KABARBURSA.COM - Bursa saham Asia kembali dibuka melemah pada perdagangan Kamis pagi, 23 Oktober 2025. Lesunya bursa Asia disebabkan ketidakpastian global yang membayangi sentimen investor.
Tren pelemahan ini juga melanjutkan penurunan yang terjadi di bursa utama Eropa dan Wall Street semalam, yang tertekan oleh kekhawatiran geopolitik serta kabar mengenai potensi langkah baru Amerika Serikat dalam memperketat ekspor ke China.
Suasana pasar pagi ini diwarnai oleh sentimen hati-hati setelah laporan eksklusif Reuters menyebutkan bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump tengah mempertimbangkan pembatasan ekspor terhadap produk yang dibuat menggunakan perangkat lunak asal Amerika.
Langkah tersebut berpotensi mempengaruhi rantai pasok global, karena mencakup produk-produk penting seperti laptop hingga mesin jet. Meski sumber Reuters menyebutkan rencana itu belum final dan masih dalam tahap pembahasan, kabar ini cukup untuk memicu aksi jual di pasar Asia.
Kekhawatiran perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia kembali memanas di saat pasar juga menghadapi ketidakpastian terkait rencana pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Ketidakjelasan jadwal diplomatik ini membuat investor khawatir bahwa ketegangan geopolitik global akan kembali meningkat dan menekan prospek pertumbuhan ekonomi kawasan.
Di awal perdagangan, bursa saham utama Asia langsung dibuka di zona merah. Indeks ASX 200 Australia turun 0,33 persen pada pembukaan dan berlanjut melemah 0,31 persen ke posisi 9.002 pada pukul 8:15 WIB.
Pelemahan ini mencerminkan tekanan pada saham sektor sumber daya alam dan perbankan, yang memang sensitif terhadap fluktuasi global.
Pasar Korea Selatan juga mengalami tekanan tajam. Indeks Kospi dibuka turun 1,5 persen sementara Kosdaq merosot 1 persen. Hingga pukul 8:15 WIB, Kospi masih berada di zona negatif dengan penurunan 0,47 persen ke level 3.865,44.
Investor di Seoul memilih menunggu hasil keputusan suku bunga dari Bank of Korea (BoK) yang akan diumumkan hari ini. BoK diperkirakan mempertahankan suku bunga acuan di level 2,5 persen, sejalan dengan pandangan bahwa risiko utama bagi ekonomi Korea saat ini bukanlah inflasi, melainkan tingginya utang rumah tangga.
Dari Jepang, bursa juga mengalami tekanan besar. Indeks Nikkei 225 anjlok 1,25 pesen atau 647,01 poin ke level 48.660,78, setelah sempat dibuka turun lebih dalam sebesar 1,52 persen. Indeks Topix juga melemah 0,71 persen.
Saham SoftBank menjadi sorotan dengan penurunan lebih dari 6 persen di awal sesi. Perusahaan sempat mengumumkan rencana penerbitan obligasi besar dalam denominasi dolar AS dan euro, sebelum penurunan harga terjadi.
SoftBank berencana menerbitkan obligasi senilai sekitar USD2 miliar dalam dua tahap serta tambahan EUR750 juta atau sekitar USD870 juta dalam bentuk obligasi hibrida dengan tingkat bunga tinggi antara 6,5 persen hingga 8,25 persen.
Langkah ini dilakukan untuk memperkuat struktur modal dan mendukung ekspansi perusahaan di sektor kecerdasan buatan (AI). Namun, bagi pasar, pengumuman tersebut justru memicu kekhawatiran bahwa perusahaan tengah menghadapi tekanan pendanaan yang lebih besar di tengah kondisi global yang tidak pasti.
IHSG Diperkirakan Hadapi Tekanan Jual
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia juga diperkirakan masih menghadapi tekanan jual, meski berpotensi mengalami penguatan terbatas. Pada perdagangan Rabu, 22 Oktober 2025, IHSG ditutup melemah 1,04 persen ke level 8.152.
