KABARBURSA.COM - Calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Eva Yuliana, menekankan pentingnya penggunaan teknologi modern seperti e-audit dan Big Data Analytic untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan keuangan negara.
Pernyataan ini ia sampaikan dalam fit and proper test calon anggota BPK RI 2024-2029 di hadapan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Senin, September 2024. Eva yang juga politisi NasDem dan Anggota Komisi III DPR RI ini menilai teknologi tersebut dapat menjadi solusi strategis untuk mengatasi berbagai hambatan kinerja BPK.
Eva menjelaskan e-audit dapat mempercepat proses pemeriksaan dan memungkinkan BPK untuk mengakses data secara real-time dan lebih luas, sehingga mengurangi ketergantungan pada pemeriksa di lapangan. Menurutnya, teknologi ini tidak hanya memperbaiki efisiensi, tetapi juga meningkatkan akurasi hasil pemeriksaan. Ia menyebut bahwa dengan e-audit, potensi kesalahan manusia bisa diminimalisir, yang pada gilirannya meningkatkan kualitas laporan pemeriksaan BPK.
Lebih lanjut, Eva menyoroti manfaat Big Data Analytic dalam pengelolaan data. Ia berargumen bahwa teknologi ini memungkinkan BPK untuk mengidentifikasi potensi penyimpangan lebih cepat dan akurat. "Dengan Big Data Analytic, BPK dapat melakukan pencegahan korupsi lebih dini," ujarnya.
Namun, Eva juga mengakui penerapan teknologi ini membutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai, seperti bandwidth internet yang kuat dan perangkat pendukung yang handal. Selain itu, ia menekankan pentingnya kebijakan pengamanan teknologi informasi untuk mencegah kebocoran data yang bisa mengganggu proses pemeriksaan. “Keamanan informasi harus menjadi prioritas utama, terutama dalam era digital seperti sekarang ini,” tegasnya.
Eva juga merekomendasikan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di BPK, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan teknologi. Menurut dia, kompetensi pemeriksa dalam penggunaan teknologi canggih ini harus ditingkatkan agar hasil pemeriksaan dapat optimal. Ia percaya dengan peningkatan SDM dan pemanfaatan teknologi, BPK dapat menjalankan perannya dengan lebih efektif dalam mencegah dan mengungkap kasus korupsi.
Eva pun menyoroti tantangan yang dihadapi BPK dalam menjalankan perannya sebagai lembaga pengawas keuangan negara. Politikus Partai NasDem ini menggarisbawahi efektivitas BPK dalam menjalankan tugasnya saat ini masih jauh dari optimal, terutama karena adanya keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan anggaran yang menghambat kinerja lembaga tersebut.
Eva menjelaskan, meski BPK memiliki peran penting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, mulai dari tahap preventif hingga represif, pelaksanaannya sering kali terhambat oleh keterbatasan internal. “BPK memiliki kewenangan yang luas, namun tanpa dukungan SDM yang memadai dan anggaran yang cukup, pelaksanaan peran ini menjadi tidak efektif,” ujarnya.
Dia mencontohkan proses pemeriksaan sering kali memakan waktu lebih lama dari yang seharusnya karena kurangnya jumlah pemeriksa dan keterbatasan anggaran yang tersedia untuk menunjang kegiatan pemeriksaan. Selain itu, Eva juga menyoroti ketidakcukupan SDM tidak hanya berdampak pada efektivitas pemeriksaan, tetapi juga mengurangi kemampuan BPK untuk memberikan rekomendasi yang mendalam dan komprehensif.
“BPK sering kali tidak dapat menyelesaikan pemeriksaan sesuai dengan tenggat waktu yang ditetapkan karena terbatasnya jumlah pemeriksa yang berpengalaman,” kata Eva.
Dia menambahkan, pada gilirannya memperlambat proses penegakan hukum, terutama ketika hasil pemeriksaan harus ditindaklanjuti oleh lembaga penegak hukum seperti Kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Eva pun mengkritik ketidakmampuan BPK dalam mengatasi kendala anggaran, yang sering kali menjadi alasan di balik tertundanya sejumlah pemeriksaan penting.
Klik Halaman Selanjutnya...
