KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia hingga akhir September 2024 mencapai sebesar USD149,9 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso mengatakan, cadev tersebut relatif stabil, meskipun lebih rendah dibandingkan posisi pada akhir Agustus 2024 yaitu USD150,2 miliar.
"Posisi cadangan devisa pada akhir September 2024 setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah," ujarnya, seperti dikutip Senin, 7 Oktober 2024.
Ia menjelaskan terkait perkembangan cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Selain itu, BI, kata Ramdan, menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Lebih lanjut, BI memandang cadangan devisa tetap memadai sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal.
Prospek ekspor yang tetap positif, neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus sejalan persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik, mendukung tetap terjaganya ketahanan eksternal.
"Bank Indonesia juga terus memperkuat sinergi dengan pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal sehingga dapat menjaga stabilitas perekonomian dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," pungkas Ramdan.
Modal Asing Masuk
Di samping itu, BI mengungkapkan aliran modal asing bersih yang mengalir ke pasar keuangan Indonesia dari 1 Januari hingga 3 Oktober 2024 mencapai Rp278,09 triliun.
Ramdan menyebutkan bahwa angka tersebut terdiri dari modal asing masuk bersih sebesar Rp191,75 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Rp49,92 triliun di pasar saham, serta Rp36,42 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Seperti dalam keterangan resmi di Jakarta, 7 Oktober 2024.
Berdasarkan data transaksi dari 30 September hingga 3 Oktober 2024, total aliran modal asing bersih tercatat mencapai Rp0,57 triliun. Perkembangan tersebut dipicu oleh masuknya modal asing bersih di pasar SBN sebesar Rp6,13 triliun, meskipun terjadi keluarnya modal asing bersih di pasar saham dan SRBI masing-masing sebesar Rp4,36 triliun dan Rp1,20 triliun.
Sejak memasuki semester II 2024 hingga 3 Oktober 2024, modal asing masuk bersih di pasar SRBI tercatat mencapai Rp61,41 triliun, di pasar SBN sebesar Rp70,38 triliun, dan di pasar saham Rp49,58 triliun.
Di sisi lain, premi risiko investasi Indonesia atau credit default swaps (CDS) 5 tahun per 3 Oktober 2024 tercatat sebesar 68,02 basis poin (bps), sedikit naik dibandingkan 27 September 2024 yang berada di level 67,50 bps.
Sementara itu, imbal hasil (yield) SBN Indonesia bertenor 10 tahun terpantau naik ke level 6,62 persen pada 4 Oktober 2024. Kenaikan ini sejalan dengan peningkatan yield surat utang AS (US Treasury Note) dengan tenor 10 tahun yang meningkat menjadi 3,846 persen pada 3 Oktober 2024.
BI menegaskan akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah serta otoritas terkait lainnya dan mengoptimalkan strategi bauran kebijakan guna memperkuat ketahanan eksternal perekonomian Indonesia.
Aliran Modal Asing dari Pasar Keuangan
Sebelumnya, hanya dalam waktu sepekan, Indonesia kehilangan modal asing dari pasar keuangan dengan jumlah yang cukup besar, yaitu Rp1,31 triliun. Hilangnya aliran modal asing dari pasar keuangan Indonesia dapat memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian, terutama dalam hal stabilitas pasar finansial, nilai tukar, dan arus investasi.
Namun, meski Bank Indonesia mencatat adanya net sell sebesar Rp 1,31 triliun pada pekan 9-12 September 2024, data keseluruhan sepanjang tahun menunjukkan tren positif dalam hal aliran modal asing.
Dalam sepekan, pasar keuangan domestik mencatatkan:
- Net sell di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp0,18 triliun.
- Net sell di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp3,59 triliun.
- Pembelian bersih (net buy) di pasar saham sebesar Rp2,46 triliun.
Dari catatan tersebut, ada beberapa implikasi jangka pendek. Keluarnya modal asing dari SBN dan SRBI bisa meningkatkan volatilitas di pasar obligasi dan menekan harga SBN, yang dapat berdampak pada kenaikan imbal hasil obligasi (yield). Ini bisa meningkatkan biaya pinjaman bagi pemerintah dan sektor swasta, serta mempersempit ruang fiskal.
Namun, dengan adanya net buy di pasar saham, sentimen investor asing terhadap pasar ekuitas masih positif, yang bisa menjadi penyeimbang tekanan dari pelepasan aset di pasar obligasi dan SRBI.
Ketika modal asing keluar dari pasar keuangan, biasanya terjadi tekanan pada kurs rupiah. Penjualan aset dalam rupiah dan konversinya ke mata uang asing bisa mendorong depresiasi nilai tukar. Depresiasi yang tajam dapat menambah biaya impor dan meningkatkan risiko inflasi, terutama dalam konteks Indonesia yang masih mengimpor sejumlah besar barang seperti energi dan pangan.
Meski demikian, tren pembelian bersih di pasar saham sepanjang tahun sebesar Rp31,47 triliun dan total pembelian bersih di pasar SRBI sebesar Rp184,03 triliun menunjukkan bahwa sentimen asing masih cenderung positif terhadap ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Ini bisa membantu menjaga stabilitas kurs rupiah dalam jangka menengah. (*)