KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali terkoreksi pada perdagangan Rabu, 17 September 2025. Koreksi ini menandai fase penuh kehati-hatian di pasar energi global.
Minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi patokan internasional, ditutup melemah 52 sen atau 0,76 persen ke level USD68,22 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) turun 47 sen atau 0,73 persen menjadi USD64,05 per barel.
Penurunan ini memperlihatkan bagaimana pasar masih rapuh di tengah kombinasi data stok energi, kebijakan moneter, hingga risiko geopolitik yang terus membayangi.
Pendorong utama pelemahan harga minyak kali ini datang dari laporan Badan Informasi Energi (EIA) Amerika Serikat. Meski data menunjukkan stok minyak mentah AS anjlok tajam akibat lonjakan ekspor dan penurunan impor, perhatian investor justru tertuju pada kenaikan persediaan distilat, termasuk minyak solar.
Peningkatan stok ini dipandang sebagai sinyal lemahnya permintaan di sektor industri dan transportasi, sehingga menekan optimisme pasar. Seperti dikatakan analis Price Futures Group Phil Flynn, kenaikan stok minyak solar menjadi titik lemah seluruh kompleks energi, sehingga menahan potensi penguatan harga minyak mentah.
Faktor kebijakan moneter juga ikut membayangi sentimen. Federal Reserve memutuskan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, sebuah langkah yang sudah diperkirakan pasar.
Meski pemangkasan suku bunga biasanya bisa mendukung permintaan energi melalui stimulus pertumbuhan ekonomi, komentar Ketua Fed Jerome Powell yang menekankan pelemahan pasar tenaga kerja membuat investor bersikap hati-hati.
Pasar kini melihat adanya ruang pelonggaran lebih lanjut, namun sekaligus khawatir terhadap prospek ekonomi yang mungkin melambat.
Dari sisi suplai, sejumlah perkembangan global menambah dinamika pasar. Kazakhstan kembali melanjutkan ekspor minyak melalui pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan setelah sempat terhenti akibat masalah kontaminasi, yang berarti pasokan kembali mengalir ke pasar internasional.
Nigeria juga mencabut status darurat di Rivers, salah satu negara bagian penghasil minyak utama, sehingga risiko gangguan produksi di kawasan tersebut mereda. Namun, ketenangan itu berlawanan dengan situasi di Rusia, di mana serangan Ukraina terhadap infrastruktur energi semakin intensif.
Transneft, operator jaringan pipa Rusia, bahkan memperingatkan kemungkinan pemangkasan produksi karena serangan drone yang menghantam pelabuhan ekspor dan kilang besar. Ancaman ini berpotensi kembali memperketat suplai global jika eskalasi berlanjut.
Keseluruhan faktor tersebut menciptakan keseimbangan yang rapuh: sisi permintaan dibayangi kekhawatiran melemahnya konsumsi distilat, sementara sisi suplai masih diwarnai risiko geopolitik yang sulit diprediksi.
Koreksi harga Brent dan WTI kali ini mencerminkan bahwa investor memilih menahan langkah di tengah ketidakpastian, menimbang antara peluang pemangkasan suku bunga yang dapat mendukung permintaan dengan ancaman perlambatan ekonomi yang justru bisa menekan konsumsi energi.
Dengan kondisi seperti ini, arah harga minyak dalam jangka pendek masih akan sangat ditentukan oleh perkembangan stok energi di AS, laju pemulihan ekonomi global, serta tensi geopolitik yang terus mencuat di kawasan produsen utama.(*)