Harga ETF saham Indonesia, iShares MSCI Indonesia (EIDO), di bursa New York juga tercatat turun 1,54 persen ke USD17,89. Dalam hal ini, tekanan sentimen eksternal masih kuat.
Beberapa analis memperkirakan IHSG hari ini akan menguji level support di kisaran 8.033–8.120. Secara teknikal, indeks telah memasuki fase koreksi setelah volume penjualan meningkat tajam. Namun, masih ada peluang untuk rebound jangka pendek, terutama jika tekanan dari pasar global mulai mereda.
Tekanan tambahan datang dari keputusan Bank Indonesia (BI) yang mempertahankan suku bunga acuannya. Menurut analis IndoPremier, keputusan tersebut mencerminkan fokus BI dalam menjaga efektivitas transmisi kebijakan moneter ke perbankan nasional. Juga, menunjukkan sikap independen dalam menjaga stabilitas ekonomi domestik di tengah ketidakpastian global.
AS Melemah, Rupiah Turun Tipis 0,01 Persen
Di pasar valuta asing, dolar AS bergerak melemah tipis setelah mencatat kenaikan selama tiga hari berturut-turut. Indeks Dolar (DXY) turun 0,08 persen ke level 98,897, tertekan oleh kebuntuan politik di Washington yang belum terselesaikan.
Presiden Donald Trump menolak permintaan anggota parlemen Demokrat untuk melakukan pertemuan membahas penutupan sebagian pemerintahan (government shutdown) yang kini sudah berlangsung tiga minggu.
Situasi ini menambah ketidakpastian bagi Federal Reserve yang akan menggelar rapat kebijakan moneter pada 29 Oktober mendatang.
Kurs euro menguat tipis 0,09 persen menjadi USD1,16 setelah kabar penundaan pertemuan antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Sebaliknya, poundsterling kembali melemah setelah data inflasi Inggris untuk September menunjukkan hasil di bawah perkiraan, bertahan di level 3,8 persen.
Data ini mendorong pasar meningkatkan ekspektasi bahwa Bank of England (BoE) akan memangkas suku bunga lebih cepat, kemungkinan sebelum akhir tahun.
Dari Asia Timur, yen Jepang mencatat pergerakan stabil di kisaran 151,96 per dolar AS, setelah melemah 2,5 persen sepanjang Oktober. Ini menjadi penurunan bulanan terbesar sejak Juli.
Yen mendapat sedikit dukungan dari kabar bahwa Perdana Menteri baru Jepang Sanae Takaichi, sedang menyiapkan paket stimulus besar senilai 13,9 triliun yen atau sekitar USD92,19 miliar. Paket stimulus ini diperuntukkanmembantu rumah tangga menghadapi tekanan inflasi.
Namun, kebijakan fiskal ekspansif tersebut justru menimbulkan kekhawatiran pasar akan meningkatnya defisit dan potensi tekanan tambahan terhadap nilai yen.
Sementara rupiah pagi ini diperdagangkan di level Rp16.585 per dolar AS, turun tipis 0,01 persen. Pergerakan ini masih mencerminkan kehati-hatian pelaku pasar terhadap arah kebijakan suku bunga The Fed dan pergerakan dolar global.
Secara keseluruhan, pembukaan pasar Asia pagi ini memperlihatkan lanskap yang sarat ketidakpastian. Sentimen global yang rapuh, isu perdagangan AS-China yang kembali mencuat.
Arah kebijakan moneter sejumlah bank sentral utama dunia menjadi faktor utama yang membentuk arah pasar. Investor di kawasan tampak lebih memilih menunggu kejelasan daripada mengambil risiko lebih besar di tengah kondisi geopolitik yang kompleks.
Jika tekanan dari faktor eksternal tidak segera mereda, pasar Asia berpotensi melanjutkan tren pelemahannya hingga akhir pekan, meskipun peluang rebound teknikal jangka pendek tetap terbuka di beberapa indeks regional, termasuk IHSG.(*)