Menurutnya, BPK membutuhkan alokasi anggaran yang lebih besar untuk dapat menjalankan perannya dengan efektif, terutama dalam melakukan pemeriksaan terhadap entitas yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. “Tanpa anggaran yang memadai, BPK tidak bisa maksimal dalam menjalankan tugasnya, apalagi ketika harus menghadapi pemeriksaan yang bersifat kompleks dan melibatkan banyak entitas,” kata Eva.
Tak Ada Solusi
Eva Yuliana menghadapi pertanyaan kritis perihal efektivitas peran BPK. Anggota Komisi XI, Hendrawan Supratikno, mempertanyakan mengapa masih banyak temuan berulang dalam laporan BPK dan apakah masalah ini disebabkan oleh keterbatasan anggaran, kualitas sumber daya manusia (SDM), atau adanya desain kompromi yang membiarkan penyimpangan terus terjadi.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menyinggung munculnya sindiran predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) diberikan tanpa pemeriksaan mendalam, yang menjadi bahan cibiran di kalangan publik. "Ibu, sekarang ini kan muncul banyak gurauan atau semacam cibiran. Misalnya WTP, WTP wajar tanpa pemeriksaan, audit, aman untuk diterima. Jadi menurut Ibu, bagaimana untuk mengatasi data yang berdusta ini, ini kan masalahnya data," ujar Hendrawan.
Hendrawan juga menanyakan apakah temuan berulang ini merupakan akibat dari kurangnya anggaran dan kualitas SDM yang tidak memadai, atau justru bagian dari kompromi yang disengaja. "Apakah ini memang bagian dari desain untuk mencari kompromi? Misalnya, kami di BAKN di komisi melihat banyak sekali temuan-temuan yang berulang. Apakah tidak memandang dari perspektif yang lain? Penyimpangan dan temuan yang berulang ini memang sengaja dibiarkan karena negara tidak bisa memenuhi kesejahteraan aparaturnya," tanya Hendrawan.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Eva memberikan jawaban normatif. Ia mengakui adanya persoalan moralitas yang kerap menghinggapi oknum di berbagai lembaga, termasuk BPK. Eva pun tak memberikan jawaban spesifik yang solutif untuk menjawab pertanyaan Hendrawan tersebut.
Dia hanya menjawab bahwa dirinya berkomitmen untuk berupaya memperbaiki kondisi ini jika ia dipercaya menjadi anggota BPK. "Izinkan ketika nanti saya diridoi untuk menjadi anggota BPK bermitra dengan Bapak-Ibu sekalian, saya akan berupaya insyaallah akan berupaya bagaimana yang tadi diresahkan oleh Bapak-Bapak sekalian bisa terminimalisir dengan baik," katanya.
Dalam proses pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2024-2029, Komisi XI DPR RI akan menentukan lima nama yang terpilih. Sebelum mencapai tahap pemilihan di DPR, sebanyak 75 kandidat telah menjalani uji kelayakan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Meskipun para senator DPD telah memilih 10 kandidat yang dianggap terbaik, hasil seleksi tersebut tidak akan mempengaruhi proses fit and proper test di Komisi XI. DPR tetap akan menguji seluruh 75 kandidat dan memilih lima yang terbaik, meskipun hasilnya bisa berbeda dengan pilihan DPD.
Sejumlah anggota dan mantan anggota Komisi XI DPR turut mencoba peruntungan untuk menjadi anggota baru BPK. Selain Eva Yuliana, ada Mukhamad Misbakhun dari Partai Golkar, Fathan Subchi yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi XI DPR periode 2019-2024, serta Jon Erizal dari Partai Amanat Nasional yang pernah menjadi anggota Komisi XI pada periode 2014-2019. Politisi Golkar lainnya, Bobby Adhityo Rizaldi, juga masuk dalam daftar kandidat. Fathan, Misbakhun, dan Jon termasuk dalam 10 nama yang dipilih oleh DPD.
Selain itu, ada sejumlah politisi lain yang masuk dalam daftar kandidat, seperti Daniel Lumban Tobing dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasbi Anshory dari NasDem, dan Izhari Mawardi dari Golkar. Di sisi lain, beberapa kandidat non-politikus yang juga masuk dalam daftar pilihan DPD adalah Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan Budi Prijono, Akhsanul Khaq yang menjabat Auditor Utama I BPK, Laode Nusriadi yang merupakan Auditor Utama IV BPK, serta Hendra Susanto yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua BPK untuk periode 2023-2024.(*)