Logo
>

Dampak Penguatan Dolar AS terhadap Industri Pelayaran RI

Ditulis oleh KabarBursa.com
Dampak Penguatan Dolar AS terhadap Industri Pelayaran RI

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Dewan Pengurus Pusat (DPP) Indonesian National Shipowners Association (INSA) menyatakan bahwa tren melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat berdampak buruk bagi industri pelayaran Indonesia.

    Rabu, 18 Desember 2024, dolar AS terus menguat terhadap rupiah dan telah mencapai kisaran Rp16.000.

    Wakil Ketua Umum DPP INSA Nova Y Mugijanto menjelaskan bahwa penurunan nilai tukar rupiah akan mempengaruhi biaya operasional kapal, terutama karena sebagian besar material yang digunakan masih bergantung pada impor, seperti suku cadang dan bahan bakar.

    “Dampaknya cukup signifikan, karena banyak material yang masih impor. Spare parts, misalnya, kami masih mengimpornya, jadi sudah pasti ini berdampak besar. Selain itu, biasanya ketika dolar AS menguat, harga bahan bakar juga ikut naik, yang akan menambah beban operasional,” ujar Nova dalam acara diskusi dengan INSA di Jakarta, Rabu, 18 Desember 2024.

    Nova juga menyoroti dampak lain, yaitu pada sektor asuransi kapal. Menurutnya, sebagian besar re-asuransi dilakukan di luar negeri dengan pembayaran berbasis dolar AS, sehingga penguatan dolar AS akan mendorong kenaikan premi asuransi.

    “Premi asuransi yang harus dibayar dalam dolar AS juga akan mengalami peningkatan, sehingga ini akan mempengaruhi biaya operasional perusahaan pelayaran,” ujar Nova.

    Di kesempatan yang sama, Sekretaris Umum DPP INSA Darmansyah Tanamas mengatakan pelemahan rupiah juga akan menambah beban bagi perusahaan pelayaran yang memiliki pinjaman dalam dolar AS.

    Sebagian besar pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan pelayaran Indonesia dalam bentuk rupiah, sehingga penguatan dolar AS akan meningkatkan tekanan terhadap pembayaran angsuran pinjaman.

    “Kurs yang tinggi akan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam melakukan pembayaran pinjaman dalam mata uang dolar,” kata Darmansyah.

    Ketidakpastian Global Perlambat Ekonomi Dunia

    Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan bahwa ketidakpastian pasar keuangan global berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia.

    Salah satu faktor yang memengaruhi adalah kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS) yang meliputi kenaikan tarif impor dan perluasan cakupan negara dan dapat meningkatkan fragmentasi perdagangan global.

    “Perkembangan ini diperburuk oleh ketegangan geopolitik di berbagai negara, diperkirakan akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2025 melambat menjadi 3,1 persen, turun dari 3,2 persen pada 2024,” ungkap Perry dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Rabu, 18 Desember 2024.

    Lanjut Perry, lonjakan inflasi global saat ini dipicu oleh gangguan pada rantai pasokan, yang juga memengaruhi penurunan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) di AS.

    Selain itu, kebijakan fiskal AS yang ekspansif telah menyebabkan yield US Treasury tetap tinggi, baik jangka pendek maupun panjang, yang mendorong penguatan dolar AS dan menarik alokasi portofolio investor kembali ke AS.

    Akibatnya, mata uang berbagai negara melemah, yang turut menghambat arus modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam menghadapi tantangan ini, Bank Indonesia menegaskan pentingnya kebijakan yang responsif untuk memitigasi dampak negatif terhadap perekonomian domestik.

    Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

    Meski dihadapkan pada ketidakpastian global, Perry meyakini bahwa ekonomi Indonesia tetap terjaga berkat permintaan domestik yang solid. Investasi diperkirakan tumbuh positif pada triwulan IV 2024, didorong oleh penyelesaian sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) dan insentif bagi investasi swasta.

    Di sisi lain, konsumsi rumah tangga diprediksi tetap tumbuh dengan stabil, berkat keyakinan konsumen yang tinggi dan dampak positif dari Pilkada di berbagai daerah.

    Konsumsi pemerintah juga diperkirakan meningkat menjelang akhir tahun, didorong oleh belanja pemerintah yang lebih tinggi. Namun, ekspor nonmigas diperkirakan mengalami perlambatan karena pemulihan ekonomi global yang masih lemah.

    Sektor-sektor seperti industri pengolahan, konstruksi, serta perdagangan besar dan eceran diperkirakan akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. BI memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 akan berada di kisaran 4,7 hingga 5,5 persen, dengan potensi meningkat ke 4,8 hingga 5,6 persen pada 2025.

    Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia berkomitmen memperkuat bauran kebijakan moneter yang bersinergi dengan kebijakan fiskal pemerintah. Kebijakan makroprudensial yang longgar dan percepatan digitalisasi sistem pembayaran juga akan diperkuat. Di sisi penawaran, reformasi struktural yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat memperkuat sektor-sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja.

    BI Rate Tetap di 6 Persen

    Dalam kesempatan yang sama, Bank Indonesia mengumumkan keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI Rate pada level 6 persen, dengan suku bunga deposit facility di 5,25 persen dan suku bunga lending facility di 6,75 persen.

    Perry menjelaskan bahwa keputusan ini sejalan dengan kebijakan moneter untuk menjaga inflasi dalam target 2,5±1 persen pada 2024 dan 2025, serta untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

    “Kebijakan moneter difokuskan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, terutama di tengah ketidakpastian global akibat kebijakan perdagangan AS dan ketegangan geopolitik,” kata Perry.

    Ke depan, kata Perry, Bank Indonesia akan terus memantau pergerakan nilai tukar rupiah, prospek inflasi, serta dinamika ekonomi global untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga lebih lanjut.

    Selain itu, kebijakan makroprudensial akan tetap diterapkan untuk mendorong kredit ke sektor-sektor prioritas, seperti UMKM dan ekonomi hijau, yang mendukung penciptaan lapangan kerja.

    Perry menambahkan, pada Januari 2025, Bank Indonesia akan memperkuat strategi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Kebijakan sistem pembayaran juga akan terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan sektor perdagangan dan UMKM, melalui penguatan infrastruktur serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.

    Rupiah Menguat 0,02 Persen

    Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat tipis sebesar 3 poin atau 0,02 persen pada penutupan perdagangan Rabu, 18 Desember 2024, menjadi Rp16.098 per dolar AS. Sebelumnya, rupiah tercatat berada di level Rp16.101 per dolar AS.

    Lukman Leong, analis mata uang dari Doo Financial Futures, menjelaskan bahwa pergerakan rupiah dipengaruhi oleh tekanan dolar AS menjelang pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang dijadwalkan berlangsung pada dini hari nanti.

    “Saya memperkirakan rupiah dan mata uang regional lainnya masih akan cenderung tertekan terhadap dolar AS. Dolar AS sendiri masih menunjukkan kekuatan menjelang pertemuan FOMC,” ujarnya.

    Sementara itu, indeks dolar AS pagi ini tercatat menguat menjadi 106,92, dibandingkan dengan posisi sebelumnya yang ada di level 106,77. Ini menunjukkan bahwa dolar AS masih mengalami penguatan terhadap mata uang utama lainnya.

    “Indeks dolar AS sebenarnya tengah mengalami koreksi teknis hari ini, setelah penguatan signifikan dalam sepekan terakhir. Namun, rupiah dan mata uang regional cenderung melemah kembali, salah satunya akibat dampak perlambatan ekonomi di China,” pungkas Lukman. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi