Logo
>

CELIOS: Data Kemiskinan BPS Tak Cerminkan Realita

BPS klaim kemiskinan turun, namun CELIOS menilai masih banyak rakyat berada di garis rentan dan data BPS tidak menggambarkan kondisi nyata di lapangan.

Ditulis oleh Dian Finka
CELIOS: Data Kemiskinan BPS Tak Cerminkan Realita
Ilustrasi perkampungan kumuh yang berada di Jakarta Pusat. (Foto: KabarBursa.com/Citra)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2025 mencapai 8,47 persen dari total populasi atau sekitar 23,8 juta jiwa. Angka tersebut memang menunjukkan penurunan tipis 0,1 persen poin dibandingkan September 2024.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai, penurunan angka kemiskinan tidak mencerminkan perbaikan signifikan dalam kesejahteraan masyarakat.

    "Sebagai negara berkembang dengan bonus demografi, penurunan kemiskinan secara gradual memang bukan hal mengejutkan. Tapi, capaian ini juga menandakan bahwa daya dorong untuk menurunkan kemiskinan makin terbatas," ujar Bhima dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Minggu, 27 Juli 2025.

    Bhima menyebut, di balik penurunan angka kemiskinan secara statistik, terdapat fenomena mobilitas sosial yang stagnan. Banyak masyarakat yang memang berhasil keluar dari garis kemiskinan. Namun, dalam waktu bersamaan muncul kelompok baru yang jatuh miskin kembali. Alhasil, net penurunan penduduk miskin jadi kecil.

    "Angka kemiskinan turun, tapi realitanya masih banyak masyarakat yang berada di garis rentan. Mereka mudah tergelincir kembali menjadi miskin begitu ada gejolak harga pangan, krisis kesehatan, atau kehilangan pekerjaan. Itu yang tidak ditangkap oleh data," tegas Bhima.

    Tak hanya itu, CELIOS menilai data resmi BPS tidak merepresentasikan kondisi riil masyarakat. Ketimpangan antara data domestik dan data internasional dianggap terlalu lebar untuk diabaikan.

    Bhima menyoroti temuan Bank Dunia yang menyatakan sebanyak 68,2 penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Jika dikonversi, artinya terdapat sekitar 194,4 juta jiwa masyarakat Indonesia yang hidup dengan pengeluaran di bawah USD 3,65 per hari.

    "Perbedaan angka ini terlalu mencolok. Jika kita hanya mengacu pada data BPS, maka potret kemiskinan kita terlihat jauh lebih ringan dari kenyataannya. Padahal laporan lembaga internasional menunjukkan hal sebaliknya," ungkapnya.

    Ia memperingatkan bahwa kelemahan dalam metodologi pengukuran berdampak langsung terhadap desain dan efektivitas kebijakan pemerintah. Ia mencontohkan sejumlah klaim keberhasilan pemerintah dalam program perlindungan sosial, bantuan pertanian, maupun hilirisasi industri, yang ternyata tidak banyak memengaruhi angka kemiskinan secara nyata.

    "Kalau kita terus pakai pendekatan garis kemiskinan yang lama, maka evaluasi terhadap program pemerintah pun jadi bias. Pemerintah merasa berhasil, padahal realitasnya masih banyak yang tercecer," ujarnya.

    Lebih lanjut, ia menyarankan pemerintah untuk meninjau ulang kerangka statistik nasional agar lebih adaptif terhadap dinamika ekonomi dan sosial.

    Data terbaru BPS memang menunjukkan tren penurunan angka kemiskinan, tapi hanya dalam skala yang sangat kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa langkah-langkah pengentasan kemiskinan yang selama ini dilakukan belum cukup kuat untuk menghasilkan perubahan struktural.

    "Kalau kita hanya puas dengan angka 0,1 persen poin turun, kita bisa kehilangan momentum. Padahal, kemiskinan adalah masalah yang harus dibereskan sebelum bonus demografi kita berubah jadi beban demografi," ujar Bhima.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.