KABARBURSA.COM - Di tengah situasi global yang makin tidak menentu, khususnya akibat kebijakan tarif dari Amerika Serikat (AS), Bank Indonesia tetap menunjukkan sikap optimis. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa kondisi perekonomian nasional masih berada dalam jalur yang kokoh.
Ada tiga alasan utama yang menjadi dasar kepercayaan diri otoritas moneter tersebut dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.
Pertama, Perry menyoroti defisit yang masih berada dalam batas aman. Ia menyebutkan bahwa defisit anggaran diperkirakan hanya akan berada di kisaran 0,5 hingga 1,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara defisit transaksi berjalan dinilai masih tergolong wajar untuk ukuran negara berkembang seperti Indonesia.
"Kalau untuk negara-negara yang sedang membangun seperti Indonesia, emerging market, and developing country sepanjang defisit transaksi berjalan itu tidak lebih dari 3 persen itu kategorinya stabilitas eksternalnya itu tetap kuat, itu alasan yang pertama," ujar Perry dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kamis, 24 April 2025.
Alasan kedua berasal dari keyakinan bahwa kekurangan dalam transaksi berjalan akan tertutupi oleh kelebihan dalam pos transaksi modal dan finansial. Masuknya arus dana asing baik dari investasi portofolio maupun penanaman modal asing dinilai akan menjadi penopang utama.
"Maupun sumber-sumber aliran dan asing termasuk juga dampak positif dari kebijakan pemerintah untuk DHE SDA. Jadi defisit transaksi berjalan kami meyakini dapat dipenuhi dari surplus transaksi modal dan financial sehingga secara keseluruhan neraca pembayaran akan surplus," sambungnya.
Sementara itu, poin ketiga yang memperkuat ketahanan ekonomi nasional adalah posisi cadangan devisa yang masih terjaga tinggi. Hingga akhir Maret 2025, jumlah cadangan devisa tercatat mencapai US$ 157,1 miliar, cukup untuk membiayai impor selama hampir tujuh bulan, atau jika ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah, cukup untuk 6,5 bulan.
"Tiga pertimbangan tadi yang menyimpulkan optimisme kami bahwa ketahanan eksternal ekonomi Indonesia dalam menghadapi gejolak global kuat," terang Perry.
Namun, Perry tak menampik adanya potensi gangguan dari kebijakan tarif yang digaungkan pemerintah AS. Walau saat ini kebijakan tersebut tengah ditangguhkan selama 90 hari oleh Presiden AS Donald Trump, Perry tetap menilai pentingnya melakukan pemetaan risiko secara mendalam.
"Tentu saja nanti berdampak kepada seberapa besar ekspor ke Indonesia direct impact langsungnya terhadap Amerika dan juga indirect impact, dampak tindak langsungnya ekspor Indonesia kepada Tiongkok. Perlu kita sadari bersama, ini seperti kita tadi sampaikan oleh Bu Menteri Keuangan dinamika kebijakan tarif ini terus berlangsung dan tentu saja perlu dilakukan assessment lebih lanjut," jelasnya.
Tekanan Tambahan Sistem Keuangan Dunia
Di tengah situasi ekonomi global yang makin tidak menentu, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan bahwa kondisi stabilitas keuangan Indonesia sepanjang kuartal pertama 2025 masih dalam keadaan aman dan terkendali. Namun, awan gelap di horizon global tetap menjadi perhatian serius.
Menteri Keuangan sekaligus anggota KSSK Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ketegangan ekonomi yang dipicu oleh kebijakan tarif Amerika Serikat telah menciptakan tekanan tambahan pada sistem keuangan dunia dan berpotensi menimbulkan dampak lanjutan terhadap Indonesia.
"Memasuki kuartal II 2025 downside risk (risiko penurunan ekonomi) terpantau masih tinggi, sehingga perlu terus dicermati dan diantisipasi ke depan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantornya, Kamis, 24 April 2025.
Sri Mulyani menuturkan, seluruh anggota KSSK sepakat untuk memperkuat sinergi dan menjaga tingkat kewaspadaan tinggi dalam menghadapi potensi efek domino dari gejolak ekonomi internasional.
"Rapat KSSK menyepakati untuk terus meningkatkan kewaspadaan serta memperkuat koordinasi dan kebijakan dari lembaga-lembaga anggota KSSK dalam upaya memitigasi potensi dampak rambatan faktor risiko global, sekaligus meningkatkan upaya memperkuat perekonomian dan sektor keuangan dalam negeri," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa selama tiga bulan pertama tahun ini, ketidakpastian global melonjak signifikan akibat langkah proteksionis dari pemerintah AS yang memicu peningkatan tensi dagang. Menurutnya, kebijakan tarif tersebut memunculkan konsekuensi luas yang tidak hanya membatasi pertumbuhan ekonomi AS dan China, tetapi juga memperbesar ketidakpastian dalam sistem perdagangan internasional.
“Ketegangan perdagangan ini tidak hanya menekan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan China, tetapi juga memicu ketidakpastian yang lebih luas di pasar keuangan dan tata kelola perdagangan global,” jelasnya.
Gejolak tersebut memunculkan kekhawatiran di kalangan investor global. Ketidakpastian yang membesar telah mengubah perilaku pelaku pasar, mendorong mereka menghindari risiko dan mencari tempat yang lebih aman untuk menanamkan dana.
Imbasnya, imbal hasil surat utang pemerintah AS menurun (yield US Treasury), sementara nilai indeks dolar AS (DXY) ikut melemah. Hal ini terjadi seiring meningkatnya spekulasi bahwa bank sentral AS, Federal Reserve, akan menurunkan suku bunganya dalam waktu dekat.
“Posisi ini telah memicu tren penghindaran risiko di kalangan pengusaha dan pemilik modal, yang berujung pada penurunan nilai imbal hasil obligasi AS dan melemahnya indeks mata uang dolar AS, sambil di sisi lain menghadapi kemungkinan penurunan suku bunga oleh Federal Reserve,” ujarnya.
Sri Mulyani menambahkan, pergerakan modal global saat ini mengalami pergeseran. Investor mulai meninggalkan AS dan negara berkembang, dan mengalihkan dana mereka ke aset-aset yang dianggap lebih aman seperti emas dan instrumen keuangan di Eropa dan Jepang.
Tren ini turut memberi tekanan tambahan terhadap nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang turut merasakan dampaknya melalui pelemahan rupiah.(*)