KABARBURSA.COM - Konflik pengaruh ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan China tak hanya menjadi isu global, tetapi juga berdampak langsung pada arah kebijakan dan peluang ekonomi di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Di satu sisi, AS dengan gaya politik konfrontatifnya mencoba menekan lawan melalui ancaman tarif dan pernyataan keras. Di sisi lain, China menunjukkan pola kepemimpinan yang tenang, namun penuh perhitungan strategis, menghindari retorika emosional dan memilih jalur kebijakan jangka panjang.
Rizal Taufikurahman, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menilai bahwa gaya kepemimpinan ekonomi Donald Trump cenderung frontal dan spekulatif.
“Trump itu kan dari semenjak jadi Presiden Amerika ya di era pertama, yang kedua juga kan. Modelnya kan memang bluff gitu ya, heboh gitu dan juga bluff,” ujar Rizal dalam Dialog Analis program Kabar Bursa Hari Ini di kanal YouTube KabarBursaCom.
Menurut Rizal, strategi Trump itu lebih condong pada pendekatan ‘tembak dulu, cek belakangan’, termasuk dalam kebijakan ekonomi. Ia mencontohkan bahwa bahkan isu-isu seperti Golden Dome pun dimanfaatkan dalam tekanan politik dan militer, yang ujungnya bisa mengguncang sentimen pasar.
Sebaliknya, China memilih jalur yang lebih senyap dan tidak terpancing untuk membalas melalui diksi-diksi atau tekanan kekuatan. “China tidak ingin merespons itu dengan kekuatan atau juga diksi-diksi penyerangan terhadap statement dari Trump gitu ya. Yang notabene itu kontraproduktif,” katanya.
Alih-alih konfrontatif, China membuktikan responsnya lewat berbagai inovasi dan kebijakan strategis di bidang industri, teknologi, dan perdagangan luar negeri.
“Ini pembuktian, bukan pembuktian teriakan-teriakan, tapi justru strategis dengan melakukan berbagai implementasi dari sebuah kebijakan-kebijakan yang strategis,” ujar Rizal.
Pendekatan seperti inilah yang menurut Rizal justru memperbesar peluang China untuk tampil sebagai kekuatan dominan di ekonomi global, terutama dalam jangka panjang. “China punya strategi yang sangat strategis, terutama untuk mempersiapkan China untuk jangka panjang,” jelasnya.
Bahkan, menurut Rizal, dominasi AS dalam ekonomi dunia semakin menipis. “Sebenarnya ekonomi global atau perdagangan global itu kan hanya 17 persen oleh Amerika,” ungkapnya.
Dampak Strategi China terhadap Ekonomi Indonesia
Di tengah dinamika dua kekuatan ekonomi dunia ini, Indonesia menempati posisi penting sebagai mitra dagang utama China di Asia Tenggara. Strategi jangka panjang China yang menolak konfrontasi dan memilih kolaborasi membuka ruang bagi Indonesia untuk terus memperkuat kerja sama perdagangan, investasi, hingga pembangunan infrastruktur lewat skema seperti Belt and Road Initiative (BRI).
“Apalagi ditambah dengan Indonesia, kemudian juga negara-negara ASEAN lain,” ujar Rizal dalam pernyataannya sebelumnya yang merujuk pada strategi diversifikasi pasar China ke kawasan ASEAN.
Pendekatan ini, sambungnya, membuat hubungan ekonomi China–Indonesia menjadi lebih stabil dibanding dengan negara-negara yang terjebak dalam tensi geopolitik AS–China.
Bagi Indonesia, stabilitas ini penting untuk menjaga iklim investasi dan ekspor yang terus tumbuh. Saat AS menyusutkan perannya dalam kerja sama ekonomi regional seperti RCEP, justru peluang Indonesia memperluas ekspor dan investasi dengan China menjadi lebih besar. Tidak hanya sebagai pasar, Indonesia berpeluang menjadi simpul produksi kawasan dalam rantai pasok yang dibangun China.
Dengan demikian, strategi tenang dan kolaboratif China tidak hanya memberi keuntungan jangka panjang bagi Beijing, tetapi juga menghadirkan peluang strategis bagi negara mitra seperti Indonesia.
Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia, khususnya pelaku usaha dan pembuat kebijakan, perlu jeli membaca arah perubahan ini untuk mengamankan manfaat maksimal di tengah dinamika global yang semakin kompleks. (*)