KABARBURSA.COM - China semakin menunjukkan dominasinya dalam lanskap ekonomi global, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Eropa.
Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah pertemuan penting memperlihatkan bagaimana China aktif mempererat hubungan dagang dengan ASEAN dan Uni Eropa.
Langkah ini dinilai sebagai strategi jitu untuk mengisi kekosongan pengaruh ekonomi yang ditinggalkan Amerika Serikat (AS), terutama di bawah bayang-bayang kebijakan proteksionis mantan Presiden Donald Trump.
Menurut Rizal Taufikurahman, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), posisi China saat ini memang sedang “di atas angin” berkat kepiawaiannya mengelola tekanan geopolitik, termasuk dari AS.
“Trump kan terlalu ambil tidak banyak satu pertimbangan-pertimbangan untuk penguatan-penguatan di segi perdagangan kawasannya,” ujar Rizal dalam wawancara di acara Kabar Bursa Hari Ini, di kanal YouTube KabarBursaCom, dikutip Sabtu, 31 Mei 2025.
Ia menilai bahwa meskipun Trump sempat melakukan safari politik ke Timur Tengah dan berhasil mengantongi investasi, AS tetap kekurangan suntikan investasi atau hot money yang diperlukan untuk memperbaiki sektor industri yang stagnan selama dua dekade terakhir.
Sebaliknya, China justru dinilai mampu membangun jaringan pasar alternatif jauh sebelum tarif balasan (reciprocal tariff) AS diberlakukan. Diversifikasi pasar menjadi strategi utama Negeri Tirai Bambu dalam mengantisipasi isolasi ekonomi akibat ketegangan dengan Washington.
“China itu punya strategi diversifikasi market. Dan selama ini sebelum dilakukan persiprokal tarif oleh Amerika, China sudah membangun market sendiri. Ini market di Uni Eropa, kemudian di ASEAN, di Afrika,” ungkap Rizal.
Di ASEAN sendiri, dominasi China terlihat jelas dari data perdagangan. Sepanjang tahun 2024, ekspor negara-negara ASEAN ke China tumbuh sekitar 11 persen. Sementara porsi perdagangan antara China dan Uni Eropa tetap stabil di kisaran 16 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa ketegangan politik dengan Amerika tidak banyak berpengaruh terhadap stabilitas perdagangan China, terutama karena adanya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang tidak diikuti oleh AS.
“Kalau ada Amerika di situ, China pasti terganggu. Dan menunjukkan bahwa China memang betul-betul memanfaatkan kekosongan kepemimpinan Amerika ini di dalam integrasi ekonomi ASEAN,” jelas Rizal.
Di kawasan Eropa, hubungan dagang China dengan negara-negara besar seperti Jerman dan Prancis juga tetap terjaga. Bahkan Hungaria, salah satu anggota Uni Eropa, menunjukkan dukungan terbuka terhadap inisiatif Belt and Road (BRI) yang diusung China. Dukungan ini memberi sinyal bahwa pendekatan pragmatis dalam perdagangan lebih diminati dibanding keterlibatan dalam konflik geopolitik.
“Trump mungkin ingin sekali berniat membuat China tersudut, tapi ternyata justru malah mengambil posisi pragmatik yang lebih baik justru perdagangannya dengan China daripada terjebak dengan konflik geopolitik Amerika-China,” kata Rizal.
Ia menambahkan, banyak negara kini cenderung memilih fokus pada agenda ekonomi strategis mereka masing-masing, alih-alih terlibat dalam ketegangan politik.
“Artinya dia fokus saja dengan agenda-agenda strategis, kalau diganggu tanda kutip oleh kebijakan Amerika-China, dia melakukan upaya-upaya yang jauh lebih realistis untuk memperbaiki kinerja perdagangan dan ekspor di dalam negeri,” ujarnya.
Dengan demikian, pergeseran poros kekuatan ekonomi global tampaknya terus berlanjut. China memanfaatkan dengan cermat dinamika geopolitik yang berkembang, sementara AS tampak tertinggal dalam membangun koneksi ekonomi yang solid, khususnya di kawasan Asia Tenggara dan Eropa.
Di tengah kekosongan inisiatif global dari Washington, Beijing justru memantapkan langkahnya sebagai kekuatan ekonomi yang diperhitungkan dunia. (*)