KABARBURSA.COM - Bitcoin (BTC) kembali mencetak sejarah. Pada Rabu, 22 Mei 2025, harga mata uang kripto terbesar di dunia itu melonjak ke titik tertingginya sepanjang masa, menembus USD111.395 atau sekitar Rp1,83 miliar (kurs Rp16.400). Lonjakan ini bukan sekadar euforia digital semata—ada arus modal besar yang mengalir masuk dari kantong para investor institusi.
Menurut analis eToro Australia, Reece Hobson, selama Mei ini saja, dana yang mengalir ke produk spot BTC ETF di Amerika Serikat telah melampaui USD2,8 miliar (setara Rp45,92 triliun). Secara keseluruhan, kepemilikan ETF Bitcoin telah menembus USD122 miliar (sekitar Rp2.000 triliun), menjadi salah satu pendorong utama reli harga yang kini telah naik lebih dari 18 persen sejak awal bulan.
“Ledakan harga BTC ini dipicu oleh banyak hal,” kata Hobson, dikutip dari Decrypt di Jakarta, Kamis, 22 Mei 2025. “Inflow institusional, terutama melalui ETF spot Bitcoin di AS, telah menyuntikkan miliaran dolar ke pasar. Ditambah lagi, efek dari halving bulan April telah memperketat pasokan.”
Dari balik layar pasar, ada faktor makro yang turut menyulut bara. Likuiditas global yang meningkat, pelemahan dolar Amerika, dan gejolak geopolitik yang belum reda jadi bahan bakar tambahan bagi reli ini. Investor besar seperti MicroStrategy pun tak tinggal diam—mereka kembali memborong Bitcoin dalam jumlah besar, menyiratkan keyakinan jangka panjang terhadap aset digital ini.
Data Coinmarketcap per pukul 12.50 WIB memperkuat tren tersebut. Kapitalisasi pasar BTC kini telah menembus USD2,21 triliun (sekitar Rp36.244 triliun) dari total kapitalisasi pasar kripto sebesar USD3,5 triliun (sekitar Rp57.400 triliun). Indeks ketamakan (Fear & Greed Index) pun menyentuh level 73, menandakan gairah pasar sedang memuncak.
Namun, belum semua kripto ikut berpesta. Altcoin seperti Ethereum (ETH) memang ikut menguat ke USD2.625 (Rp43,05 juta), tapi belum seagresif BTC. Beberapa token seperti Solana dan Sui justru mulai menarik perhatian investor karena menawarkan keunggulan skalabilitas dan adopsi oleh pengembang.
Meski dominasi BTC kini berada di kisaran 61 persen, analis menyebut “musim altcoin” belum akan datang dalam waktu dekat. Hobson menyebut alt season baru akan terjadi jika dua kondisi terpenuhi: pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) dan dominasi Bitcoin mendekati 70 persen.
“Selama fase price discovery ini, BTC cenderung menyerap sebagian besar likuiditas pasar,” ujar Mena Theodorou, salah satu pendiri Coinstash. “Kita lebih mungkin melihat kekuatan pada altcoin tertentu daripada lonjakan menyeluruh.”
Dalam situasi seperti ini, pasar kripto tampaknya masih berkiblat pada satu bintang bernama BTC ini. Dan sampai alt season benar-benar tiba, pertunjukan besar ini masih milik sang raja kripto.(*)