KABARBURSA.COM - Demokrasi mahal di Indonesia disebut menjadi salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi. Akademisi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengungkapkan bahwa ajang Pilpres dan Pileg kerap menjadi ladang pencucian uang berskala besar, dengan total dana yang tidak jelas asal-usulnya mencapai Rp140 triliun.
"Pilpres dan Pileg di Indonesia sering kali menjadi ajang money laundering terbesar, dengan dana besar yang tidak jelas asal-usulnya. Demokrasi yang mahal ini justru menciptakan ekonomi biaya tinggi hingga mencapai Rp140 triliun" jelasnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat 6 Desember 2024.
Fenomena ini, menurutnya, tak hanya membebani keuangan negara tetapi juga menciptakan risiko ekonomi biaya tinggi (high-cost economy). Sistem politik yang mahal membuka peluang bagi para pemodal untuk meminta imbalan kebijakan yang menguntungkan mereka, mengorbankan kepentingan publik.
"Sistem politik yang terlalu mahal pada akhirnya membuka celah bagi investor untuk meminta imbalan berupa kebijakan yang berpihak pada mereka" ujar Wijayanto.
Wijayanto juga menggarisbawahi bahwa rumus korupsi yang sering digunakan, yaitu corruption = discretion + monopoly - accountability, tidak sepenuhnya relevan dalam konteks Indonesia. Menurutnya, di Indonesia, politik dan bisnis memiliki keterkaitan yang begitu erat sehingga menciptakan dinamika yang berbeda dari teori tersebut.
"Di Indonesia, demokrasi cenderung terkonsentrasi pada eksekutif. Dengan delapan pimpinan partai politik yang menjadi anggota kabinet, sidang kabinet hampir menyerupai pleno DPR" tambahnya.
Skema Merger Dan akuisisi
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) berkolaborasi dan semakin meningkatkan relasi kemitraan kerja dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam penanganan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang (TPPU), termasuk di antaranya melalui skema merger dan akuisisi usaha.
Kedua lembaga juga sepakat untuk meningkatkan koordinasi dalam penegakan hukum persaingan usaha dan pengawasan kemitraan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Pelaksanaan tugas KPPU sangat berkaitan dengan PPATK, khususnya dalam hal pembuktian kartel atau persekongkolan melalui aliran dana perusahaan, merger dan akuisisi maupun penguasaan pasar yang mengarah pada tindak pidana pencucian uang, penentuan besaran denda, hingga pada pelanggaran kemitraan UMKM,” ujar Ketua KPPU M Fanshurullah Asa dalam keterangan resminya, dikutip Rabu 17 April 2024.
Adapun, pembahasan isu tersebut mengemuka saat kedua lembaga melalukan pertemuan pada 13 Maret lalu, yang dihadiri oleh Ketua KPPU dan Ketua PPATK, dan pejabat tinggi terkait di kantor PPATK.
Dalam pertemuan itu, KPPU dan PPATK sepakat bahwa isu TPPU sangat berkaitan dengan pelanggaran hukum persaingan usaha.
Dalam kaitan itu, kedua lembaga menilai perlu untuk makin intensif dalam berdiskusi atau melaksanakan kajian guna mendeteksi potensi tindak pidana tersebut dalam memengaruhi persaingan bisnis di pasar, khususnya berkaitan dengan transaksi merger dan akuisisi.
“Transaksi akuisisi oleh perusahaan dapat digunakan sebagai sarana untuk pencucian uang. Jadi, penting bagi KPPU untuk mengetahui penerima manfaat dari suatu transaksi,” tegas Ketua PPATK Ivan Yustiavandana.
Ketua KPPU Fanshurullah Asa mengatakan, sejatinya, kerja sama formal antara pihaknya dan PPATK telah terjalin sejak 2010. Sejak saat itu, dia bilang kedua lembaga telah melakukan berbagai kegiatan pertukaran informasi, khususnya dalam proses pembuktian dan eksekusi atas Putusan KPPU.
Dalam proses penindakan itu, kata Asa, pihaknya meminta bantuan dari segala lini, termasuk PPATK sebagai lembaga yang mempunyai wewenang dalam hal analisis transaksi keuangan dan laporan transaksi keuangan.
Ke depan, kerja sama tersebut juga akan diperkuat di bidang penegakan hukum, diskusi atau penelitian terkait hubungan tindak pidana pencucian uang dan persaingan usaha, pengawasan kemitraan, sharing knowledge, maupun pelatihan bersama, khususnya dalam mendukung prioritas KPPU.
“Kami berharap PPATK dapat membantu KPPU untuk melakukan proses penegakan hukum lebih dalam lagi, utamanya pada sektor-sektor seperti tender, digital, energi, pangan, dan e-commerce,” ujar Asa.(*)