KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia mengalami deflasi 0,37 persen secara bulanan (mtm) pada Mei 2025.
Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini di Jakarta, Senin, melaporkan terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 108,47 pada April 2025 menjadi 108,07 pada Mei 2025.
"Terjadi deflasi sebesar 0,37 persen," kata Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini dalam konferensi pers, Senin 2 Juni 2025.
Sementara inflasi tahunan tercatat 1,60 persen (yoy) dan inflasi tahun kalender 1,19 persen (ytd).
Pengamat Ekonomi Abdul Malik membandingkan deflasi 2025 dengan yang terjadi pada Maret 2000. Menurutnya, deflasi pada tahun 2000 lebih disebabkan oleh penyesuaian sistem harga setelah krisis 1998, di mana kondisi ekonomi sudah mulai ditata ulang.
Namun, saat ini situasinya berbeda karena ketidakpastian masih berlanjut dan belum dapat dipastikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Tapi sekarang, kita justru masih berada dalam ketidakpastian dan belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," ujarnya.
Menurutnya, deflasi dalam beberapa tahun terakhir sering dianggap sebagai pencapaian positif. Namun, ia menegaskan bahwa dalam banyak kasus, deflasi bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.
"Jika tidak ditangani dengan baik, ini bisa menjadi tanda bahaya bagi perekonomian," terangnya.
Dia menjelaskan bahwa deflasi bisa terjadi karena dua hal utama. Pertama, deflasi dapat muncul ketika ekonomi dalam kondisi sehat, dengan produktivitas meningkat akibat kemajuan teknologi dan efisiensi distribusi.
"Kemajuan teknologi bisa menekan biaya produksi dan distribusi, sehingga harga barang dan jasa menjadi lebih murah. Tapi, jika produksi berlebihan dan permintaan tidak naik, harga juga bisa turun," jelas dia.
Namun, situasi di Indonesia saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kedua, yaitu turunnya permintaan barang dan jasa.
"Penurunan ini bisa disebabkan oleh meningkatnya pengangguran akibat PHK, ekspektasi sulitnya mendapatkan pekerjaan, serta kebijakan pemerintah yang memperketat belanja dan peredaran uang di masyarakat," tambahnya.
Abdul Malik menilai bahwa daya beli masyarakat tampak lesu. Ia menjelaskan bahwa gelombang PHK dan penghematan anggaran pemerintah semakin menambah kekhawatiran, sehingga banyak orang memilih menabung daripada berbelanja.
"Secara kasat mata sudah terasa bahwa daya beli masyarakat lesu," ujar Abdul Malik.
Menurutnya, kondisi ini berbahaya karena bisa memperburuk ekonomi. Ia menjelaskan bahwa jika belanja masyarakat tetap rendah pada saat seharusnya tinggi, permintaan barang dan jasa akan semakin menurun.
Akibatnya, perusahaan bisa mengalami kesulitan dan melakukan PHK lebih banyak lagi," ungkapnya.
Abdul Malik menekankan bahwa di tengah situasi ini, belanja pemerintah sangat penting untuk membantu pemulihan ekonomi.
Karena itu ia menekankan bahwa pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk menciptakan lapangan kerja dan mendukung sektor-sektor produktif.
"Ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk kembali berbelanja dan menggerakkan ekonomi," jelasnya.(*)
 
      