KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia tengah memasuki fase penuh teka-teki. Di satu sisi, data terbaru dari Baker Hughes menunjukkan aktivitas pengeboran minyak dan gas di Amerika Serikat mulai berdenyut lagi, yang menandakan adanya potensi peningkatan pasokan.
Namun di sisi lain, sentimen pasar global masih dibayangi kekhawatiran atas kelebihan suplai dan lemahnya prospek permintaan di tengah perlambatan ekonomi.
Menurut laporan mingguan Baker Hughes, jumlah rig aktif di AS naik dua unit menjadi 548 rig pada 7 November 2025. Meski tampak positif, angka ini tetap 37 rig atau sekitar 6 persen lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor energi belum benar-benar pulih dari tekanan harga rendah dan strategi efisiensi modal yang agresif.
Secara lebih rinci, jumlah rig minyak bertahan di 414, sedangkan rig gas naik tiga menjadi 128. Sebuah level tertinggi sejak Agustus 2023. Kenaikan ini sejalan dengan proyeksi Energy Information Administration (EIA) yang memperkirakan produksi gas alam AS akan melonjak menjadi 107,1 miliar kaki kubik per hari (bcfd) pada 2025, naik dari 103,2 bcfd tahun ini.
Lonjakan 56 persen dalam harga spot gas yang diperkirakan tahun depan menjadi katalis utama di balik kembalinya aktivitas pengeboran.
Namun dinamika berbeda terjadi di sektor minyak. Texas, negara bagian produsen minyak terbesar AS, justru mengalami penurunan jumlah rig menjadi 234—terendah sejak September 2021. Sementara Louisiana menunjukkan arah berlawanan dengan kenaikan dua rig ke posisi tertinggi sejak 2024.
Ketimpangan ini mencerminkan dua hal, yaitu tekanan biaya operasional yang masih tinggi di beberapa wilayah utama, serta perubahan strategi perusahaan untuk mempertahankan margin ketimbang mengejar ekspansi produksi besar-besaran.
Rencana Pemangkaasan Belanja Modal E&P AS
Fokus industri kini bergeser dari ekspansi ke pengembalian nilai bagi pemegang saham. Data TD Cowen menunjukkan, perusahaan eksplorasi dan produksi independen (E&P) AS berencana memangkas belanja modal sekitar 4 persen pada 2025. Alasannya, perlambatan tajak dibandingkan lonjakan 27 persen di 2023 dan 40 persen di 2022.
Penurunan ini menjadi sinyal kuat bahwa disiplin belanja tetap menjadi tema utama industri energi AS, bahkan ketika harga minyak masih bertahan di atas USD80 per barel untuk Brent dan USD76 per barel untuk WTI.
Kontrasnya, EIA tetap optimistis. Lembaga ini memproyeksikan produksi minyak mentah AS akan mencapai rekor baru, dari 13,2 juta barel per hari (bph) pada 2024 menjadi sekitar 13,5 juta bph di 2025.
Ini artinya, peningkatan efisiensi teknologi dan fokus pada ladang-ladang produktif masih mampu mendorong output, meskipun jumlah rig tidak bertambah signifikan.
Namun, dalam konteks global, kondisi ini dapat menciptakan tekanan tambahan bagi harga minyak. Dengan pasokan AS yang terus naik dan permintaan global yang belum menunjukkan pemulihan berarti, terutama dari China dan Eropa, risiko oversupply makin besar.
Investor kini semakin berhati-hati, menimbang apakah OPEC+ akan tetap mempertahankan kebijakan pemangkasan produksi atau mulai melepas pasokan ke pasar untuk menjaga pangsa.
Di sisi harga, baik Brent maupun WTI menghadapi tantangan teknikal. Keduanya cenderung bergerak datar sepanjang awal November, dengan pola konsolidasi yang mencerminkan ketidakpastian arah.
Para pelaku pasar menilai setiap lonjakan harga akan dibatasi oleh kekhawatiran pasokan baru dari AS dan Rusia. Sementara, pelemahan harga bisa tertahan oleh prospek pemangkasan tambahan dari OPEC+.
Singkatnya, data rig Baker Hughes pekan ini menegaskan bahwa pasar minyak tengah memasuki fase konvergensi risiko, di mana kenaikan produksi AS berhadapan langsung dengan disiplin modal dan tekanan makro global.
Brent dan WTI masih bertahan di zona sensitif antara optimisme pasokan dan kehati-hatian permintaan. Untuk sementara, keseimbangan rapuh inilah yang menjaga pasar minyak tetap waspada, tanpa arah yang benar-benar pasti.(*)