KABARBURSA.COM – Pemerintah China memberi sinyal akan meluncurkan paket kebijakan besar-besaran demi menahan tekanan ekonomi yang kian berat akibat perang dagang jilid dua dengan Amerika Serikat. Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Ahad, 20 April 2025, Wakil tertinggi pemerintahan, Perdana Menteri Li Qiang, mendorong otoritas untuk “berani keluar dari pakem” dan bertindak cepat untuk mengembalikan kepercayaan pasar.
Pernyataan ini disampaikan dalam rapat kabinet pada Kamis, sehari setelah data resmi menunjukkan ekonomi China tumbuh di atas ekspektasi pada kuartal pertama. Namun, banyak ekonom menilai data tersebut belum cukup meyakinkan, mengingat tarif impor AS terhadap China telah meroket hingga 145 persen di periode kedua kepemimpinan Donald Trump.
Pada Jumat pekan lalu, Li kembali memimpin pertemuan lanjutan bersama jajarannya untuk merumuskan kebijakan stabilisasi perdagangan dan lapangan kerja. Dalam pernyataannya, pejabat tinggi China berkomitmen memperkuat langkah kontra-siklus di tengah situasi eksternal yang “rumit dan keras”.
Pemerintah juga berjanji akan meningkatkan dukungan terhadap pasar saham dan properti, serta mendorong konsumsi masyarakat lewat sektor jasa, termasuk pariwisata, budaya, hingga layanan lansia dan anak. Di hari yang sama, Kementerian Perdagangan China menerbitkan rencana pembukaan sektor jasa seperti kesehatan dan telekomunikasi untuk menarik lebih banyak investasi asing.
Ancaman Resesi, Harapan pada Stimulus
Pekan ini, sejumlah lembaga keuangan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China. UBS, misalnya, menurunkan prediksi pertumbuhan menjadi 3,4 persen—jauh dari target resmi pemerintah sekitar 5 persen. Semua mata kini tertuju pada apakah dua raksasa ekonomi dunia itu akan mencapai kesepakatan dagang, menyusul dimulainya dialog antara AS dan negara-negara mitra dagang.
Trump sendiri menyatakan optimisme bahwa kesepakatan dengan China bisa tercapai dalam tiga hingga empat minggu. Namun, ia menolak menyebut apakah dirinya telah berbicara langsung dengan Presiden Xi Jinping. Trump juga mengisyaratkan bahwa ia mungkin tidak akan menaikkan tarif lagi, dengan alasan “orang tidak akan beli produk di AS” jika harganya terus naik.
Sementara itu, Beijing menyebut bahwa mereka tidak akan membalas dengan kenaikan tarif tambahan, menyebut langkah seperti itu sekadar “permainan angka” yang tidak bermakna secara ekonomi.
Seiring langkah AS untuk membatasi akses China terhadap chip canggih dan mengenakan biaya tambahan pada kapal-kapal Tiongkok, sorotan kini tertuju pada respons balasan China. Apakah Beijing akan memilih jalur non-tarif sebagai taktik balasan?
Pertemuan Partai Komunis China akhir April nanti disebut-sebut akan menjadi ajang peluncuran stimulus ekonomi besar-besaran. Karena pelonggaran moneter dibatasi oleh stabilitas kurs dan margin tipis bank, analis memprediksi strategi fiskal akan menjadi senjata utama.
UBS memperkirakan pemerintah akan menerbitkan utang tambahan senilai 1,5 hingga 2 persen dari total produk domestik bruto (PDB) pada paruh kedua tahun ini. Selain itu, reformasi sektor properti—khususnya upaya mengurangi stok perumahan—masih dianggap krusial untuk menjaga stabilitas ekonomi Negeri Tirai Bambu.
Harapan Damai di Tengah Ketegangan Perdagangan
Meski Trump menyuarakan optimisme soal kesepakatan, kondisi ekonomi China justru mengisyaratkan kegentingan yang mendorong pemerintahnya untuk mengambil langkah luar biasa demi menjaga stabilitas pasar dan meredam dampak tarif.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkapkan rasa percaya diri bahwa kesepakatan dagang dengan China akan segera tercapai, meskipun ia tak memberikan rincian waktu ataupun bentuk negosiasi yang akan ditempuh oleh dua kekuatan ekonomi global tersebut.
“Menurut saya, kita akan menyepakati kesepakatan yang sangat baik dengan China,” ujarnya di Gedung Putih, Kamis, 17 April 2025, menanggapi pertanyaan wartawan terkait apakah dirinya sudah menghubungi Presiden Xi Jinping. Jawaban itu muncul di tengah ketegangan perdagangan yang belum menunjukkan tanda mereda.
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan China menyerukan agar AS menghentikan tekanan ekonomi yang berlebihan dan menegaskan perlunya sikap saling menghormati jika keduanya ingin melanjutkan perundingan. Namun, siapa yang akan memulai langkah diplomatik masih belum jelas hingga kini.
Trump sendiri sempat memberi kelonggaran terhadap tarif bagi sejumlah mitra dagang, tetapi kebijakan bea masuk tinggi untuk produk-produk asal China tetap diberlakukan, dengan total tarif gabungan yang mencapai 145 persen.
Situasi ini terus membayangi sentimen pasar global. Para pelaku usaha dan investor pun masih menanti apakah ucapan Trump sekadar manuver politik atau akan ditindaklanjuti dengan upaya nyata untuk meredakan konflik dagang tersebut.
Pernyataan Trump yang menyebut akan ada “kesepakatan dagang yang sangat bagus” dengan China mungkin terdengar menjanjikan di permukaan. Tapi buat investor — terutama yang aktif di pasar negara berkembang seperti Indonesia — ini justru alarm baru bahwa ketidakpastian belum akan mereda.
Pasalnya, di saat ucapan optimistis itu dilontarkan dari Gedung Putih, kebijakan tarif impor AS terhadap barang-barang dari China tetap berlaku, bahkan mencapai total 145 persen. Sementara itu, pihak China juga belum menunjukkan gestur konkret untuk kembali duduk di meja perundingan. Artinya, investor menghadapi dua hal sekaligus: harapan politik dan realitas proteksionisme.
Dalam konteks ini, teori Policy Uncertainty (Handley, 2011) menjadi pisau analisis yang relevan. Ketika arah kebijakan perdagangan tidak jelas — apakah ingin negosiasi ulang, relaksasi tarif, atau justru pengetatan lebih lanjut — pelaku usaha cenderung menunda ekspansi, dan investor menahan diri untuk masuk ke sektor yang rentan terhadap risiko global.
Bagi Indonesia, yang memiliki eksposur ekspor cukup besar ke pasar Tiongkok maupun mitra dagang sekunder yang terdampak oleh ketegangan ini, ketidakpastian arah kebijakan AS-China bisa membuat investor berpikir dua kali sebelum menambah posisi di sektor manufaktur, komoditas, atau logistik ekspor.(*)