Logo
>

COVID-19 Tinggalkan Luka Finansial: Garuda Belum Pulih dari Krisis Armada

Penggunaan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp7,5 triliun yang tidak sepenuhnya difokuskan.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
COVID-19 Tinggalkan Luka Finansial: Garuda Belum Pulih dari Krisis Armada
Pesawat Garuda Indonesia, perusahaan pelat merah dan emiten berkode saham GIAA di sebuah landasan pacu bandara. (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute, Achmad Yunus menyoroti akar permasalahan utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk ahingga kini masih menghadapi keterbatasan dalam mengoperasikan armadanya secara penuh.

Ia menilai, persoalan tersebut bermula dari dampak pandemi COVID-19 yang memaksa perusahaan melakukan grounding terhadap banyak pesawat, sementara kewajiban sewa tetap berjalan.

“COVID-19 sangat berdampak pada bisnis GIA. Saat itu memaksa Garuda melakukan grounding terhadap pesawat-pesawatnya, sementara argo sewa pesawat tetap harus jalan,” ujarnya kepada KabarBursa.com dikutip Senin, 26 Mei 2025.

Dalam proses PKPU, akhirnya disepakati bahwa pembayaran sewa hanya dilakukan untuk pesawat yang benar-benar digunakan.

Saat ini, emiten berkode saham GIAA ini tercatat memiliki total 73 unit pesawat, terdiri atas 43 unit Boeing 737 NG (38 beroperasi dan 5 dalam perawatan), 22 unit Airbus A330 (12 beroperasi dan 10 dalam perawatan), serta 8 unit Boeing 777 (6 beroperasi dan 2 dalam perawatan). Total pesawat yang aktif beroperasi sebanyak 56 unit, sementara 17 unit masih menjalani heavy maintenance.

Yunus menyayangkan penggunaan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp7,5 triliun yang tidak sepenuhnya difokuskan untuk menghidupkan kembali pesawat yang di-grounding. “Padahal, tidak ada jalan lain menyelamatkan Garuda selain menambah jumlah pesawat yang beroperasi. Namun, Dirut Irfan Setiaputra saat itu malah menggunakan sebagian dana untuk membayar sukuk yang jatuh temponya masih tahun 2031,” ujarnya. Ia menilai langkah tersebut akan menjadi bom waktu keuangan di masa depan.

“Yang dibutuhkan Garuda sekarang bukan beli pesawat baru, tapi modal kerja untuk menghidupkan kembali pesawat yang grounded,” tegas Yunus.

Terkait rencana pembelian 50 unit Boeing 737 Max, Yunus mempertanyakan apakah slot produksi tersebut langsung dari Boeing atau mengambil jatah milik maskapai lain seperti Lion Air yang telah lebih dahulu memesan. Ia juga mengingatkan bahwa efisiensi operasional harus menjadi pertimbangan utama dalam memilih jenis pesawat.

“Boeing 737 konsumsi bahan bakarnya lebih tinggi dibanding Airbus 320, yang mesinnya lebih efisien dan saat ini dipakai banyak oleh Citilink, anak usaha Garuda,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa akuisisi armada harus selaras dengan kebutuhan pasar. “Kalau beli Boeing 737 yang narrow body, berarti sasarannya adalah pasar domestik. Padahal pasar utama Garuda adalah ASN untuk perjalanan dinas, yang sekarang tengah ditekan untuk efisiensi,” tambahnya.

Dengan kondisi armada aktif yang terbatas, Garuda Indonesia kini dihadapkan pada pilihan strategis: memperkuat kapasitas operasional atau menghadapi stagnasi pemulihan. Langkah ke depan akan sangat menentukan kelanjutan transformasi maskapai pelat merah ini.

Diberitakan sebelumnya, Rencana pembelian 50 unit Boeing 737 Max 8 oleh Garuda Indonesia di tengah situasi keuangan yang masih rapuh dinilai berisiko tinggi. 

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sebelumnya menyebut bahwa pembelian ini merupakan bagian dari kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat. Namun, pengamat BUMN Herry Gunawan menilai langkah ini justru bisa mengorbankan kelangsungan usaha Garuda.

“Soal rencana pembelian pesawat dari Amerika itu, sama saja dengan mengorbankan Garuda Indonesia yang saat ini sedang punya masalah serius di keuangan,” kata Herry kepada Kabarbursa.com, Kamis, 22 Mei 2025.

Ia khawatir para kreditur yang sebelumnya menyetujui restrukturisasi utang bisa menarik dukungan jika melihat Garuda kembali belanja modal dalam jumlah besar.

