KABARBURSA.COM - Anggota komisi IV DPR RI Riyono mendesak pemerintah untuk bisa memberikan insentif bagi petani, nelayan dan peternak yang terkena imbas akibat pengesahan UU Perpajakan yang dilakukan pemerintah.
Adapun menurutnya petani dan nelayan, rakyat di pantai dan desa akan semakin banyak yang masuk kategori dari rentan miskin menjadi miskin. Kebijakan yang tidak adil kepada rakyat di saat kondisi pandemi belum pulih.
“Pengesahan kenaikan PPN 11 persen di tahun 2022 dan 12 persen di tahun 2025 akan memicu kenaikan harga dan tentu rakyat kecil, petani, nelayan peternak akan menjadi paling terdepan kena dampaknya” papar Riyono dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 20 November 2024.
Selain PPN yang dikenakan kepada masyarakat, sebelumnya mantan Presiden Jokowi juga mengesahkan PP 85 Tahun 2021 tentang PNBP di sektor kelautan dan perikanan, yang turut menyasar nelayan kecil dengan kapal berkapasitas 5 GT, yang dikenakan tarif 5 persen.
Dengan demikian, nelayan sebagai warga negara akan dikenakan PPN 11 persen saat berbelanja dan 5 persen atas hasil tangkapan mereka.
Lanjutnya, total pajak yang harus mereka bayar mencapai 16 persen, yang akan semakin menyulitkan mereka untuk pulih dari dampak pandemi.
Ditambah lagi dengan kenaikan harga pakan untuk para peternak, di mana kenaikan PPN 11 persen dapat mendorong produsen pakan untuk menaikkan harga hingga 5 persen. Ini benar-benar menjadi bencana bagi sektor perikanan, pertanian, dan peternakan.
“Kenaikan pungutan pajak ini bertentangan dengan spirit ekonomi Pancasila yang bercorak kerakyatan dan keadilan. Harusnya pemerintah memberikan insentif bagi petani, nelayan dan peternak agar usaha mereka maju. Ini justru disinsentif yang bisa membuat mereka tambah miskin, kenaikan pajak membuat daya beli semakin turun dan mengancam pertumbuhan ekonomi nasional,” tambah Riyono.
Sementara data BPS 2018 mencatat bahwa persentase nelayan miskin berkisar antara 20-40 persen. Sementara itu, menurut data BPS 2020, terjadi peningkatan jumlah orang miskin di pedesaan, dengan angka sebesar 12,60 persen pada September 2019, yang kemudian meningkat menjadi 12,82 persen pada Maret 2020. Hal ini menunjukkan bahwa para petani dan nelayan di daerah pesisir semakin terpuruk.
Kemudian BPS 2020 juga melaporkan kenaikan jumlah penduduk miskin pada September 2020, yang sebagian besar terjadi di pedesaan, mencapai 13,20 persen, sementara di perkotaan hanya sebesar 7,88 persen.
“Negara membuat miskin rakyatnya dengan menaikan pajak, petani nelayan peternak akan semakin susah. Kenaikan orang miskin 13.20 persen harusnya menyadarkan pemerintah bahwa kebijakannya salah. Kenapa terus dilakukan? bukan menambah sejahtera, justru menambah miskin rakyatnya,” tutup Riyono
Harga Barang dan Jasa Naik akibat PPN Jadi 12 Persen
Pemerintah berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Alasannya, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita mengungkapkan bahwa kenaikan PPN ini akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa, terutama pada sektor makanan dan minuman.
“Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dipastikan akan mengerek harga barang dan jasa, biasanya minimal sebesar kenaikan PPN itu sendiri,” kata Ronny.
Kenaikan harga ini dipicu oleh kebijakan perusahaan yang cenderung akan membebankan tambahan biaya PPN kepada konsumen, karena mereka biasanya enggan menanggung kenaikan tersebut sendiri.
“Perusahaan umumnya tidak akan bersedia menanggung beban kenaikan PPN ini,” ujarnya.
Akibatnya, masyarakat, khususnya kelas menengah, yang sudah mengalami penurunan daya beli dalam dua tahun terakhir, akan semakin terdampak.
“Dampaknya akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, meski yang paling merasakan tentu kelas menengah,” ungkap Ronny.
Dia menambahkan, dengan semakin menurunnya daya beli, masyarakat cenderung mengurangi konsumsi, yang pada gilirannya akan menurunkan permintaan pasar.
Penurunan permintaan ini akan berdampak pada produksi perusahaan, yang bisa saja berujung pada pengurangan tenaga kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kelas Menengah Makan dari Tabungan
Fenomena kelas menengah yang mulai “memakan” tabungannya untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin marak.
Berdasarkan data terbaru dari Bank Indonesia (BI), proporsi tabungan masyarakat terus mengalami penurunan. Pada Oktober 2024, angka tabungan hanya tercatat 15 persen, lebih rendah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya yang masing-masing tercatat 15,3 persen pada September dan 15,7 persen pada Agustus 2024.
Menurut para ekonom, fenomena ini diprediksi akan semakin memburuk, terutama dengan diterapkannya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan bahwa kenaikan PPN ini akan memperparah kondisi kelas menengah, yang saat ini sudah menghadapi tekanan ekonomi.
“Kecepatan peningkatan upah riil justru turun, sementara biaya hidup terus meningkat meskipun inflasi terbilang rendah. Inflasi yang rendah ini sebenarnya mencerminkan permintaan yang juga rendah,” kata Faisal.
Faisal juga mengungkapkan bahwa saldo tabungan di bank, terutama untuk rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta, terus menurun. Sekitar 99 persen rekening perbankan di Indonesia memiliki saldo di bawah angka tersebut.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa dengan bertambahnya biaya hidup, baik karena kebijakan seperti kenaikan PPN maupun faktor lainnya, pendapatan kelas menengah akan semakin tergerus. Ini berpotensi mengurangi tabungan mereka lebih lanjut,” ungkap Faisal. (*)