KABARBURSA.COM– Rencana peleburan Kementerian BUMN ke dalam Danantara mengemuka di tengah tuntutan tata kelola BUMN yang lebih profesional.
Ide disebut bakal memutus tarik-menarik antara kepentingan bisnis dan kepentingan politik.
Isu peleburan Kementerian BUMN dengan Danantara mencuat setelah pemerintah resmi membentuk super holding di awal 2025. Sejumlah media nasional memberitakan bahwa wacana peleburan muncul dari pembahasan internal pemerintah dan pernyataan pejabat istana yang menyebut skema tersebut sedang dikaji.
Diskusi publik makin meluas ketika beberapa ekonom dan anggota DPR menilai fungsi Kementerian BUMN berpotensi tumpang tindih dengan peran Danantara, mirip model Temasek di Singapura. Meskipun belum ada keputusan resmi, rangkaian pemberitaan sejak Agustus hingga September 2025 itulah yang membentuk persepsi publik bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan pengalihan sebagian kewenangan kementerian kepada Danantara.
Selain itu peleburan diperkuat setelah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mencopot Erick Thohir dari jabatan Menteri BUMN dan mengangkatnya menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga pada 17 September 2025 lalu. Kemudian pada Jumat, 19 September 2025 Prabowo menunjuk Dony Oskaria sebagai penggantinya menjadi Plt Menteri BUMN, padahal dia sebelumnya menjabat sebagai Wamen BUMN dan masih menjadi Direktur Operasional Danantara.
Apakah langkah ini tepat, atau justru menambah persoalan baru?
Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, memandang wacana ini harus dibaca secara hati-hati. “Kalau hanya ganti papan nama, tidak ada gunanya. Peleburan hanya relevan jika benar-benar memisahkan fungsi pemilik dan regulator, serta memperkuat tata kelola,” ujarnya dikutip Senin, 22 September 2025.
Sejak lama Kementerian BUMN memegang peran ganda: regulator informal sekaligus wajah pemilik. Model ini membuat pengambilan keputusan sering tersendat di tengah siklus politik. Danantara diusulkan menjadi super-holding yang lebih menyerupai Temasek atau Khazanah, bertindak sebagai manajer portofolio profesional.
“Ini soal mindset. Pemerintah harus beralih dari kementerian operator menjadi manajer portofolio yang mengelola nilai aset, bukan menaruh orang,” kata. Ia menekankan analogi rumah sakit: regulator menetapkan standar dan tarif, sedangkan manajemen profesional mengoperasikan rumah sakit. Begitu pula BUMN, fungsi regulator ada di kementerian teknis, fungsi kepemilikan ada di holding.
Rencana peleburan ini masih tahap kajian per September 2025. Indonesia sudah memiliki Indonesia Investment Authority (INA) dan kini Danantara sebagai pengelola aset negara. Kekhawatiran muncul soal tumpang tindih mandat antara INA dan Danantara, serta posisi negara dalam RUPS BUMN.
Menurut Achmad, inilah momen emas menyusun desain kelembagaan. “Pasar tidak suka duplikasi, pasar suka kepastian. Kalau desainnya tumpang tindih, pasar akan baca sebagai risiko,” ujarnya.
Dalam pandangannya, BUMN menghadapi tantangan besar seperti transisi energi, digitalisasi layanan publik, logistik, dan pangan yang menuntut keputusan cepat dan disiplin modal.
Achmad menilai peleburan bisa baik atau buruk tergantung eksekusinya. Baik jika memutus kerancuan peran pemilik-regulator, mempercepat keputusan, dan menegakkan disiplin kinerja berbasis return on equity, internal rate of return, cash conversion, hingga economic value added. Buruk jika mandat Danantara tidak jelas, duplikasi dengan INA tidak diselesaikan, dan related-party transactions tidak diawasi dengan ketat.
“Kalau Danantara ini benar-benar super-holding yang lean, dengan dewan independen kuat dan pelaporan transparan, kinerja BUMN akan terangkat. Tapi tanpa tata kelola yang menggigit, ini hanya pindah kekuasaan tanpa pindah kualitas,” kata dia.
Ia juga mengingatkan soal kebijakan dividen. Negara berpotensi kehilangan setoran jangka pendek jika Danantara memilih menahan laba untuk ekspansi. Maka payout ratio harus eksplisit, dikaitkan dengan siklus investasi, agar pasar dan fiskal negara sama-sama punya kepastian arus kas.
Pemisahan BUMN Komersial Dengan Public Service Obligation
Poin penting lain adalah pemisahan BUMN komersial dengan BUMN Public Service Obligation (PSO). Achmad menekankan bahwa PSO harus dihitung, dikontrak, dan dikompensasi tepat waktu agar neraca bersih dan manajemen tidak tertekan menutup kerugian dengan angka kreatif.
“BUMN PSO jangan diukur pakai kacamata komersial. Kita butuh KPI yang berbeda, dan kompensasi yang jelas supaya manajemen bisa bekerja profesional,” kata Achmad.
Kekhawatiran bahwa Kementerian BUMN akan kehilangan taring dianggap Achmad sebagai kesempatan memperkuat taring tata kelola. Fungsi pengangkatan direksi dan komisaris harus berpindah ke super-holding yang bertanggung jawab atas nilai. Regulasi sektor tetap pada kementerian teknis sehingga kebijakan publik lebih tajam dan independen.
“Taring politik harus berubah jadi taring tata kelola: fit and proper yang tegas, cooling-off politik, aturan terkait transaksi afiliasi yang terang benderang, dan KPI yang bisa diaudit publik,” ujar Achmad.
Achmad juga mengingatkan perlunya revisi landasan hukum. UU BUMN menempatkan menteri sebagai wakil pemegang saham negara. Jika fungsi itu dipindahkan ke Danantara, harus jelas siapa mewakili negara di RUPS, bagaimana mekanisme pengangkatan, batas leverage, kebijakan dividen, dan pelaporan sesuai PSAK atau IFRS. Tanpa itu, risiko sengketa dan kebingungan pasar meningkat.
“Jangan melangkah tanpa pondasi hukum. Kalau fondasi lemah, kita undang masalah baru,” ujarnya.
Apa yang Harus Diputuskan Sekarang
Pertama, mandat tunggal Danantara versus INA. Kedua, klasifikasi BUMN komersial, hibrida, dan PSO dengan KPI berbeda. Ketiga, kebijakan dividen yang kredibel. Keempat, transparansi portofolio melalui laporan nilai aset bersih, peta risiko, dan stress test fiskal.
Achmad percaya jika empat hal ini dikerjakan serius, pasar akan memberikan premi valuasi dan kepercayaan terhadap BUMN Indonesia.
Achmad menyimpulkan bahwa peleburan Kementerian BUMN ke Danantara bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk menciptakan tata kelola yang lebih proaktif. Atau bisa diartikan sebagai kesempatan emas mengubah tata kelola BUMN dari reaktif jadi proaktif. "Kita bisa mendongkrak kinerja perusahaan negara, tapi hanya kalau disiplin portofolio, disiplin modal, dan perlindungan dari intervensi politik dijalankan,” katanya.
Menurutnya, negara akan kehilangan taring lama tetapi mendapat taring baru atau taring tata kelola yang menggigit, membuat manajemen bekerja untuk nilai, kebijakan publik berjalan pada jalurnya, dan BUMN lebih bernilai bagi rakyat.(*)