KABARBURSA.COM – Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal, mengungkapkan sejumlah tantangan yang perlu dihadapi dalam implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang akan dimulai pada Januari 2025.
Menurut Faisal, meskipun program ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi siswa, ada sejumlah hal yang harus dipersiapkan dengan matang agar tujuan program ini tercapai secara efektif.
Faisal menyoroti pentingnya perencanaan yang matang mengenai modalitas distribusi makanan bergizi tersebut, khususnya dalam hal cara penyediaan dan pemasokan bahan baku yang akan digunakan.
Salah satu model yang saat ini dipertimbangkan adalah sistem dapur umum sentral, yang memungkinkan makanan dibagikan secara merata ke sekolah-sekolah. Namun, Faisal mengingatkan bahwa fokus tidak hanya harus pada distribusi makanan, tetapi juga bagaimana makanan tersebut bisa memberikan manfaat bagi ekonomi lokal.
“Jangan hanya melihat distribusi makanan yang lancar, tetapi juga dampaknya pada pemasok lokal, terutama UMKM. Jika bahan baku makanan banyak berasal dari luar daerah atau luar negeri, ini akan mengurangi dampak positif terhadap perekonomian lokal dan multiplier effect-nya,” ujar Faisal dalam diskusi CORE Media Discussion (CMD) di Gedung CORE Indonesia, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, 18 Desember 2024.
Faisal juga menekankan pentingnya persiapan yang matang terkait dengan kualitas makanan yang diberikan kepada siswa. Ia mencatat, salah satu tantangan yang perlu diantisipasi adalah potensi food waste, atau pemborosan makanan, yang sering terjadi karena ketidaksesuaian menu dengan selera dan preferensi anak-anak sekolah.
Sebagai contoh, ketika menu makanan tidak sesuai dengan keinginan mereka, seperti sayuran yang tidak diminati, maka makanan tersebut bisa terbuang percuma.
“Edukasi kepada para penerima manfaat, dalam hal ini siswa, sangat penting. Jika mereka tidak mengerti pentingnya makanan bergizi, seperti sayuran, maka kita akan menghadapi masalah besar berupa food waste,” terang Faisal.
Selain itu, Faisal juga mempertanyakan apakah anggaran yang dialokasikan untuk program MBG, yang diperkirakan mencapai Rp799 juta per hari, sudah cukup memadai mengingat banyaknya faktor yang perlu dipertimbangkan.
Ia menyoroti bahwa harga Rp10.000 per porsi makanan mungkin tidak cukup di beberapa daerah, terutama di luar Jawa, yang memiliki biaya hidup lebih tinggi.
“Rp10.000 untuk satu porsi makanan sudah sangat tipis, terutama di luar Jawa. Jika anggaran ini dipaksakan, bisa berisiko menurunkan kualitas makanan yang diberikan. Ini harus menjadi perhatian besar,” tambah Faisal.
Faisal juga mengusulkan agar pemerintah menggali potensi pembiayaan lain, selain hanya mengandalkan APBN. Salah satu alternatif yang bisa dieksplorasi adalah partisipasi korporasi melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan melibatkan sektor swasta, diharapkan dapat meningkatkan nilai manfaat program ini tanpa membebani anggaran negara.
“Pemerintah sebaiknya tidak hanya bergantung pada APBN. Jika bisa melibatkan CSR atau skema pembiayaan lain, itu akan sangat membantu dan sesuai dengan keinginan pemerintah untuk menjaga agar beban APBN tidak terlalu berat,” tambah peneliti yang tengah mengenakan batik berwarna krem-cokelat.
Untuk memastikan keberhasilan program ini, Faisal menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, serta perencanaan yang matang dalam hal distribusi, kualitas makanan, dan keberlanjutan program.
"Jika semua ini dipersiapkan dengan baik, maka program Makan Bergizi Gratis dapat membawa dampak yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya anak-anak sekolah," pungkasnya.
Alokasi Anggaran MBG Rp10.000
Pemerintah memangkas anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG), dari Rp15.000 per porsi per hari menjadi Rp10.000. Langkah itu dilakukan lantaran anggaran pemerintah yang terbatas. Akan tetapi, pemangkasan anggaran dianggap akan menimbulkan persoalan baru ke depan.
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian menuturkan, Rp10.000 per porsi MBG sejatinya tidak menjadi soal ihwal menu pilihan. Akan tetapi, besaran anggaran tidak termasuk ke dalam biaya lainnya, seperti distribusi, pemeliharaan dapur, dan biaya lain yang mendukung produksi.
Sementara untuk produksi di dapur sentral, tutur Eliza, besaran anggaran Rp10.000 akan sulit dijalankan kendati melibatkan UMKM eksisting lantaran biaya tersebut tidak termasuk ke dalam layanan pengantaran dan pengelolaan bahan baku.
“Dengan harga Rp10.000 per porsi, kreasi menu yang disukai anak dan memenuhi gizi seimbang ini akan semakin terbatas. Dapur makin pusing kombinasi sayuran dan buahnya,” kata Eliza saat dihubungi KabarBursa.com, Minggu, 1 Desember 2024.
Di samping itu, ada indikasi pemborosan anggaran. Berdasarkan evaluasi implementasi MBG di lapangan, Eliza mengaku kerap menemui anak-anak yang tidak menyukai susu sapi dengan rasa original. “Akhirnya susu banyak yang tidak diminum dan diberikann ke temennya yang mau menampung susu tersebut. Jangan sampai niat mulia pemerintah ingin meningkatkan gizi tidak tercapai karena hal hal tersebut. Ini terjadi pemborosan anggaran saja jadinya,” ungkap Eliza.
Untuk memastikan program MBG tepat sasaran dan menu yang disajikan diterima, Eliza menilai pemerintah perlu melakukan reformulasi menu pemenuhan gizi, khususnya tentang penyediaan susu. Hal ini tidak saja dilakukan sebagai upaya menekan anggaran, melainkan juga menciptakan kreasi menu sesuai yang disukai anak.
“Jangan sampai harga ditekan semurah mungkin, dapur semakin terbatas berkreasi menu yang disukai anak dan memenuhi standar gizi,” jelasnya.
Eliza menilai, besar kemungkinan menu MBG mengandalkan olahan telur. Sementara sajian menu sepanjang program MBG dianggarkan Rp15.000 per porsi, masih mengandung aneka olahan daging dengan skema subsidi silang.
“Jika melibatkan UMKM dengan porsi Rp10.000, maka menu yang paling banyak dibuat ada olahan aneka telor. Selama ini dengan Rp15.000, UMKM dalam 1 minggu membuat menu 2 kali ayam, 1 kali telur, 1 kali ikan dan 1 kali daging sapi. Mereka melakukan subsidi silang untuk bisa membuat menu mingguan tersebut,” ungkapnya.
Sementara saat ini, tutur Eliza, Badan Gizi Nasional (BGN) dengan tiga skema penyaluran MBG, yakni central kitchen, dapur sekolah, dan vendor UMKM. Jika Rp10.000 anggaran MBG per porsi, ia produksi hanya cocok diterapkan dengan skema pertama yang memproduksi 3000-4000 porsi.
Akan tetapi, Elzia menilai, skema tersebut kurang mengoptimalkan multipplier effect terhadap UMKM. Padahal, kata dia, UMKM lokal menjadi penggerak roda perekonomian. “Karena skala produksinya yang kecil, maksimal 300 porsi ini, mereka dengan mudah menerima bahan baku dari petani, peternak, dan nelayan lokal,” ungkapnya. (*)