Menurut Herry, diplomasi dagang memang penting, tapi tidak seharusnya menimbulkan konsekuensi yang membahayakan sektor strategis. “Kalau pembelian Boeing ini bagian dari janji dalam negosiasi, jelas ini kebijakan yang berisiko tinggi. Garuda bisa kolaps,” ujarnya. 

Ia juga mengingatkan bahwa bisa saja bank BUMN atau Danantara harus turun tangan untuk menutup kerugian, dan itu berpotensi membebani keuangan negara.

Herry mengkritik indikasi intervensi pemegang saham terhadap manajemen. Ia menilai keputusan besar seperti pembelian pesawat cenderung datang dari atas, bukan dari kalkulasi manajerial internal. 

“Tentu ini bukan kuasa manajemen. Kalau pemegang saham memerintahkan, ya harus patuh,” katanya.

Melihat struktur keuangan Garuda, Herry mengungkapkan bahwa sekitar 60 persen dari total liabilitas yang mencapai USD7,9 miliar berasal dari kewajiban sewa serta estimasi biaya pengembalian dan perawatan armada. Dengan beban sebesar itu, ia menilai Garuda sangat rentan jika dibebani utang tambahan.

Herry menekankan bahwa prioritas utama seharusnya adalah memperbaiki struktur keuangan, bukan ekspansi. Ia mengingatkan bahwa meskipun sempat melalui restrukturisasi 2021–2023, Garuda masih memiliki ekuitas negatif dan belum membagikan dividen selama lebih dari satu dekade. 

“Dengan fundamental yang seperti ini, keputusan pembelian armada baru seharusnya dikaji lebih dalam,” tutupnya.

Kinerja Keuangan Garuda Indonesia (GIAA)

Garuda Indonesia menutup tahun buku 2024 dengan kondisi keuangan yang masih terbebani tekanan historis. Emiten berkode saham GIAA ini membukukan rugi bersih sebesar USD69,77 juta sepanjang 2024, setelah pada tahun sebelumnya sempat mencatatkan laba bersih senilai USD251,99 juta.

Pembalikan kinerja ini terutama disebabkan oleh membengkaknya beban keuangan dan tekanan dari pos beban lainnya yang mencapai USD2,71 miliar, naik signifikan dari USD2,31 miliar pada 2023.

Meski mencetak pendapatan usaha sebesar USD3,42 miliar, naik dari USD2,94 miliar pada 2023, kenaikan ini tidak cukup untuk menahan lonjakan biaya yang merusak margin keuntungan.

Kondisi neraca Garuda juga menunjukkan situasi yang belum sepenuhnya pulih. Total liabilitas per 31 Desember 2024 mencapai USD8,01 miliar, sedikit menurun dibanding akhir 2023. Namun, posisi ekuitas perusahaan tetap berada di zona negatif, yakni sebesar minus USD1,35 miliar, mengindikasikan bahwa beban utang masih jauh melampaui aset bersih perusahaan.

Hingga akhir 2024, total aset konsolidasian tercatat sebesar USD6,62 miliar, yang terdiri dari aset lancar senilai USD553,9 juta dan aset tidak lancar senilai USD6,06 miliar.

Memasuki tiga bulan pertama 2025, tekanan keuangan Garuda belum menunjukkan tanda perbaikan berarti.

Pada kuartal I 2025, perseroan mencatatkan rugi bersih sebesar USD75,93 juta, memburuk dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD86,82 juta. Rugi komprehensif juga melebar menjadi USD78,69 juta, mencerminkan kerugian dari perbedaan kurs penjabaran dan pos penghasilan komprehensif lainnya.

Di sisi top line, Garuda masih mampu mencetak pendapatan usaha sebesar USD723,56 juta, naik tipis dari USD711,98 juta pada kuartal I 2024.

Namun, upaya efisiensi operasional tampaknya belum cukup meredam tekanan dari sisi pembiayaan. Beban bunga dan keuangan tetap tinggi, mencapai USD124,57 juta hanya dalam tiga bulan pertama. Beban lainnya juga tercatat besar, yakni USD630,4 juta, mendominasi struktur pengeluaran perusahaan.

Per 31 Maret 2025, total liabilitas Garuda berada di angka USD7,89 miliar, dengan ekuitas tetap negatif USD1,43 miliar, menandakan bahwa maskapai pelat merah ini masih terjebak dalam posisi insolvensi teknikal. (*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Desty Luthfiani

Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".