KABARBURSA.COM — Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa, menanggapi kebijakan pemerintah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump yang memberlakukan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kebijakan tersebut dinilai berpotensi mengganggu kinerja ekspor tekstil nasional, yang selama ini bergantung pada pasar Amerika.
"Tarif ini berlaku sangat cepat. Kalau biasanya ada masa tenggang yang panjang, kali ini maksimal seminggu sudah langsung diterapkan," ujar Jemmy dalam konferensi pers yang diadakan secara hybrid, Jumat 4 April 2025.
Jemmy menjelaskan, sekitar 35–40 persen ekspor tekstil Indonesia—baik berupa benang, kain, maupun pakaian jadi—dikirim ke pasar Amerika. Di antara produk tersebut, ekspor pakaian jadi mendominasi dengan porsi sekitar 60–70 persen. Saat ini, Indonesia merupakan pemasok pakaian jadi terbesar kelima ke Amerika Serikat, di bawah China, India, Vietnam, dan Bangladesh.
"Posisi kita di sana sangat baik, tapi dengan kebijakan tarif baru ini, tentu akan banyak perubahan. Yang paling penting adalah bagaimana kita menyikapinya," katanya.
Jemmy mengingatkan bahwa salah langkah dalam merespons kebijakan ini bisa berdampak buruk bagi industri tekstil nasional. Ia menilai, tekanan terhadap ekspor dapat merembet pada kerusakan di sektor domestik dan memperparah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belakangan sudah mulai terjadi.
Menurut Jemmy, tarif baru ini merupakan bagian dari strategi Trump untuk memangkas defisit perdagangan Amerika Serikat, termasuk dengan Indonesia, yang mencapai USD17 miliar. Jumlah ini, meskipun masih lebih kecil dibandingkan defisit dengan Tiongkok dan Vietnam, tetap menjadikan Indonesia sebagai sasaran kebijakan tarif AS.
"Jangan sampai kita merespons dengan langkah yang keliru, seperti melonggarkan aturan impor atau melemahkan regulasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Itu justru akan merugikan kita sendiri," tegasnya.
Jemmy juga menolak anggapan bahwa tarif dikenakan karena Indonesia dianggap memiliki hambatan non-tarif (NTB) atau non-tariff measures (NTM) yang tinggi. Menurutnya, satu-satunya alasan utama Amerika adalah mengurangi defisit perdagangan.
Sementara itu, Ketua API Jawa Barat, Ian Syarif, menambahkan bahwa tarif tinggi akan membuat harga barang di pasar Amerika naik, yang akan menekan daya beli masyarakat. Dampaknya, permintaan terhadap produk dari luar negeri, termasuk dari Indonesia, akan menurun. Hal ini dapat menimbulkan overproduksi di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), yang selanjutnya mendorong negara eksportir mencari pasar baru—termasuk Indonesia.
"Jangan sampai Indonesia jadi tempat pembuangan barang-barang sisa ekspor dari negara-negara pesaing kita. Kalau itu terjadi, industri dalam negeri akan terpukul dua kali lipat," kata Ian.
Sebagai solusi, API mendesak pemerintah Indonesia untuk segera membentuk tim negosiasi dan melakukan pendekatan langsung ke pemerintahan Trump. "Jadi mungkin kita meminta perlindungan dari pemerintah kita, mungkin untuk segera menyusun tim negosiasi, bisa berangkat ke Amerika, bisa berbicara dengan pemerintah Trump, bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal dapat menurunkan trade defisit Amerika dengan harapan tarif yang 32 persen yang akan dikenakan tanggal 9 ini, kita bisa mendapatkan tarif yang lebih ringan, pungkas Jemmy.
Industri Padat Karya
DPR memperingatkan bahwa lonjakan tarif dari Amerika Serikat bukan sekadar urusan dagang, melainkan ancaman nyata bagi industri padat karya dan jutaan pekerja di Indonesia. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Hanif Dhakiri, menyebut kebijakan Presiden Donald Trump sebagai “alarm bahaya” yang tidak bisa direspons dengan sikap pasif.
“Ini bukan sekadar urusan dagang, tapi pukulan langsung ke industri padat karya dan jutaan pekerja. Pemerintah tak bisa hanya berdiri di pinggir lapangan. Harus turun tangan penuh,” kata Hanif saat ditemui awak media di Jakarta, Jumat, 4 April 2025.
Sejak 2 April 2025, pemerintahan Trump resmi menerapkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk seluruh impor global. Namun khusus Indonesia, tarif tersebut ditambah lagi sebesar 32 persen—lebih rendah dari Vietnam (46 persen), namun masih di bawah China (34 persen). Penambahan ini, menurut Trump, merupakan bentuk koreksi terhadap mitra dagang yang dinilai memberlakukan hambatan pasar tidak setara, melemahkan stabilitas mata uang, atau menciptakan defisit kronis bagi Amerika.
Hanif menyebut penetapan tarif ini menyasar langsung jantung ekspor Indonesia, yakni alas kaki, tekstil dan garmen, minyak nabati, serta alat-alat elektronik. Pada 2023, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mencapai USD31 miliar, atau sekitar Rp500 triliun. Angka ini menempatkan AS sebagai pasar ekspor terbesar kedua setelah China.
“Kalau tidak diantisipasi, dampaknya bisa meluas—ekspor turun, PHK meningkat, inflasi naik, dan daya beli masyarakat tertekan,” ujarnya.
Kondisi makro Indonesia pun tak sedang prima. Nilai tukar rupiah terus melemah hingga menyentuh Rp16.675 per dolar AS, meskipun Bank Indonesia sudah menggelontorkan lebih dari USD4,5 miliar cadangan devisa untuk menahan laju depresiasi. “Strategi moneter penting, tapi tak cukup. Tanpa penguatan sektor riil dan fiskal, ekonomi kita bisa limbung,” ujar mantan Menteri Ketenagakerjaan ini.
Hanif mendorong pemerintah segera melakukan diversifikasi pasar ekspor, terutama ke kawasan BRICS dan Afrika. Di saat bersamaan, ia menekankan pentingnya penguatan sektor UMKM dan industri berbasis bahan baku lokal, agar lebih tangguh menghadapi tekanan eksternal. “Tarif AS harus kita jawab dengan keberanian industrialisasi. Produk lokal tak boleh hanya bertahan—harus maju dan menembus pasar baru,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya investasi jangka panjang pada pembangunan sumber daya manusia. Menurut Hanif, pekerja migran Indonesia memiliki peran vital dalam ekonomi nasional. Tahun lalu saja, mereka menyumbang devisa sebesar USD14 miliar. “Mereka bukan beban, tapi kekuatan. Kalau dikelola serius, lima hingga sepuluh tahun ke depan mereka bisa jadi pilar ekonomi nasional,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Hanif menyebut bahwa tekanan global seperti ini merupakan ujian arah kebijakan nasional. Respons pemerintah, kata dia, tak boleh reaktif atau setengah hati. “Ini saatnya melangkah dengan strategi yang berani dan keberpihakan yang nyata,” katanya.(*)