KABARBURSA.COM - Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menilai bahwa ada harapan bagi pertumbuhan konsumsi domestik untuk pulih jika sektor industri ritel melakukan transformasi signifikan.
Menurut Tauhid, evolusi yang pesat dalam industri ritel dapat memicu konsumen untuk berbelanja lebih cepat berkat beragam pilihan yang tersedia melalui berbagai platform. Transformasi ini tidak hanya akan memacu industri ritel untuk berinovasi agar produk mereka bisa bersaing di pasar fisik dan daring, tetapi juga akan menciptakan lapangan kerja baru.
Dengan terciptanya lapangan kerja, sektor informal akan mendapatkan dorongan, yang pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi dari pendapatan yang diterima, ujar Tauhid saat ditemui di Jakarta, Kamis 15 Agustus 2024.
Namun, Tauhid juga mencatat bahwa sektor perdagangan, industri pengolahan, dan pertanian tetap menjadi pilar utama ekonomi Indonesia, meskipun pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2024 sedikit melambat di bawah 5 persen.
Ekonomi digital, seperti e-commerce, juga memainkan peran penting dengan valuasi diperkirakan mencapai USD82 miliar atau sekitar Rp1.200 triliun, yang sebagian besar didorong oleh konsumsi masyarakat.
Tetapi, jika konsumsi domestik terus digenjot tanpa adanya investasi atau peningkatan di sektor perdagangan, terutama ekspor, maka pertumbuhan tidak akan maksimal, jelasnya.
Oleh karena itu, pergeseran dari ekonomi berbasis konsumsi ke investasi dan perdagangan internasional menjadi penting. Ini merupakan tantangan yang harus dihadapi agar ketergantungan pada konsumsi domestik dapat dikurangi, tegasnya.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memproyeksikan pertumbuhan industri ritel pada 2024 hanya akan mencapai 4,1–4,2 persen secara tahunan. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan industri ritel modern yang mencapai 4,85 persen pada semester I-2023.
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, mengungkapkan bahwa pada kuartal II-2024, pertumbuhan ritel modern hanya sebesar 3,5 persen yoy, jauh di bawah pertumbuhan 4 persen yoy pada periode yang sama tahun lalu.
Perlambatan ini disebabkan oleh penurunan daya beli konsumen, yang diperburuk oleh peningkatan kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
“Deflasi yang terjadi menunjukkan penurunan permintaan dan belanja, yang berarti konsumen menahan pengeluaran mereka. Ini bisa disebabkan oleh ketidakpastian di level atas atau oleh menurunnya daya beli akibat PHK,” terang Roy saat ditemui di Jakarta, Rabu (14/8/2024).
Daya Beli Turun, Jokowi Salahkan Pemda
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan apresiasi kepada seluruh kepala daerah atas keberhasilan mereka menjaga inflasi hingga mencapai angka 2,13 persen. Meski begitu, Jokowi menyoroti rendahnya daya beli masyarakat yang masih menjadi masalah serius.
"Kita patut berterima kasih pada seluruh gubernur, bupati, dan wali kota karena inflasi kita berada di posisi yang sangat baik, jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Terakhir di angka 2,13 persen, sebelumnya 2,58 persen. Ini pencapaian yang luar biasa," ujar Jokowi di Istana Garuda saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah di Ibu Kota Nusantara (IKN), Selasa 13 Agustus 2024 lalu.
Namun, Jokowi menekankan pentingnya mempercepat realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) demi menjaga daya beli rakyat. "Yang penting sekarang, tolong segera realisasikan APBD secepat mungkin. Hingga saat ini, realisasi belanja di kabupaten dan kota baru mencapai 31 persen, ini angka yang masih sangat kecil," lanjutnya dengan tegas.
Tak hanya di tingkat kabupaten/kota, Jokowi juga menyoroti provinsi dengan realisasi belanja yang masih rendah di angka 41 persen. "Uang yang beredar di kabupaten dan kota masih sangat sedikit, akibatnya daya beli rakyat juga lemah. Segera keluarkan APBD agar uang bisa beredar di masyarakat. Ini masih 31 persen realisasi belanja, provinsi lebih baik sedikit, 41 persen, tapi tetap masih kecil. Cek lagi, dorong lagi, biar perputaran uang di daerah semakin baik," tegas Jokowi.
Realisasi pendapatan di tingkat kabupaten/kota juga belum memuaskan, hanya berada di angka 38 persen, sedangkan di provinsi sebesar 49 persen. Oleh karena itu, Jokowi meminta agar pemda melakukan pengecekan secara harian. "Hati-hati dengan angka ini, harus dicek setiap hari. Perintahnya juga harus harian, karena ini menyangkut daya beli rakyat kita. Semakin cepat realisasi, semakin baik," tutupnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya deflasi atau penurunan indeks harga konsumen pada bulan Juni 2024, yang melanjutkan tren serupa dari bulan sebelumnya. Plt. Sekretaris Utama BPS, Imam Machdi, mengungkapkan bahwa deflasi pada bulan ini tercatat sebesar 0,08 persen secara bulanan (month to month/mtm), lebih tinggi dari deflasi bulan Mei yang sebesar 0,03 persen. Deflasi ini menjadi yang kedua di tahun 2024, ujar Imam dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Senin 1 Juli 2024.
Melihat dari komponen yang menyumbang deflasi, komoditas pangan yang bergejolak kembali menjadi pemicu utama. Pada Juni lalu, komponen ini menyumbang deflasi sebesar 0,98 persen, lebih besar dari bulan sebelumnya yang tercatat 0,69 persen. Komponen harga bergejolak ini kerap dikaitkan dengan daya beli masyarakat, karena pergerakan indeksnya dipengaruhi oleh permintaan dari masyarakat. Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah, turut menjelaskan hal ini.
“Kita lihat bahwa deflasi dua bulan berturut-turut ini disumbang oleh komoditas volatile food,” ungkapnya. "Volatile food ini cenderung fluktuatif karena pengaruh dari sisi penawaran, seperti panen yang bisa mendorong harga turun," tambahnya. Namun, Habibullah menekankan bahwa deflasi komponen ini tak serta-merta berarti terjadi pelemahan daya beli masyarakat, karena faktor pasokan juga memainkan peran penting.
Ia juga mengingatkan bahwa untuk memahami daya beli masyarakat, lebih tepat melihat data laju IHK secara tahunan (year on year/yoy), yang sudah menghilangkan pengaruh musiman. Pada Juni 2024, inflasi tahunan tercatat 2,51 persen, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 2,84 persen.
Menurut Habibullah, analisis yang lebih mendalam diperlukan untuk benar-benar memahami apakah daya beli masyarakat melemah, termasuk melalui data pergerakan masyarakat pada saat liburan, yang dapat mengindikasikan kemampuan masyarakat mengeluarkan dana untuk kebutuhan tersier seperti wisata.(*)