrem itu berada. Tanpa data mikro yang akurat, intervensi kebijakan hanya akan bersifat simbolis

    “Kebijakan yang tepat dipastikan tidak bisa dilaksanakan tanpa informasi cukup rinci dan presisi tentang mereka beserta kehidupan sehari-harinya,” ujarnya.

    Dari sudut pandang ekonomi makro, ketidaktepatan definisi dan pengukuran ini berimplikasi besar. Kesalahan dalam estimasi jumlah penduduk miskin ekstrem dapat mengganggu penentuan alokasi anggaran, penyusunan program bantuan sosial, hingga kalkulasi efektivitas kebijakan fiskal.

    Pengentasan kemiskinan ekstrem adalah bagian penting dari agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) Indonesia. Namun, tanpa pembaruan ukuran yang konsisten dan sinkronisasi dengan standar internasional, pencapaian target nol persen pada 2026 nyaris mustahil dilakukan secara nyata.

    Dengan menggunakan kurs PPP 2021 yang berlaku untuk Indonesia, yakni sekitar Rp5.800 per USD, garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia saat ini setara dengan pengeluaran Rp17.400 per hari per orang. Angka ini jauh di atas garis kemiskinan nasional BPS, yang selama ini menjadi dasar pengambilan kebijakan.

    Jika pemerintah tetap menggunakan pendekatan lama, maka klaim "penghapusan kemiskinan ekstrem" berisiko menjadi ilusi statistik. Dalam jangka panjang, hal ini akan merusak kepercayaan publik terhadap efektivitas program bantuan sosial dan akurasi data ekonomi pemerintah.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.